Bunda perlu waspada apabila mengalami tekanan darah tinggi selama kehamilan. Pasalnya, bisa jadi, ini merupakan salah satu gejala preeklamsia pada ibu hamil.
Apa itu preeklamsia? Mengapa ibu hamil harus waspada?
Berikut penjelasan lengkapnya, Bun!
Artikel Terkait: 10 Cara Mengatasi Sakit Pinggang saat Hamil Muda dan Penyebabnya
Apa Itu Preeklamsia?
Sumber: Freepik
Preeklamsia adalah komplikasi kehamilan pada ibu hamil yang disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol, serta kadar protein tinggi dalam urine.
Preeklamsia dikenal juga dengan istilah hipertensi yang diinduksi kehamilan (PIH) atau dulu dikenal dengan nama toksemia (toxemia).
Ketika Bunda melakukan pemeriksaan kehamilan, dokter biasanya akan memeriksa tekanan darah dan meminta sampel urine untuk mencari tahu apakah ada risiko preeklamsia.
Pasalnya, meski tekanan darah tinggi umum terjadi selama kehamilan, tetapi tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol seperti preeklamsia bisa menyebabkan komplikasi berbahaya bagi kesehatan Bunda dan janin.
Salah satunya, bisa menyebabkan kurangnya asupan darah dan oksigen yang bisa merusak hati dan ginjal.
Kapan Biasanya Preeklamsia Terjadi?
Melansir laman WebMD, preeklamsia umumnya terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu dan berkembang saat trimester ketiga.
Namun, dalam beberapa kasus tertentu, kondisi ini bisa terjadi lebih awal atau bahkan setelah melahirkan (48 jam setelah melahirkan).
Penyebab Preeklamsia
Sumber: Freepik
Apa sebenarnya yang menyebabkan preeklamsia ya, Bunda?
Hingga kini, ahli kesehatan belum menemukan penyebab pasti dari kondisi ini. Meski begitu, ada beberapa kemungkinan penyebab yang bisa meningkatkan ibu hamil mengalami preeklamsia. Melansir What to Expect, berikut di antaranya:
1. Genetik
Salah satu faktor risiko preeklamsia adalah genetik, Bun. Jadi, apabila ibu Anda pernah mengalami preeklamsia di masa kehamilannya dulu, maka Bunda juga lebih mungkin mengalami hal serupa.
2. Cacat Pembuluh Darah
Selama kehamilan, tubuh Bunda menjadikan pembuluh darah bekerja ekstra untuk mengirim darah ke bayi dan plasenta. Pada beberapa Bunda, sel-sel ini tidak berkembang atau berfungsi dengan baik sehingga menyebabkan preeklamsia.
3. Respons Imun
Bayi dan plasenta menyerap nutrisi dari tubuh Bunda. Ada kemungkinan, tubuh ibu hamil menjadi lebih peka terhadap keduanya dan bereaksi dengan cara yang dapat merusak darah serta pembuluh darah yang bisa menjadi penyebab preeklamsia.
Selain itu, beberapa faktor risiko preeklamsia lainnya meliputi:
- Telah didiagnosis preeklamsia pada kehamilan sebelumnya,
- Punya riwayat diabetes tipe 1 atau tipe 2 yang sudah ada sebelumnya,
- Memiliki riwayat hipertensi gestasional,
- Riwayat migrain,
- Punya penyakit ginjal,
- Kecenderungan untuk mengembangkan pembekuan darah,
- Obesitas atau kelebihan berat badan,
- Hamil anak kembar,
- Kehamilan akibat fertilisasi in vitro (IVF),
- Hamil di usia sangat muda (20 tahun atau di bawahnya) atau di usia tua (di atas usia 40 tahun),
- Memiliki bayi dengan jarak kurang dari dua tahun atau lebih dari 10 tahun,
- Gangguan autoimun termasuk lupus,
- Sindrom ovarium polikistik (PCOS),
- Sklerosis ganda,
- Penyakit gusi,
- Diabetes gestasional,
- Penyakit sel sabit, kelainan genetik yang sebabkan bentuk sel darah merah menjadi abnormal.
Bila Bunda memiliki riwayat penyakit di atas, ada baiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum merencanakan kehamilan. Dengan demikian, Bunda bisa memiliki kehamilan yang aman, nyaman, dan sehat.
Apa Tanda dan Gejala Preeklamsia?
Sumber: Freepik
Tidak semua ibu hamil dengan kasus preeklamsia menunjukkan gejala. Oleh karena itu, Bunda perlu melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin agar kondisi ini bisa segera dicegah.
Selain pemeriksaan kehamilan, berikut tanda dan gejala preeklamsia yang bisa Bunda perhatikan:
- Peningkatan tekanan darah (menjadi 140/90 atau lebih) jika Bunda belum pernah mengalami tekanan darah tinggi sebelumnya. Pada titik ini, dokter mungkin akan melakukan tes nonstres (mengukur detak jantung dan kadar cairan bayi melalui USG) untuk memantau pergerakan bayi.
- Protein dalam urine.
- Pembengkakan parah pada tangan dan wajah (edema).
- Edema atau pembengkakan parah pada pergelangan kaki yang tidak kunjung hilang.
- Sakit kepala parah.
- Perubahan penglihatan, termasuk penglihatan kabur atau ganda.
- Kenaikan berat badan secara tiba-tiba dalam 1-2 hari yang tidak berhubungan dengan aktivitas makan, tetapi karena peningkatan besar cairan tubuh.
- Sakit perut, terutama di perut bagian atas.
- Detak jantung cepat.
- Urine sedikit atau gelap.
- Reaksi refleks yang berlebihan atau sering kaget.
- Fungsi ginjal tidak normal.
- Tingkat trombosit yang lebih rendah dalam darah (trombositopenia).
- Mual atau muntah yang tidak normal.
- Sesak napas yang disebabkan oleh adanya cairan di paru-paru.
Sekali lagi yang perlu diingat, tidak semua preeklamsia menunjukkan gejala. Maka itu, penting bagi Bunda melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur sehingga dokter dapat memantau ciri-ciri preeklamsia secara lebih pasti.
Artikel terkait: Cara Tepat Menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) Ibu Hamil
Bagaimana Cara Mendiagnosis Preeklamsia?
Untuk mendiagnosisi preeklamsia bisa dilakukan dengan cara:
- Melalui pemeriksaan prenatal rutin yang dilakukan setiap bulan,
- Melihat tanda dan gejala preeklamsia,
- Memiliki riwayat penyakit yang dapat mengembangkan penyakit ini.
Dokter kandungan biasanya tidak mencari satu gejala saja, tetapi pola atau gabungan dari gejala yang ada, Bun. Protein yang tinggi dalam urine, misalnya, itu adalah gejala. Namun, itu bukan berarti Bunda secara otomatis mengalami preeklamsia.
Jika dokter mencurigai Bunda menderita preeklamsia, ia akan memberikan tes darah dan urine. Dokter juga akan memeriksa seberapa baik pembekuan darah Bunda dan mungkin melakukan USG dan pemantauan janin untuk memastikan kesehatan bayi.
Untuk membuat diagnosis preeklamsia, dokter kandungan juga akan melihat dari gejala berikut:
- Tekanan darah tinggi (lebih dari 140/90 mm Hg),
- Protein dalam urine (proteinuria),
- Tanda-tanda lain dari masalah ginjal,
- Jumlah trombosit darah kurang dari 100.000 mL,
- Enzim hati yang sangat tinggi (menunjukkan gangguan fungsi hati),
- Cairan di paru-paru (edema paru),
- Sakit kepala yang baru terjadi selama kehamilan,
- Gangguan penglihatan.
Artikel terkait: 8 Penyebab Warna Urine Kuning Pekat Saat Hamil, Bahayakah Kondisi Ini?
Apa Komplikasi yang Mungkin Terjadi?
Jika preeklamsia tidak segera diobati, besar kemungkinan ibu dan bayi mengalami komplikasi kesehatan yang lebih serius. Seperti:
- Eklamsia. Kondisi kehamilan jauh lebih serius yang mengakibatkan kejang dan konsekuensi lain yang lebih serius bagi Bunda dan bayi.
- HELLP syndrome. Hemolysis Elevated Liver Enzymes Low Platelet (HELLP) merupakan kondisi serius yang dapat mengakibatkan komplikasi termasuk kerusakan lever. HELLP dapat terjadi dengan sendirinya selama kehamilan atau bersamaan dengan preeklamsia, ditandai dengan jumlah sel darah merah yang rendah, peningkatan enzim hati, dan masalah pembekuan.
- Persalinan prematur.
- Pembatasan Pertumbuhan Intrauterin (Intrauterine Growth Restriction/IUGR), yakni bayi lahir dengan ukuran dan berat lahir rendah, serta komplikasi yang menyertainya, seperti kelahiran prematur, epilepsi, cerebral palsy, dan masalah pendengaran dan penglihatan.
- Solusio plasenta atau pemisahan dini plasenta dari dinding rahim.
- Kerusakan organ tubuh, seperti kerusakan pada ginjal, lever, paru-paru, gagal jantung, kebutaan reversibel, stroke, cedera otak lainnya, perdarahan setelah melahirkan, atau lainnya.
Menderita preeklamsia juga meningkatkan risiko mengalami penyakit ginjal dan penyakit jantung, termasuk serangan jantung, stroke, dan tekanan darah tinggi di kemudian hari. Bunda juga lebih berisiko mengalami preeklamsia di kehamilan berikutnya.
Bagaimana Cara Mengatasi dan Perawatan Preeklamsia?
Sumber: Freepik
Kabar baiknya adalah, Bunda tetap dapat memiliki kehamilan yang sehat bila mengobati penyakit ini sejak dini.
Berikut beberapa cara mengatasi dan perawatan preeklamsia pada ibu hamil:
Untuk Kasus Preeklamsia Ringan
Sekitar 75 persen kasus preeklamsia ringan berpotensi menjadi preeklamsia berat atau eklamsia bila tidak segera diobati.
Umumnya ini yang akan direkomendasikan dokter kandungan:
- Tes darah dan urine secara teratur untuk memeriksa jumlah trombosit, enzim hati, fungsi ginjal, dan kadar protein urine yang menunjukkan apakah kondisi preeklamsia berkembang atau tidak.
- Hitungan tendangan harian bayi di trimester ketiga.
- Pemantauan tekanan darah.
- Perubahan pola makan, termasuk makan lebih banyak protein, sayuran, buah-buahan dan produk susu rendah lemak dan lebih sedikit garam, serta minum setidaknya 8 gelas air sehari.
- Mengonsumsi obat untuk menurunkan tekanan darah.
- Saran untuk istirahat total (tirah baring), dengan tujuan memperpanjang kehamilan hingga persalinan dan proses persalinan yang lebih aman nantinya.
- Kemungkinan rawat inap awal untuk memantau perkembangan atau stabilitas gejala.
- Persalinan prematur (dengan induksi atau mungkin operasi caesar) mendekati usia kehamilan 37 minggu.
Untuk Kasus Preeklamsia Berat
Preeklamsia berat adalah kondisi yang mengancam nyawa ibu hamil. Mengelola preeklamsia berat bisa dengan berusaha mengurangi risiko kerusakan organ dan komplikasi lain yang lebih serius, di antaranya dengan cara:
- Pemantauan janin yang cermat, termasuk tes nonstres, ultrasound, pemantauan detak jantung, penilaian pertumbuhan janin, dan penilaian cairan ketuban.
- Obat untuk menurunkan tekanan darah (antihipertensi).
- Obat antikonvulsan magnesium sulfat, elektrolit yang dapat membantu mencegah perkembangan menjadi eklamsia.
- Persalinan dini, sering kali dilakukan setelah usia kandungan mencapai 34 minggu dan kondisi ibu dalam keadaan stabil.
Perawatan Preeklamsia Setelah Persalinan
Sebagian besar kasus preeklamsia sembuh saat bayi lahir, dan sangat jarang gejalanya muncul dalam waktu 48 jam setelah melahirkan, meski preeklamsia postpartum masih bisa terjadi hingga enam minggu setelah kelahiran bayi. Kondisi ini lebih sering terjadi pada mereka yang mengalami preeklamsia selama kehamilan, yakni terjadi pada sekitar 4-6% ibu hamil dengan preeklamsia.
Gejala preeklamsia pascamelahirkan mirip dengan yang dialami selama kehamilan. Jika tidak segera diobati, preeklamsia postpartum juga dapat menyebabkan banyak komplikasi yang sama seperti preeklamsia prenatal.
Bagaimana Cara Mencegah Preeklamsia?
Seperti kebanyakan komplikasi yang terkait kehamilan, cara terbaik untuk mencegah preeklamsia adalah dengan menjalani semua perawatan prenatal. Ini cara utama dokter kandungan bisa melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan mengetahui masalah pada kehamilan Bunda.
Sementara cara lainnya meliputi:
1. Konsumsi Makanan Sehat
Caranya dengan:
- Perhatikan asupan kalori. Kebanyakan ibu hamil membutuhkan 300-500 kalori ekstra sehari di trimester kedua, 600 kalori ekstra sehari bila hamil kembar.
- Makan banyak buah dan sayuran berserat tinggi, biji-bijian utuh, protein rendah lemak dan susu.
- Asupan magnesium juga jangan lupa, khususnya dari jenis makanan yang dapat mengurangi risiko preeklamsia, seperti sekotak cokelat hitam.
- Dan satu lagi, batasi atau hindari makanan atau minuman yang tidak sehat, seperti makanan manis, terlalu asin, atau olahan.
2. Berolahraga
Tanyakan kepada dokter kandungan, seberapa banyak Bunda harus berolahraga dan apa jenis olahraga yang cocok dengan kondisi Anda?
Umumnya, dalam kondisi ini, dokter akan menyarankan ibu hamil untuk berolahraga ringan selama 30 menit setiap hari. Misalnya dengan berjalan-jalan setelah makan siang atau makan malam, berenang, yoga hamil atau lainnya.
3. Pantau dan Atur Berat Badan untuk Mencegah Preeklamsia
Menambah jumlah berat badan disarankan selama kehamilan pada beberapa ibu hamil, salah satu tujuannya untuk mengurangi risiko preeklamsia.
Meski begitu, Bunda disarankan untuk menjaga atau menurunkan berat badan sebelum merencanakan kehamilan, terlebih apabila mengalami atau punya riwayat obesitas.
4. Kelola Kondisi Kronis
Hipertensi kronis dan diabetes adalah faktor risiko preeklamsia. Bila Bunda memiliki riwayat penyakit ini sejak sebelum hamil, rutinlah periksakan kondisi dan bekerja sama dengan dokter kandungan untuk mengendalikannya.
5. Obati dengan Aspirin
Bagi ibu hamil dengan kehamilan berisiko tinggi (preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, hamil kembar, memiliki penyakit autoimun, tekanan darah tinggi, atau diabetes di awal kehamilan), mengonsumsi aspirin dosis rendah (81 mg) setiap hari mulai kehamilan minggu ke-12 dapat mengurangi risiko preeklamsia.
Akan tetapi, sebelum minum obat ini atau obat apa pun selama kehamilan, konsultasikan kepada dokter kandungan Anda dulu, Bunda.
6. Rawat Gigi Anda
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat penyakit periodontal lebih berisiko preeklamsia. Jadi untuk mengurangi risiko preeklamsia, jagalah kebersihan mulut Anda dengan baik sebelum dan selama kehamilan. Yakni dengan menyikat gigi minimal 2 kali sehari, flossing setiap hari, dan mengunjungi dokter gigi setiap enam bulan.
7. Rutin Mengonsumsi Vitamin Prenatal
Vitamin prenatal mengandung vitamin D. Beberapa penelitian menunjukkan, kekurangan vitamin D dapat meningkatkan risiko preeklamsia. Bila kurang yakin, tanyakan kepada dokter apakah suplemen vitamin D dapat menurunkan kemungkinan terkena preeklamsia.
Kekurangan kalsium juga dikaitkan dengan risiko kondisi serius lainnya. Jadi, konsumsilah vitamin prenatal setiap hari untuk memastikan tubuh mendapatkan cukup dengan nutrisi ini.
Artikel terkait: PEB Kehamilan, Kondisi Preeklamsia Berat yang Harus Diwaspadai Ibu Hamil
Apa Perbedaan Preeklamsia dan Eklamsia?
Preeklamsia dan eklamsia merupakan penyakit kehamilan yang berhubungan dengan perkembangan atau memburuknya tekanan darah tinggi selama paruh kedua kehamilan. Pada preeklamsia, tekanan darah ibu yang tinggi mengurangi suplai darah ke janin, yang mungkin mendapatkan lebih sedikit oksigen dan nutrisi.
Sedangkan, eklamsia adalah perkembangan yang lebih parah dari preeklamsia, yaitu kondisi ketika perempuan hamil dengan preeklamsia mengalami kejang atau koma. Sangat sulit untuk memprediksi apakah pasien dengan preeklamsia akan berkembang menjadi eklamsia. Kondisi ini dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah melahirkan.
Seperti preeklamsia, eklamsia juga terjadi selama kehamilan atau dalam kasus yang sangat jarang, terjadi setelah melahirkan.
Penyebab preeklamsia dan eklamsia masih belum diketahui. Namun, berbagai faktor dapat meningkatkan risiko seorang perempuan mengalami eklamsia, di antaranya:
- Usia: Remaja atau perempuan di atas 40 tahun memiliki risiko terbesar.
- Riwayat preeklamsia atau eklamsia pada kehamilan sebelumnya.
- Kegemukan.
- Pernah mengalami tekanan darah tinggi sebelum hamil
- Kehamilan dicapai melalui donasi sel telur atau inseminasi.
- Memiliki ibu atau saudara perempuan yang menderita preeklamsia.
- Memiliki penyakit tertentu, seperti diabetes, lupus, rheumatoid arthritis, atau beberapa penyakit ginjal
- Kehamilan ganda (kembar atau lebih).
- Menderita penyakit sel sabit.
Jika mulai mengalami kejang dengan gejala preeklamsia, Bunda dianggap menderita eklamsia.
Hal ini dikarenakan gejala eklamsia termasuk gejala preeklamsia, yang muncul bersamaan dengan perkembangan kejang. Biasanya, ketika kejang terjadi, kondisi ini paling sering didahului oleh gejala neurologis seperti sakit kepala dan gangguan penglihatan.
Bunda, preeklamsia memang bisa sembuh dengan sendirinya pascapersalinan. Namun selama kehamilan, Anda tidak bisa mengabaikan kondisi ini karena bisa mengancam kesehatan janin dan ibu hamil. Jadi, yuk, lakukan segala hal yang baik untuk mencegah dan mengatasi preeklamsia hingga tidak menimbulkan komplikasi ya, Bunda.
Artikel diupdate oleh: Fadhilla Arifin
Baca juga:
Sakit Kepala Saat Hamil: Penyebab, Gejala, dan Tips Mengatasi
Berbahayakah Mimisan Saat Hamil? Kenali Penyebab dan Cara Mengatasinya
3 Penyebab Kaki Bengkak Saat Hamil yang Wajib Diketahui Bumil
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.