Gangguan makan pada anak ada beragam bentuknya. Mulai dari picky eater, selective eater, hingga small eater. Ketiganya memiliki gejala atau tanda yang berbeda antara satu dengan yang lain. Nah, kali ini theAsianparent akan mengulas lebih jauh tentang small eater.
Parents, apakah Anda pernah mendengar istilah small eater? Bagi sebagian orang tua, sebutan ini mungkin terasa kurang familier, setidaknya jika dibandingkan dengan gangguan makan lainnya seperti picky eater.
Apa Itu Small Eater?
Menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), small eater adalah gangguan makan pada anak yang ditandai dengan sejumlah keluhan, yaitu anak makan sangat sedikit dan status gizinya kurang, padahal orang tua sudah menerapkan feeding rules yang benar.
Kondisi semacam ini kerap dikeluhkan kepada dokter anak.
“Orang tua datang dengan keluhan anaknya kalau makan cimit-cimit saja, alias dikit banget, padahal sudah menerapkan aturan makan dengan baik dan benar. Setelah diplot, status gizinya kurang,” terang dokter spesialis anak dr. Meta Hanindita Sp.A(K) melalui akun Instagram pribadinya.
Dalam beberapa litlratur, small eater disebut juga infantile anorexia, yaitu suatu kondisi yang ditandai dengan penolakan makanan dan menyebabkan bayi gagal tumbuh. Penolakan makan ini umumnya terjadi saat fase transisi bayi ke makanan pendamping ASI atau makan sendiri, yaitu pada usia 6 bulan sampai 3 tahun.
Perkembangan Anak Normal dan Tidak Ada Masalah Medis
Jika diamati, anak yang termasuk small eater adalah anak yang aktif dan tidak memiliki masalah medis tertentu. Perkembangan mereka pun normal, tetapi masalahnya anak sering kali lebih tertarik pada lingkungan sekitar dibandingkan makanan.
“Anak small eaters ini aktif, perkembangan normal, enggak ada masalah medis. Tapi enggak tertarik makan. Waktunya makan, eh, dia malah sibuk mainin sendok-lah, makanannya diputar-putar, atau malah enggak mau duduk di kursi, bawaannya ngabur pengin main,” ujar dr. Meta.
“Pada anak small eaters, orang tua kadang ngomong gini, nih, ke dokter, ‘Duh anak saya, nih, aktif banget, dok, enggak dikasih makan, ya, enggak lapar seharian’,” sambungnya.
Kondisi ini memang sering kali membuat orang tua khawatir. Takut kebutuhan gizi si kecil tidak tercukupi, orang tua lantas mengompensasinya dengan camilan yang justru semakin menurunkan nafsu makan anak terhadap makanan utama. Selain itu, orang tua cenderung stres hingga akhirnya sering kali memaksa anak makan.
Artikel terkait: Ganggu Tumbuh Kembang Anak, Kenali Perbedaan Selective Eater dan Picky Eater
Penyebab dan Faktor Risiko Small Eater
Perilaku small eating sering dikaitkan dengan kebutuhan emosional bayi dan konflik orang tua. Seiring pertambahan usianya, bayi mulai mengembangkan keinginan untuk membuat keputusan sendiri, termasuk soal pilihan makanan. Mereka juga sengaja menolak makanan untuk mendapatkan perhatian dari ibunya.
Faktor-faktor seperti depresi dan gangguan makan pada ibu juga dapat menyebabkan small eating pada bayi. Ibu yang mengalami depresi biasanya menunjukkan keterlibatan yang kurang positif saat memberi makan anak. Semua ini dapat membahayakan kondisi emosional bayi dan mungkin menyebabkan mereka menolak makan.
Menurut US National Library of Medicine National Institutes of Health, bayi yang tumbuh dalam keluarga disfungsional atau pola pengasuhan yang tidak optimal juga lebih berisiko menjadi small eater. Faktor emosional dan perilaku orang tua terhadap pemberian makan adalah alasan signifikan yang bisa memicu gangguan makan pada anak.
Gejala Umum Small Eater
Berikut ini sejumlah gejala umum yang dapat diamati pada bayi yang menunjukkan perilaku small eating:
- Makan dengan porsi sedikit
- Berhenti makan setelah beberapa gigitan
- Selalu mengatakan bahwa dirinya tidak lapar
- Lebih tertarik dengan bermain dibandingkan makan
- Berat badan tidak bertambah atau mengalami penurunan
Usia Berapa Anak Mengalami Small Eating?
Perilaku small eating dapat dimulai kapan saja selama tiga tahun pertama kehidupan bayi. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa kondisi ini lebih sering muncul antara usia 9 dan 18 bulan.
Hal tersebut bisa terjadi kemungkinan karena fase transisi di mana ada perubahan kebiasaan makan, tadinya anak terbiasa disuapi kemudian mereka belajar makan dengan tangan sendiri. Namun perlu dicatat, ya, Parents, tidak semua bayi menjadi small eater selama fase transisi.
Artikel terkait: Kenali 5 penyebab anak suka pilih-pilih makanan!
Tips Menghadapi Anak Small Eater
Saat anak menunjukkan gejala sebagai small eater, hal utama yang harus diperhatikan adalah meningkatkan nafsu makan anak dengan cara menciptakan rasa lapar. Dengan begitu, si kecil dapat lebih menikmati makanan.
Nah, untuk mencapai tujuan tersebut, berikut beberapa tips yang bisa Parents lakukan:
- Menyusun jadwal makan yang teratur, mencakup makanan utama dan selingan, sehingga anak dapat terbiasa mengenali sinyal lapar dan kenyang.
- Jangan menawarkan camilan atau susu di luar jadwal makan anak, meskipun ia hanya makan sedikit.
- Minimalisasi segala jenis gangguan termasuk televisi, mainan, atau smartphone saat anak sedang makan.
- Pantau pertumbuhan anak secara berkala, pastikan berat badannya naik sesuai grafik pertumbuhan.
- Ciptakan menu sekreatif mungkin untuk meningkatkan ketertarikan anak terhadap makanan.
Artikel terkait: Anak senang makan kerupuk, aman nggak, sih? Ini penjelasan dokter anak
Kapan Anak Perlu Diberi Susu Tinggi Kalori?
Anak small eater berisiko mengalami gagal tubuh karena asupan yang tidak sesuai kebutuhan. Sehingga, dokter mungkin akan meresepkan susu tinggi kalori atau makanan tinggi kalori.
“Jangan inisiatif beli susu tinggi kalori sendiri, ya. Karena ini termasuk produk FSMP atau Foods for Special Medical Purposes yang harus diresepkan dokter atas indikasi. Sama seperti obat, ada dosisnya, ada durasinya,” pesan dr. Meta.
Jadi, jika Parents mendapati si kecil menunjukkan gejala small eater, segera temui dokter agar anak mendapat penanganan yang tepat.
Baca juga:
Anak mulai sulit makan? Hati-hati alami gangguan makan anoreksia!
Awas, Anak Bisa Kena Gangguan Pola Makan! Cegah Sedini Mungkin
Salah Makan Sebabkan Gangguan pada Anak
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.