Hello theAsianparent, perkenalkan namaku Tiwi, 27 tahun, seorang ibu yang sedang menanti kehadiran buah hati yang kedua. Aku ingin membagikan pengalaman mengenai perjuanganku jadi seorang ibu yang penuh tantangan.
Sebelum menjadi seorang Ibu, aku adalah salah satu mahasiswa di universitas swasta di kotaku. Banyak yang bilang, aku termasuk perempuan enerjik dan cekatan, karena mereka menghubungkan hal tersebut dengan profesiku sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan jasa.
Ya, aku memilih bekerja sambil kuliah untuk biaya tambahan. Sekaligus mengasah kemampuan di dunia kerja demi sebuah pengalaman. Pada 2018, aku dinyatakan lulus sebagai sarjana, seketika itu pula aku diangkat menjadi supervisor di kantor.
Setahun kemudian, tepatnya Agustus 2019, aku menikah dengan kakak tingkatku di kampus. Kurang lebih 3 tahun kami saling mengenal, menjalin hubungan dan mantap menikah. Alhamdulillah, suamiku tipe orang fleksibel. Beliau mengizinkanku berkarier dengan catatan selalu menomorsatukan tugas dan kewajiban sebagai seorang istri.
Berselang 2 bulan pernikahan, Allah memberikan kepercayaan pada kami untuk memiliki momongan. Speechless banget, karena beberapa bulan lagi aku akan menjadi seorang ibu. Kami tidak menyangka, Allah anugrahkan bahagia ini begitu cepat, di mana kami tidak berencana dan tanpa mengusahakan promil apa pun.
Perjuanganku Jadi Seorang Ibu yang Penuh Tantangan
Di usia 1 – 3 bulan kehamilan, aku mengalami penurunan berat badan drastis, yakni mencapai 5 kg. Drama mual-muntah tiap pagi nyaris mengganggu aktivitas bahkan terbawa ke tempat kerja. Kekuatan fisikku teruji dengan naik motor PP dari rumah ke kantor, dengan jarak tempuh kurleb 2 km.
Memasuki bulan ke 4, nafsu makanku sudah kembali normal. Seakan ada mindset ‘balas dendam’, semua makanan yang kuinginkan selalu tersedia. Suami sering mewujudkan ngidamku yang notabene dengan kudapan manis. Alhasil, di trimester kedua jadilah aku seperti adonan kue penuh baking soda alias mengembang.
Sampai pada usia 36 minggu, aku mulai merasakan kontraksi hebat. Menunggu pembukaan hingga 24 jam. Kubawa jalan-jalan, jongkok, naik-turun tangga agar pembukaan makin cepat, jumat malam dicek ternyata masih pembukaan 1, sungguh kontraksi yang begitu nikmat hingga aku tak bisa tidur semalaman, kembalilah aku pada subuh, dan masih bukaan 2.
Akhirnya pada Sabtu, seusai magrib, intensitas pembukaan makin besar, dan aku siap bertaruh nyawa. Karena keterbatasan kondisi di masa pandemi, akhirnya hanya ibuku yang menemani proses melahirkan yang menegangkan itu, sementara suami menunggu di luar.
Alhamdulillah, tepat di malam ke-10 Ramadan waktu itu, aku melahirkan secara normal melalui pertolongan bidan. Hanya berselang waktu 15 menit dari pembukaan lengkap hingga anakku lahir dengan sehat selamat ke dunia tanpa ada jahitan di perineumku.
Rasa sakit yang semula menyerang, langsung hilang seketika tatkala melihat anakku terlahir sempurna. Masya Allah, Allah menganugrahi kami seorang putri cantik dan kami beri nama Medina Yura Attharizky.
Setelah di-adzani, Bu bidan segera melakukan IMD dan saat itu aku merasa menemukan kekuatan sejati dari tubuh mungil yang terbaring di dadaku. Dialah yang menjadikanku perempuan seutuhnya, memberikan penghargaan tertinggi untukku, yakni menjadi seorang ibu. Terima kasih, Nak.
Keseharian Sebagai Ibu Baru yang Penuh Drama…
Keesokan harinya, aku sudah boleh pulang. Babak baru dalam hidupku dimulai dengan menjadi ibu baru dengan segala dramanya.
Hari pertama, ternyata ASI-ku belum keluar. Kucoba segala ASI booster, mulai dari yang alami seperti daun katuk, segala sayuran hijau, kacang-kacangan, susu almond, jamu-jamu-an, bahkan pare hingga beberapa booster produksi pabrik. Pemberian ASI sesering mungkin kulakukan untuk menstimulasi keluarnya ASI, juga semangat untuk pumping, namun tetap saja ASI-ku sedikit.
Hari demi hari, rata-rata hanya 10 ml ASI kudapat setiap pumping. Mana cukup? Alhasil, pakai sufor untuk membantunya.
Muncul masalah lain, ternyata anakku alergi susu sapi, terlihat dari banyaknya ruam merah dan milia di wajahnya. Saran dari Bu Bidan, untuk pakai sufor soya kulaksanakan demi mengurangi derita anakku. Aku makin stres karena dapat beberapa tekanan dari orang-orang di sekitarku, tetangga, keluarga bahkan suamiku sendiri.
Segala masukan, saran, dan pendapat supaya ASI lancar sudah kulakukan dengan baik, tapi malah mereka berkomentar sembarangan. Membandingkan, dan makin membuat mentalku down sebagai seorang ibu.
Belum lagi perubahan fisik makin tak karuan, kaki yang masih bengkak, stretchmark di mana-mana, wajah kusam, dan sisa gatal-gatal di sekujur tubuh membuatku insecure.
Konflik dengan Keluarga
Di sisi lain, kehadiran anakku seolah menjadi oase di tengah keluargaku. Pasalnya, dia cucu pertama yang ditunggu-tunggu, di mana orangtuaku belum mendapat cucu dari kakakku setelah 10 tahun menikah.
Di tengah kegalauan, kakakku makin memperburuk keadaan. Dia seolah jadi “pahlawan” saat aku seperti acuh pada anakku karena aku tak sepenuhnya mengASIhinya.
Dia ikut mengurus dan ingin dekati anakku, layaknya dia ibunya. Awalnya aku tak mempermasalahkannya, tapi lama-lama kakak makin membuatku jengkel, di mana saat aku ingin menyusui dan bonding, malah kudapati kakak “merebut” tugas yang seharusnya kulakukan. Entah aku yang cemburu berlebih, namun jujur dia telah membuatku makin berantakan.
Pahitnya lagi, keluarga juga mendukungnya seolah kakakku juga “berhak” atas bayiku. Bagaimana perasaanku tidak hancur, semua orang memojokkanku karena anggapan mereka aku “gagal” dalam pemberian ASI. Juga, suami yang bersikap cuek dengan apa yang kualami, malah makin memperkeruhnya dengan perdebatan pengasuhan anak yang bertentangan dengan cara pengasuhan ibu mertuaku.
Aarrgghh… seringkali aku menangis sendirian dan sedih berlarut, tiada yang mengerti perasaanku saat itu. Akhirnya aku stres dan membuat ASI-ku makin seret. Aku benci pada diriku sendiri, ingin rasanya berteriak dan meluapkan apa yang tengah kurasa tapi tak bisa.
Ternyata Aku Mengalami Baby Blues…
Iseng, kutulislah curahan hati di aplikasi theAsianparent, banyak yang mengatakan bahwa aku mengalami baby blues. Dari sana aku mendapat dukungan dari para kontributor untuk terus semangat dan berjuang menjadi ibu baru.
Di sela waktu, aku pelajari tentang ilmu parenting. Banyak motivasi, inspirasi dan ilmu-ilmu yang belum kuketahui sebelumnya. Ternyata selama ini, anakkulah yang menjadi sumber kekuatanku. Kupandangi dia saat tidur, beserta kubangun afirmasi-afirmasi positif, mencoba berdamai dengan keadaan, mengambil hikmah dari semuanya sehingga aku menjadi lebih tenang dan kuat.
Berjuang melawan baby blues tanpa ada dukungan dari orang terdekat, membuatku makin tangguh dan mengembalikan rasa percaya diriku, bahwa aku pasti bisa!
Aku perlahan bangkit dan terus berusaha agar ASI-ku lancar. Sebulan berlalu, melalui aplikasi theAsianparent, solusi tentang permasalahan ASI-ku terjawab, di mana beberapa orang menyarankan untuk memilih ASI booster yang sebelumnya tidak kuketahui, dan Alhamdulillah, setelah 3x minum, ASI-ku mengalir banyak dan bisa DBF tiap saat. Bahagianya tak terukur tiap saat anakku lahap menyusu, melihatnya kenyang dan tertidur pulas di pangkuanku.
Anakku Baru 5 Bulan, Tapi Aku Hamil Lagi
Saat kuberjuang untuk ASI eksklusif, tiba-tiba ada kabar yang mengejutkan dan tak kusangka sebelumnya. Aku iseng beli tespack dan kulihat dua garis merah terang terpampang nyata di sana. Tak bisa berkata apa pun, hanya bisa menangis, perasaanku campur aduk, pikiran melayang kemana-mana, masa iya aku hamil?
Aku bicarakan hal ini pada suami, ternyata dia juga kaget. Kami pun melakukan USG untuk memastikannya, dan benar saja, usia kehamilanku saat itu sudah berjalan 6 minggu.
Oh My God, aku hamil lagi, entah aku harus senang atau sedih. Di tengah kondisi ekonomi yang pas-pasan, juga si Kakak yang masih 5 bulan, jujur sempat ada pikiran tuk “mengakhirinya” sebelum keluarga tahu berita ini.
Kami pun berdiskusi dengan kepala dingin dan tetap tenang, mengambil jalan terbaik. Akhirnya kami mempertahankannya, karena kami sadar ini adalah bukti bahwa Allah memberikan kepercayaan lebih untuk menjaga dan membesarkan amanah-Nya pada kami.
Yaa.. anak ini adalah anugerah bagi banyak pasangan yang menginginkannya tapi belum dikasih, bagi pasangan yang bersusah payah menjalani promil tapi belum berhasil. Dari situlah, rasa syukur kami berada di atas segalanya, mengalahkan ego sesaat yang sesat saat itu.
Sekarang, tugasku menyiapkan mental dan fisik lebih kuat karna perhatianku harus terbagi. Oke… aku harus bisa! Jauhi stres, jaga kesehatan, makan makanan bergizi, istirahat yang cukup, kalimat tersebut menjadi afirmasiku agar tetap “waras”.
Beruntungnya, kehamilan kedua ini aku diberi kesempatan untuk merasakan nikmatnya “hamil kebo” (si dedek pengertian bgt kalo si kakak masih suka manjah, jadi dia ngalah deh, hehe).
Perjuanganku Jadi Seorang Ibu: Drama MPASI Anak Pertama
Trimester pertama, aku tak merasakan mual muntah, semua makanan welcome, sampai aku merasa seperti tak hamil, cuek sama kondisiku, mungkin karna aku fokus ke si kakak. Kebetulan dia lagi awal MPASI. Harapan dia doyan makan sudah terbayang, eh malah ogah MPASI 4 bintang buatanku, gak hanya sekali dua kali, jadi aku beralih ke bubur sereal kemasan.
Kumulai dengan porsi kecil namun timbul drama GTM, melepeh makanan dan menangis tiap mau makan, semua kuhadapi dengan penuh kesabaran. Kurleb 1 bulan, dia sudah bisa beradaptasi dengan bubur kemasan, tapi aku tak menyerah untuk terus memberikan MPASI rumahan diselingi dengan vitamin tapi hasilnya nihil, dan sampai sekarang pun dia slalu memuntahkan MPASI buatanku.
Hal itu buatku stres, yang menyebabkan produksi ASI-ku macet dan akhirnya terpaksa pakai full sufor untuk si kakak. Kebutuhan makin meningkat sementara pemasukan pas-pasan, karna sejak aku hamil lagi, aku memutuskan untuk resign.
Aku tak mungkin kerja di luar rumah, dengan segenap urusan rumah tangga, tapi aku buka olshop untuk sedikit bantu ekonomi keluarga. Tiap hari dari bangun tidur sampai tidur lagi, ada saja pekerjaan yang harus kuselesaikan yang tak jarang membuatku capek.
Hingga di trimester kedua, aku sempat demam tinggi dan mengakibatkan segala aktivitasku terhenti. Saat itu kami tinggal bertiga di rumah suami, beliau juga kerja dari pagi pulang malam, otomatis tidak ada yang membantuku. Tapi, dengan sekuat tenaga kulaksanakan tugas-tugas walau keadaanku drop.
Saat itu, aku mengkhawatirkan si dedek dalam kandungan, namun nyatanya, dia anak yang kuat, pertumbuhanya pesat dan menunjukkan keaktifannya saat kulihat dia dalam pemeriksaan USG. Usia kehamilanku semakin tua, dan perut makin membesar, membuatku repot jika harus mengurus si kakak yang lagi aktif-aktifnya sendirian.
Bayangkan saja, tiap hari menemaninya belajar mengeksplor dunianya, dari duduk hingga berdiri, kadang juga suka rewel minta gendong, dan kemana-mana maunya ngikut aja. Akhirnya aku diizinkan tinggal bersama orangtuaku untuk sementara waktu. Keterpaksaan itu harus kujalani, demi kebaikan aku dan calon anakku.
Nyamannya hamil tanpa keluhan ternyata berbanding terbalik dengan tugasku sebagai ibu. Tapi aku bersyukur, aku bisa memantau tumbuh kembang anak-anakku secara langsung di rumah saja, juga salah satunya melalui aplikasi theAsianparent yang setia menginformasikan segala hal tentang ilmu parenting. Tentang apa-apa saja yang harus dilakukan seorang ibu sekaligus Bumil dalam waktu bersamaan.
Ada Banyak Hal yang Bisa Dipelajari dari Perjuanganku Jadi Seorang Ibu
Potret aku dan anak pertamaku.
Saat ini usia kehamilanku sudah 33 minggu, sementara si kakak masih 10 bulan. Terkadang aku mengeluh dengan kondisiku, namun nyatanya aku adalah salah satu perempuan beruntung yg bisa menjalani 2 peran sekaligus di 2 tahun pernikahanku. Sementara di luar sana, tidak banyak yg mengemban posisi spesial sepertiku.
Jujur, momen tidur adalah saat paling kusuka, karena di situlah anak-anakku berkumpul bersamaku, dipelukanku. Aku tersadar ada dua amanah Tuhan yang dititipkan padaku. Tugasku menjadikan mereka sosok yg kuat menghadapi jamannya nanti yg entah seperti apa. Mungkin akan lebih rumit dari yang kuhadapi saat ini.
Menjadi IRT sekaligus Mom-enterpreneur adalah pilihanku. Titel sarjana, kumpulan IPK yang bagus serta prestasi kerja ternyata bukan kepuasan hakiki.
Apa pun yang telah kulalui dan pencapaianku di dunia akademik adalah sedikit kisah perjalananku berproses menjadi perempuan hebat yang sejati. Karena prestasi setelah menjadi ibu adalah ketika mampu menahan amarah saat perilaku anak menguji emosi. Dapat menahan hasrat untuk tidak berkompetisi dan berani akui bahwa tiap anak berbeda step potensinya. Serta yang terpenting, bisa memberikan versi terbaik kita (sebagai ibu) di depan anak setiap harinya.
Itulah perjuanganku saat menjalani peran jadi seorang ibu. Bagiku, setiap ibu SPESIAL dan BERHARGA, walau proses perjalanannya berbeda-beda. Kalian semua hebat!
***
Ditulis oleh Bunda Dewi Pertiwi.
Baca juga:
Perjuangan Menyelesaikan Tesis Sambil Mengurus Bayi, Banyak Tantangan yang Harus Kulalui
Meski Asa Tak Sampai, Perjuanganku Jadi Ibu Kini Berbuah Manis
Belajar Manajemen Waktu di Kehamilan Pertama, Ternyata Tak Semudah yang Kupikirkan
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.