Banyak tantangan hingga cibiran, perjuanganku dalam menyelesaikan tesis sambil mengurus bayi tidaklah mudah.
Aku menangis, tatkala suamiku memberikan sebuah pilihan, cuti kuliah atau melanjutkan kuliah dengan segala konsekuensinya. Aku paham watak suamiku. Sepertinya ia bukan memberi pilihan, melainkan lebih berharap agar aku cuti dari perkuliahan.
Kandunganku yang sudah cukup tua, membuatku agak kepayahan untuk menyelesaikan tesis. Ingin rasanya berhenti dari perjuangan ini, tapi aku selalu ingat akan pesan ayahku. Ia menginginkanku untuk tetap menyelesaikan kuliah walaupun telah menikah nanti. Dan itu sudah kujanjikan pada Beliau sehingga Beliau mengizinkanku untuk menikah.
Dengan berbagai pertimbangan, bercampur air mata yang tak berhentinya menetes, aku pun membuat keputusan untuk tetap melanjutkan kuliah tanpa cuti.
Aku sangat paham dengan sifatku yang mudah sekali terlena dengan kondisi. Aku khawatir, bila saja aku cuti kuliah hingga anakku lahir nanti, aku tak akan punya semangat lagi untuk melanjutkan kuliah. Pasti akan terasa lebih sulit jika anak sudah agak besar dan repot untuk mengondisikan jam tidurnya.
“Mumpung masih bayi, pasti jam tidurnya lebih panjang dan aku pun bisa tetap berkutat dengan tesisku sembari menjaga anakku, ” pikirku.
Masih Bimbingan Menjelang Melahirkan
Setelah keputusan itu, Alhamdulillah, semangatku untuk segera menyelesaikan tesis kembali muncul. Sambil membawa beban berat di perutku, aku bolak-balik ke beberapa Puskesmas di Jakarta untuk mengambil data penelitian.
Orang pasti akan beranggapan kalau aku akan kontrol kehamilan di Puskesmas, padahal aku hanya mahasiswa yang singgah sejenak untuk mengambil data penelitian. Beberapa pegawai Puskesmas pun banyak yang merasa iba. Tapi, disitulah aku merasa terbantu dengan kebaikan hati mereka.
Tak peduli dengan HPL yang semakin dekat. Bahkan H-1 jelang melahirkan, aku masih pergi ke kampus untuk bimbingan. Dosenku pun menyuruhku segera pulang karena ia punya firasat kalau bayiku akan lahir lebih cepat dari HPL yang diperkirakan oleh dokter. Benar saja, keesokan harinya, aku melahirkan seorang anak laki-laki. Seketika duniaku berubah. Seolah tak memikirkan tentang nasib perkuliahanku.
Aku bersyukur, ternyata tak butuh waktu lama untukku terlena akan kehadiran bayi mungil di sisiku. Segera aku atur strategi untuk melanjutkan penelitianku tanpa harus meninggalkan bayiku. Aku ingin memberikan ASI eksklusif dan tidak akan meninggalkannya sama sekali selama 3 bulan pertama.
Itu juga janji yang harus kutepati pada suamiku yang saat itu masih tinggal jauh di ujung pulau Jawa. Ya, kami menjalanakan LDM hingga aku dapat menyelesaikan perkuliahanku. Itulah yang menjadi salah satu motivasiku untuk segera menyelesaikan perkuliahan ini.
Menyelesaikan Tesis Sambil Mengurus Bayi Tidaklah Mudah
Alhamdulillah, ide dari dosenku untuk merekrut asisten peneliti pun berhasil aku laksanakan, dan itu sangat membantu sekali. Selama 2 bulan pertama setelah melahirkan, aku sama sekali tidak keluar rumah, cukup menyambut teman-teman asisten peneliti, melakukan briefing dan menelaah data yang berhasil mereka dapatkan. Tugasku di rumah adalah mengolah data yang sudah mereka dapatkan.
Setelah dua bulan berjalan, aku mulai nekat mengajak bayiku yang masih berusia dua bulan untuk pergi ke kampus mencari data ataupun bimbingan. Aku bersyukur, jarak dari rumah orang tuaku ke kampus terbilang sangat dekat, cukup dengan berjalan kaki tak sampai 15 menit. Bayiku pun menjadi terkenal di kalangan dosen dan mahasiswa lainnya karena sangat jarang ada bayi yang ikut ke kampus.
Aku tahu, tidak semua orang setuju dengan apa yang kulakukan ini. Ada yang menganggap aku keterlaluan karena harus mengajak bayi untuk ikut pergi berjuang menyelesaikan penelitian. Tapi, apa boleh buat. Aku tidak memiliki pengasuh untuk bayiku, dan aku tidak bisa menitipkannya kepada siapapun karena aku sudah berjanji akan memberikan ia ASI eksklusif selalu.
Pernah Mendapat Cibiran
Saat bayiku berusia 3 bulan, barulah aku berani mengajaknya naik transportasi umum untuk berkeliling ke pusat-pusat kepentingan penelitianku. Saat itu, aku tahu banyak para ibu yang menyesalkan keputusanku membawa bayiku kemana-mana dengan transportasi umum, seperti kereta. Aku sadar, mereka berbisik membicarakanku dan bayiku, tak jarang ada yang langsung menegurku. Aku hanya bisa melemparkan senyuman yang sedikit dipaksakan.
Tapi, aku pun juga tidak memaksakan diri untuk membawa bayiku menuruti kehendakku. Jika ia mulai rewel atau haus, aku segera keluar dari transportasi umum dan mencari tempat yang nyaman untuk bayiku tidur atau menyusu, seperti Musholla. Aku rela perjalananku lebih lambat dari biasanya agar bayiku tetap bisa merasa nyaman bersamaku.
Singkat cerita, aku pun berhasil melewati semua itu. Walaupun terlambat 1 semester dari normalnya, akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliahku. Dan aku pun bisa ikut bersama suamiku untuk menemaninya di ujung barat Pulau Jawa, tempat ia bekerja.
Semoga kisahku tentang menyelesaikan tesis sambil mengurus bayi ini bisa menjadi inspirasi bagi para ibu yang ingin tetap bersama anaknya, tetapi juga memiliki kewajiban di luar sana yang harus dikerjakan. Semua keputusan pasti ada pro dan kontra. Tapi, jika kita melaksanakannya dengan baik dan dengan evaluasi berkala untuk menjadi lebih baik lagi, Insya Allah semua akan terselesaikan dengan baik.
Tetaplah semangat untuk para ibu. Menjadi Ibu Rumah Tangga, bukan berarti melenyapkan cita-cita.
***
Ditulis oleh Bunda Andam Pertiwi.
Baca juga:
Senyum Anak, Alasan dan Semangatku Menjadi Ibu Pekerja Sekaligus Ibu Rumah Tangga
Bekerja Sebagai Terapis, Saya Bertemu Para Ibu Istimewa yang Dikaruniai Anak Spesial
Sering Dapat Komentar Nyinyir Saat Hamil, Ini Pesanku untuk Para Bunda
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.