Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia atau World Suicide Prevention Day diperingati pada 10 September setiap tahunnya.
Dalam World Suicide Prevention Day 2024 ini, tema yang diusung adalah “changing the narrative” atau mengubah narasi.
Tema ini bertujuan untuk menginspirasi individu, komunitas, organisasi, hingga pemerintah untuk terlibat dalam percakapan terbuka dan jujur tentang bunuh diri.
Dr. Jarbas Barbosa, direktur Pan American Health Organization (PAHO), menjelaskan bahwa hingga saat ini masih banyak stigma terkait bunuh diri di berbagai budaya.
Stigma ini membuat mereka yang tengah berjuang melawan depresi dan keinginan mengakhiri hidup kesulitan untuk meminta bantuan.
“Bunuh diri sering disalahpahami sebagai tindakan yang lemah, egois, bahkan termasuk kejahatan,” kata Dr. Barbosa.
“Maka, sangat perlu untuk mengganti narasi berbahaya ini dengan narasi yang mempromosikan pemahaman, penyembuhan, dan pemulihan bagi semua yang telah terpengaruh dan bagi mereka yang telah kehilangan orang yang dicintai,” tambahnya.
World Suicide Prevention Day, Memahami Depresi untuk Cegah Bunuh Diri
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan International Association for Suicide Prevention (IASP) mencatat angka bunuh diri masih terbilang tinggi.
IASP mencatat, setidaknya ada 300 orang yang berupaya melakukan percobaan bunuh diri di sekitar 70 negara.
Sementara itu, WHO mencatat bahwa sekiranya ada 10.000 orang di Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri.
Tingginya angka kematian akibat bunuh diri membuat WHO dan IASP mendesak adanya kerja sama dari semua pihak untuk melakukan pencegahan.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah saling memahami dan menghapus stigma negatif mengenai bunuh diri.
Dalam artian, setiap orang perlu paham bahwa bunuh diri merupakan hal yang kompleks dan tidak luput dari kondisi kejiwaan seperti depresi.
Tidak hanya itu, proses memahami kaitan antara depresi dan bunuh diri juga bukanlah sesuatu yang mudah.
Penjelasan tersebut pun disampaikan oleh dr. Andri, Sp.KJ, FAPM dari Rumah Sakit Omni Alam Sutera.
“Kadang, kita masih terstigma oleh suatu kondisi di mana orang yang memiliki gangguan kejiwaan memiliki kelemahan dalam iman, atau pun tidak bersyukur dalam hidup. Padahal, depresi merupakan jenis gangguan medis umum yang bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja,” ungkap Andri lewat sesi sharing yang ia bagikan lewat akun Youtube miliknya.
Kecenderungan Bunuh Diri Bisa Menyerang Siapa Saja
Sementara itu, dr. Jiemi Ardian, SpKJ juga menjelaskan hal serupa.
Dia menjelaskan bahwa, keinginan dan kecenderungan bunuh diri sebenarnya bisa menyerang setiap orang.
Hanya saja, keinginan tersebut bisa saja dilontarkan secara aktif maupun pasif.
Artinya, ada orang yang mengungkap bahwa ia ingin bunuh diri secara gamblang.
Misalnya, ‘saya ingin mati’, ‘saya ingin menyayat diri saya’, dan sebagainya.
Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa ada orang-orang yang mengutaran keinginan tersebut secara pasif.
Contohnya, ‘saya ingin menghilang’, ‘Bisa tidak, ya, besok kiamat saja?’. atau pun ‘saya mau skip saja hari esok dan seterusnya’.
Jiemi memaparkan, “Mereka yang memiliki kecenderungan bunuh diri memiliki cara sendiri dalam berkomunikasi. Kadang ada yang langsung mengatakan bahwa ia ingin mengakhiri hidup.
“Namun, ada juga yang melalui kode. Seperti bahasa tersirat atau bahkan melalui karya seperti puisi,” jelasnya.
“Beberapa pikiran bunuh diri memang hadir dalam konteks pasif dan ringan. Namun, jika berkembang, pikiran tersebut akan maju menjadi pikiran bunuh diri aktif.
“Bahkan, ada yang sampai meningkat hingga fase percobaan dan perencanaan bunuh diri. Ini yang perlu diwaspadai,” ungkap Jiemi melalui akun Youtube miliknya.
Mendengarkan, Kunci untuk Mencegah Bunuh Diri
Pada hakikatnya, keinginan bunuh diri juga merupakan aktivitas dari pikiran manusia.
Menurut penjelasan Jiemi, keinginan bunuh diri juga diakibatkan oleh rasa sakit psikologis seseorang.
“Jadi, orang itu sebenarnya tidak ingin mengakhiri hidup. Ia hanya ingin mengakhiri penderitaannya saja. Rasa sakitnya begitu dalam, sehingga mereka tidak berpikiran sehat dalam mencari solusinya,” ungkap dokter yang kerap praktik di Siloam Hospitals Bogor.
Tidak hanya itu, biasanya juga orang yang depresi memiliki dua pikiran yang bertolak belakang dalam benaknya.
Kondisi ini disebut sebagai ambivalensi. Jadi, di satu mereka ingin mengakhiri hidup, tetapi di waktu yang bersamaan juga mereka tidak ingin mati.
“Ada dua perasaan yang hadir secara bersamaan. Jadi, mencegah bunuh diri tidaklah sesederhana menyuruh orang bersyukur.
“Lalu, apa yang perlu dilakukan? Upaya terbaik adalah mengurangi rasa sakit mereka dengar mendengarkan tanpa menghakimi,” ungkap Jiemi.
Karena pada dasarnya, orang yang memiliki kecenderungan ingin bunuh diri hanya perlu membagikan dan mengutarakan rasa sakit mereka. Sehingga mendengarkan dan memahami adalah langkah terbaik untuk menolongnya.
“Telinga kita yang mendengar dapat menyelamatkan nyawa mereka. Sebaliknya, mulutmu yang menghamiki mereka, malah bisa semakin membunuh. Jadi, hati-hati dalam menyampaikan sesuatu pada orang yang memiliki kecenderungan bunuh diri,” ungkap Jiemi lagi.
Sementara itu, pikiran atau keinginan bunuh diri juga bisa dicegah oleh beberapa cara.
Mengutip dari laman Help Guide, cara yang bisa dilakukan untuk mencegah keinginan bunuh diri di antaranya:
- Ingat bahwa emosi bisa berubah kapan saja dan tidak bersifat mutlak. Akan ada bahagia di antara rasa sedih yang melanda. Konflik dan masalah mungkin singgah di hari ini, tetapi esok hari bisa saja hanya hal-hal baik yang datang menghampiri.
- Selalu ingat bahwa akan selalu ada orang yang mendukung dan menemani perjuangan hidupmu.
- Jika pikiran buruk datang, tenangkan diri dan carilah tempat aman. Jauhkan benda-benda yang berpotensi menyakiti atau memperkuat keinginan bunuh diri.
- Tidak apa-apa jika sedang merasa tidak baik-baik saja. Namun, ingatlah juga bahwa pertolongan dan solusi akan selalu ada. Jangan ragu untuk meminta pertolongan.
Kecenderungan bunuh diri bisa menyerah siapa saja dan kapan saja, terutama di saat pandemi yang serba sulit seperti sekarang ini.
Maka itu, dibutuhkan kerja sama dari setiap individu untuk memahami fenomena ini dan melakukan upaya pencegahaanya.
Meski kontak fisik terbatas di masa pandemi ini, tetapi jangan ragu untuk merangkul mereka yang sekiranya membutuhkan dukungan psikologis terkait permasalahan yang tengah dihadapi.
“Tidak mudah memang hidup dengan pikiran bunuh diri. Tetapi perlu diingat, pertolongan itu ada dan bisa diraih.
“Jadi, bagi Anda yang memiliki pikiran ini, maka izinkan dirimu untuk mendapat pertolongan,” pungkas Jiemi.
Artikel Terkait: 6 Manfaat Punya Support System agar Kesehatan Mental Terjaga
Parents, dalam memperingati World Suicide Prevention Day, mari lebih memahami bahwa kasus bunuh diri merupakan hal kompleks yang perlu ditangani bersama.
Rangkul mereka yang membutuhkan. Jika Anda pun pernah memiliki pikiran bunuh diri, merasa depresi, atau sekadar lelah secara piskologis, jangan ragu untuk meminta bantuan profesional.
Semoga bermanfaat!
***
Baca juga:
Anak juga bisa alami depresi, kenali gejalanya dan cara tepat menghadapinya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.