Forceps adalah alat yang digunakan untuk memandu kepala bayi menuju jalan lahir secara normal. Penelitian di Universitas Columbia mengungkapkan, melahirkan dengan forceps memiliki risiko komplikasi 80% lebih tinggi dibanding persalinan dengan operasi caesar.
Meski demikian, ini salah satu jalan terbaik bagi bayi agar bisa lahir dengan selamat. Seperti apakah bentuk dari alat ini, dan bagaimana cara penggunaannya hingga bisa dikategorikan ‘lebih berisiko dari caesar’?
Posisi dan kondisi bayi di dalam rahim sesaat akan dilahirkan berbeda-beda. Ada yang sungsang, terlilit tali pusat, dan ada juga yang sudah benar dengan posisi kepala di bawah, tetapi kesulitan menemukan jalan lahir.
Dalam kondisi yang terakhir ini, biasanya bidan atau dokter kandungan akan membantunya keluar dengan menggunakan vaccum (vakum) atau forceps (forsep).
Sesuai dengan penjelasan di laman What to Expect, melahirkan dengan forceps adalah jenis persalinan yang dibantu menggunakan sepasang forceps yang menyerupai penjepit salad besar dengan cara kerja mirip seperti tang.
Alat tersebut dimasukkan ke dalam vagina dan dijepitkan ke kepala bayi yang tujuannya untuk mempercepat persalinan dengan memandunya melalui jalan lahir.
Forceps ini pertama kali dikembangkan oleh Sir Kedarnath Das, M.D, yang merupakan seorang OB/GYN di abad ke-19 hingga abad ke-20. Awalnya ia mendesain alat ini untuk digunakan pada perempuan Indian yang memiliki pelvis lebih sempit.
Laman The Sun melaporkan, American College of Obstetriticians and Gynaecologists (ACOG) mendorong lebih banyak dokter untuk menggunakan forceps maupun vakum dalam proses persalinan. Pernyataan ini dikeluarkan pada tahun 2014 di Amerika.
Menurut laporan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) baru-baru ini, forsep digunakan pada 0,5 persen kelahiran hidup di Amerika Serikat.
Artikel Terkait: Pengakuan Seorang Ibu “Tidak Ada yang Normal Dalam Proses Persalinan Normal yang Kujalani”
Kondisi yang Mendukung Persalinan Forceps
Forceps yang didesain oleh Sir Kedarnath Das. Sumber: Wikipedia
Persalinan forceps umumnya dilakukan di tahap kedua persalinan, yaitu saat fase mendorong setelah bayi turun melewati titik tengah jalan lahir.
Jika bayi masih berjuang untuk keluar, dan persalinan Bunda berkepanjangan, dokter mungkin akan merekomendasikan dan memutuskan menggunakan forceps guna mempercepat persalinan. Hal ini juga bertujuan dan harapan operasi caesar bisa dihindari.
Secara khusus, dokter mungkin akan memutuskan untuk menggunakan forceps jika:
- Bayi harus segera dilahirkan karena ia mengalami gawat janin.
- Bayi berada dalam posisi yang tidak menguntungkan selama tahap mendorong (forceps dapat digunakan untuk memutar kepala bayi).
- Bayi terjebak di jalan lahir.
- Ibu mengalami kesulitan mengejan. Misalnya, ia kelelahan atau memiliki penyakit jantung atau tekanan darah sangat tinggi, dan mengejan akan merugikan kesehatan ibu.
Langkah-Langkah Persalinan atau Melahirkan dengan Forceps
Ilustrasi penggunaan forceps. Sumber: Pregistry
Hmm, pasti Bunda penasaran, bukan, bagaimana cara kerja forceps ini?
Pertama-tama, serviks ibu harus dibuka sepenuhnya dan selaput ketuban ibu harus pecah. Ibu juga harus mengosongkan kandung kemih, buang air kecil terlebih dahulu sebelum prosedur dilakukan dan dalam kondisi mati rasa dengan estetika (epidural).
Jika perlu, dokter akan melakukan episiotomi —sayatan pada jaringan antara vagina dan anus— untuk memperbesar lubang vagina untuk penempatan forceps. Setelah semua hal tadi dilakukan, dokter akan melakukan langkah-langkah berikut:
- Di antara kontraksi, forceps dimasukkan satu per satu di sekitar setiap sisi kepala bayi. Dokter akan memastikan setiap sisinya ‘terkunci’ dengan benar di posisi kepala bayi. Jika kepala bayi menghadap ke atas, dokter mungkin akan memutar kepala bayi terlebih dahulu sehingga posisinya menghadap ke punggung ibu.
- Setiap kali ibu mendorong selama kontraksi, dokter akan menggunakan forceps untuk memandu bayi melalui jalan lahir dengan lembut.
- Setelah kepala bayi lahir, ibu bisa melanjutkan mendorong sisa tubuh bayi hingga semuanya keluar.
Artikel terkait: 10 Tips Merawat Jahitan Setelah Melahirkan Normal agar Lekas Sembuh dan Tidak Infeksi
Risiko Melahirkan dengan Forceps
Persalinan dengan forceps memiliki sejumlah kemungkinan risiko bagi bayi dan ibu. (Sumber gambar: Freepik)
Risiko pada Bayi
Selama forceps digunakan dengan benar oleh praktisi yang berpengalaman, risiko pada bayi sangatlah rendah. Umumnya risiko rendah persalinan forceps adalah:
- Beberapa memar di kulit kepala bayi akibat tekanan forceps —biasanya hilang dalam beberapa hari setelah lahir.
- Beberapa pembengkakan sementara pada kepala bayi. Mungkin tampak berbentuk kerucut pada awalnya, tetapi akan kembali normal beberapa hari setelah lahir.
- Bayi mengalami kerusakan saraf sementara pada otot-otot wajah –sangat jarang terjadi.
- Cedera seperti pendarahan di dalam kepala akibat forsep –juga amat sangat jarang terjadi.
ACOG menegaskan, hingga kini tidak ada bukti bahwa melahirkan dengan forceps memiliki efek pada perkembangan anak.
Risiko pada Ibu
Meskipun aman untuk dilakukan, dalam beberapa kasus persalinan forceps bisa membawa beberapa risiko bagi ibu. Di antaranya:
- Vaginal-perineal tears, yang mungkin membutuhkan waktu untuk sembuh.
- Kesulitan buang air kecil setelah melahirkan.
- Nyeri di daerah perineum, yaitu daerah antara vagina dan anus.
- Cedera pada kandung kemih atau uretra.
- Melemahnya otot dan ligamen yang menopang organ panggul yang dapat menyebabkan kendur (atau prolaps organ panggul).
- Bunda mungkin menerima episiotomi untuk memperbesar lubang vagina untuk melahirkan.
Ada juga kemungkinan forceps tidak akan berhasil, dan dalam kasus ini biasanya dokter akan segera merekomendasikan operasi caesar.
Benarkah Melahirkan dengan Forceps Lebih Berbahaya dari Caesar?
Dikatakan jika kemungkinan angka risiko komplikasi lebih besar saat melahirkan dengan forceps dibandingkan operasi caesar. (Sumber gambar: Freepik)
Para peneliti di Universitas Columbia menemukan fakta bahwa risiko komplikasi parah yang terjadi saat persalinan 80% lebih tinggi jika melahirkan dengan forceps atau vakum. Dibandingkan proses persalinan caesar.
Giulia Muraca, pemimpin dalam studi ini menyatakan, “Perlu dipahami bahwa sama halnya dengan caesar, melahirkan dengan forceps dan vakum adalah prosedur invasif yang memiliki risiko masing-masing.”
“Risiko-risiko yang telah kita ketahui jumlahnya, harus dikomunikasikan dengan para ibu hamil yang memiliki kemungkinan mengalami prosedur invasif tersebut. Terutama jika risikonya berada di angka 1 banding 5,” tambah Giulia.
Untuk lebih memahami risiko yang ditimbulkan saat melahirkan dengan forceps, tim peneliti melihat laporan medis dari 187,234 kelahiran di Kanada dalam periode 10 tahun. Yakni yang mencakup persalinan normal dengan menggunakan vakum dan forceps dengan caesar, dengan usia kehamilan antara 37 hingga 41 minggu.
Para peneliti menemukan, persalinan dengan menggunakan forceps dan vakum memiliki risiko trauma parah 5 hingga 10 kali lebih tinggi dari persalinan caesar.
Dalam kasus persalinan dengan forceps, para ibu yang menderita robekan parah berjumlah 19%, sekitar 12% pada kasus persalinan dengan vakum, dan 20% pada persalinan yang menggunakan keduanya sekaligus.
Kata Giulia lagi, penggunaan forceps bisa meningkatkan jumlah kasus komplikasi pascakelahiran. Terutama trauma pascamelahirkan, serta komplikasi seperti perdarahan yang parah, dan robekan di area vagina.
Artikel terkait: 10 Pantangan Ibu Melahirkan Sebelum 40 Hari, Jangan Lakukan Bunda!
Komunikasikan Terlebih Dahulu dengan Pasien
“Para ibu hamil yang harus menghadapi persalinan dengan menggunakan vakum atau forceps harus diberi tahu sebelumnya. Sesuai standar informasi dan kesediaan yang berlaku pada proses persalinan normal,” kata Giulia.
Diskusi mengenai ini sudah harus dilakukan kepada mereka saat mereka sedang merencanakan proses persalinan apa yang diinginkan.
“Pihak medis seharusnya berhati-hati dalam menyarankan pilihan menggunakan forceps atau vakum, dibandingkan caesar pada para ibu. Kecuali mereka benar-benar bisa mengidentifikasi siapa yang membutuhkan penggunaan alat tersebut,” ungkap peneliti post doktoral di Universitas Columbia.
Meski demikian, Giulia tetap menekankan penggunaan forceps pada situasi tertentu, di mana bayi mengalami stres dan alat tersebut berpotensi untuk menyelamatkan ibu dan bayi –karena biar bagaimana pun alat ini bekerja lebih cepat dibandingkan prosedur cesar.
Studi yang diterbitkan pada Canadian Medical Association Journal ini hanya berlaku jika kepala bayi masih berada setengah jalan di pelvis sang ibu. Bila kepala bayi telah turun lebih rendah di jalan lahir, melahirkan dengan forceps harus digunakan.
Artikel diupdate oleh: Ester Sondang
Baca juga:
10 Risiko Penyakit Setelah Melahirkan Normal, Bunda Perlu Waspada!
22 Perlengkapan yang Harus Dibawa Saat Melahirkan untuk Bunda, Bayi, dan Ayah
11 Perubahan Fisik Setelah Melahirkan, Bunda Mengalaminya?
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.