Memiliki anak adalah keinginan terbesarku sedari dulu. Namun, sebagai orang yang memiliki penyakit Takikardia, perjuangan hamil dan melahirkan ini tentunya tidak mudah.
Iya, Benar. Aku menderita penyakit bernama ‘Aritmia Takikardia’, suatu penyakit kelainan denyut jantung. Sudah lama, dan memang aku harus rutin konsumsi obat.
Perjuangan Hamil dan Melahirkan Sebagai Penyintas Takikardia
Awal cerita, aku menikah pada bulan Desember tahun 2019. Tak lama setelahnya, tibalah waktu di mana si garis merah dua menghampiri kehidupanku di April 2020. Rasanya? Speechless!
Begitu tahu, bergegaslah aku dan suami merencanakan kontrol ke dokter kandungan. Namun, belum sampai rencana itu terlaksana, muncul noda darah di celana dalamku, bercak dan sakit seperti mau menstruasi.
Saat itu kami panik, lalu kami pun pergi ke sebuah RSIA yang berada di dekat rumah. Di sana, dokter kandungan menyarankan untuk bedrest karena kecapean. Saat ditensi, suster bilang bahwa denyut nadiku di atas normal. Saat itu, barulah aku bilang ke dokter kalau aku punya penyakit aritmia.
Dokter pun kaget. Beliau mencoba menjelaskan, “Begini, ya, Bu. Yang tidak punya aritmia pun ketika hamil akan terasa melelahkan. Dan semakin perut membesar, maka akan semakin cepat denyut jantung si ibu.”
Singkatnya, beliau bilang, dengan kondisiku yang seperti ini, seharunya aku berkonsultasi juga soal rencana kehamilan ke dokter spesialis jantung terlebih dulu.
Nah, di sana aku mulai down. Apalagi, setelah konsultasi ke dokter jantung, beliau malah bilang kalau aku tidak boleh melahirkan di usia kandungan 9 bulan pada umumnya. Karena, itu malah akan semakin membahayakan untuk kesehatanku.
Makin streslah aku dibuatnya. Apalagi, aku sempat baca artikel di internet dan sumbernya nggak jelas (jangan ditiru), di kondisi ini, kalo enggak bayinya, ya ibunya yang meninggal. Atau bahkan dua-duanya. Saat itu, harapanku menciut, aku makin murung dan stres.
Namun, suami menguatkan. Aku beruntung suami sangat dekat dengan ibadah. Dia senantiasa menghiburku dan menyemangatiku. Tidak ada yang dia takutkan kecuali Allah. Bismillah, dari situ aku pasrah dan ikuti saja alurnya.
Perjalanan Mencari Rumah Sakit untuk Melahirkan
Usia kandunganku sudah menginjak 6 bulan. Aku mulai mencari tahu harga persalinan caesar kisaran berapa di beberapa rumah sakit. Karena kata dokter jantung, proses kelahiranku ini memang harus caesar, mengingat aku sudah merencanakan juga mengeluarkan bayiku di usia 29-30 minggu (lahir prematur) karena kondisi kesehatan.
Rumah sakit pertama yang kudatangi tidak cocok. Dari fasilitas dan dokternya juga kurang bagus. Akhirnya, aku menemukan rekomendasi biaya caesar murah di salah satu rumah sakit. Meskipun agak jauh dari rumah, tapi terjangkaulah biayanya. Kami belum punya BPJS saat itu. Bukan belum punya, sih, lebih tepatnya belum jadi. Lagipula, di masa pandemi begini keuangan pun sedang sulit.
Akhirnya, pergilah kami ke rumah sakit tersebut, tapi kami ditolak di sana. Bukan, bukan karena biaya persalinan, tapi karena fasilitas. Rumah sakit tersebut tipenya D. Artinya, tidak ada ICU/NICU dan tidak ada dokter spesialis juga. Dokter pun menyarankan kami bersalin di rumah sakit tempat dokter jantungku saja. Sebenarnya, dari awal memang maunya begitu. Hanya saja, rumah sakit tersebut biaya persalinannya 2x lipat lebih mahal harganya.
Kembalilah aku galau. Sampai akhirnya, teman dari suami mau membantu kami ke salah satu rumah sakit lagi, tapi di sana pun kami ditolak. Jawabannya sama, fasilitas kurang dan tidak ada dokter spesialis. Mereka tidak mau ambil risiko.
Mereka bilang, operasi caesar yang harus aku jalani bukan operasi caesar biasa, karena aku punya penyakit kronis. Biayanya pun bisa sampai ratusan juta.
Ya Allah… uang dari mana? Mana saat itu, usia kandunganku sudah menginjak 29 minggu.
Datangnya Pertolongan
Aku jadi sering kambuh, beberapa kali pingsan dan kejang, tapi aku berdoa, semoga bayiku tetap aman di perut. Aku selalu makan makanan bergizi, susu, air kelapa, tidak pernah aku susah makan meskipun sedang stres. Pokoknya, aku hanya memikirkan bayiku harus aman dan selamat.
Di tengah kegalauan kami, datanglah seorang malaikat bernama Pak Yono (bukan nama samaran, nggak apa-apa disebut karena beliau memang malaikat buatku).
Beliau teman suamiku, bekerja di sebuah LSM peduli masalah kesehatan. Sekilas info, suamiku dan aku berprofesi sebagai guru, jadi kenal beberapa orang dari Dinas Sosial.
Pak Yono membantu kami masuk ke rumah sakit besar tempat di mana dokter spesialis jantungku berada, tanpa biaya sepeser pun.
Akhirnya, kami menemui Dokter Yudianto, dokter Obgyn-nya. Kuceritakan semuanya dan beliau amat sangat antusias, tidak ada sama sekali ketakutan saat aku konsultasi dengan beliau. Saat itu, dokter Yudianto ingin dokter jantungku diganti menjadi dokter Syahrir, karena memang dokter lamaku sudah tidak dinas di rumah sakit itu lagi.
Mempersingkat cerita, jadwal caesar aku rupanya ada di tanggal 29 november 2020, karena kondisi janin juga sudah cukup sehat.
Oke, penentuan tanggal caesar sudah, tinggal aku harus menemui dokter Syahrir untuk mendapatkan izin operasiku, mengingat beliau juga belum tahu, nih, kondisi pasiennya bagaimana.
Momen Bertemu Buah Hati Akhirnya Datang
Hari itu, Selasa, kami baru mendaftarkan janji konsul dengan dokter Syahrir di hari Senin berikutnya, tapi ternyata di Kamis malam ketubanku pecah.
Aku dilarikan ke IGD jam setengah 12 malam, belum ada pembukaan tapi dokter Yudianto tetap tidak bisa ambil tindakan karena belum ada konfirmasi dari dokter Syahrir. Tidak semudah itu langsung caesar begitu saja. Kenapa? Karena aku penderita takikardia, dokter harus hati-hati. Obat bius apa yang cocok dan lain-lain tentunya prosedurnya harus baik.
Barulah pukul 01.30 WIB, aku mulai merasakan kontraksi. Sudah ada pembukaan di jam 5 subuh. Akhirnya, dokter Syahrir berhasil dihubungi. Singkatnya, dia langsung datang ke rumah sakit padahal bukan hari praktiknya.
Ia bergegas memeriksaku, kemudian memutuskan segera operasi. Kondisiku mulai menurun, bahkan katanya aku beberapa kali hilang kesadaran.
Pukul 09.30, aku pun mulai masuk ruang operasi. Dokter Syahrir juga mendampingiku di ruang operasi. Pada pukul 10.22 WIB, di hari Jumat tanggal 20 November 2020, suara tangis anakku pecah. Subhanallah… anakku lahir.
Suster membisikkan di telingaku, “Bu, anak ibu sudah lahir. Cantik dan sehat, tidak kurang suatu apa pun.”
Alhamdulillah…
Tapi ada rasa sedih juga karena tidak bisa IMD. Karena, bayiku segera dibawa oleh suster ke NICU. Aku juga harus observasi jantung dulu.
Aku pun baru keluar dari ruang operasi 3 jam berikutnya setelah bayiku. Itu pun tidak bisa langsung bertemu karena menunggu kondisiku stabil. Barulah keesokan harinya, kami bisa bertemu dan aku bisa menyusui anakku.
Kehadiran Rinjani Adalah Sebuah Keajaiban
Dokter Yudianto dan Dokter Syahrir bilang, persalinanku adalah sebuah keajaiban, karena detak jantungku sempat normal dan bayiku sehat. Nutrisi yang kumakan diserap dengan baik, tidak terhambat meskipun beberapa kali kambuh saat hamil. Masya Allah, tabarakallah. Yang kami takutkan ternyata tidak terjadi.
Bayiku bernama Rinjani. Iya benar, seperti nama salah satu dari 7 gunung tertinggi di Indonesia. Kuat, kokoh, dan Indah.
Rinjani adalah bukti bahwa kuasa Tuhan itu ada. Kalau Allah sudah berkehendak, makhluk mana yang bisa menentangnya?
Saat ini, Rinjani adalah salah satu obatku, obat yang menurutku lebih manjur dibandingkan obat dokter yang harus aku konsumsi setiap 4 jam sekali. Tapi, perjuanganku ini masih panjang. Dan yang jelas, aku masih ingin hidup sehat bersama Rinjani dan ayahnya.
Inilah perjuangan hamil dan melahirkan versi aku, si penderita penyakit takikardia.
***
Kisah pengalaman ini ditulis oleh Jihan Nurul Fauziah.
Baca juga:
Keren, kisah ini membuktikan bahwa empati sesama ibu masih ada!
Kisah Memilukan Ibu Yang Melahirkan Bayi Meninggal Dalam Kandungan
Kisah Pengorbanan Seorang Ibu yang Menyentuh Hati
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.