Ini ceritaku melahirkan prematur karena preeklampsia berat.
“170/130 bunda. Nanti kita tensi lagi ya. Biasanya kalau baru dateng tensinya tinggi,” ucap bu bidan malam itu.
Bidan. : “Kita cek kakinya ya bun”
Aku. : “Bengkak semua bu. Rasanya gak ilang-ilang, malah makin bengkak”
Bidan : “Iya bun biasanya bengkak itu ada di tiga titik, ini di semua titik kakinya bengkak. Bunda tau preeklampsia?”
Itulah percakapan yang terjadi antara aku dan bidan yang memeriksaku pada malam ketika aku diajak suamiku pergi kontrol ke bidan. Aku yang seringkali malas keluar rumah mencoba menurut, meski sudah mepet jam praktek bidan selesai. Bidan menemukan ada 3 tanda PEB (preeklampsia berat) dalam diriku. Tanda itu diantaranya tensi yang tinggi (Aku 3 kali cek tensi, hasilnya berkisar antara 168-170/110), kakiku bengkak, dan protein dalam urinku positif. Ya, preeklampsia adalah kondisi di mana terjadi peningkatan tekanan darah dan munculnya protein di dalam urin. Kondisi ini dialami ibu hamil pada usia kehamilan di atas 20 minggu.
“Enggak akhir minggu ini ke dokternya ya. Besok harus ke dokter,” begitu tegas bu bidan.
Kami pun berdiskusi ke RS mana aku akan dirujuk. RS yang dipilih harus RS tipe B di mana tersedia NICU. Tujuannya, supaya saat bayiku butuh NICU, kami tidak repot harus merujuk ke RS lainnya. Selama beberapa saat kami berkoordinasi dan memutuskan pergi ke RS HGA.
Kami memilih dokter yang berpraktek paling pagi agar aku bisa segera mendapat pemeriksaan. Setelah selesai membuat surat rujukan dan mendengar penjelasan Bu Bidan tentang hal-hal yang harus kami lakukan, aku dan suamiku pulang ke rumah. Kami bersiap untuk pergi ke RS besok pagi.
Aku tak kunjung bisa tertidur nyenyak. Kepalaku sakit, nafasku berdetak cepat dan terdengar bising di telingaku. Akhirnya suamiku membangunkanku dan membawaku ke UGD malam itu.
“Dek ayo kita ke rumah sakit sekarang. Aku gamau sampai terlambat dan terjadi sesuatu sama kamu,” kata suamiku.
Artikel terkait: Hati-hati! Preeklampsia setelah melahirkan bisa terjadi, kenali gejalanya
Bayiku Harus Segera Dikeluarkan
Pukul 23.30 kami sampai di UGD, aku diswab antigen, kemudian dibawa ke ruang bersalin. Bidan yang membawaku mengatakan tidak ada cara lain selain melakukan tindakan untuk menyelamatkanku. Bayiku harus segera dikeluarkan.
Perasaanku tak karuan malam itu. Ini pertama kalinya aku masuk rumah sakit dan di saat itu aku baru benar-benar menyadari kalau aku dalam kondisi ‘gawat’. Aku tak siap dan tidak dapat membayangkan harus bersalin di kehamilanku yang masih berusia 33 minggu.
Tidak lama aku sampai di ruang bersalin, bidan segera merawatku. Jantungku di rekam, urinku dites ulang, jantung bayiku juga ikut direkam. Obat penurun tensi yg berefek panas di sekujur tubuh dimasukkan selama beberapa kali. Beberapa suntikan obat pematangan paru pun dimasukkan. Aku diminta makan sedikit dan minum obat penurun tensi.
Pukul 03.30 proses perawatan pertama dan proses administrasi selesai. Aku dan suamiku pun beristirahat. Kami tertidur hingga waktu subuh tiba.
Satu jam berselang aku terbangun dari tidurku. Kutengok ke kanan, suamiku tertidur di atas matras tipis seadanya sambil memeluk foto USG 24 minggu kakak, panggilan untuk anak kami. Kulihat ke depan, terpajang pula bingkai berisi foto USG kakak. Ternyata suamiku lebih mellow daripada aku.
Pagi ini kami akan bertemu dokter. Aku akan di USG dan mendengar hasil pemeriksaan. Sekitar pukul 10 pagi pun aku dibawa menggunakan kursi roda ke ruang praktek dokter di lantai 1. Namanya dr. RZ, dokter kandungan yang menanganiku selama aku di rumah sakit ini.
Saat USG berlangsung dokter memberiku saran untuk hidup lebih rileks serta berusaha tenang dengan berzikir agar tekanan darahku bisa segera turun dan stabil. Kemudian pada akhir pemeriksaan, dokter sedikit menegur suamiku karena berat badanku yang naik terlampau tinggi. Sebenarnya saat kontrol ke bidan, bidan mengatakan baik-baik saja dengan berat badanku saat itu. Tapi memang ku akui bobotku naik terlalu banyak untuk ukuran tubuh yang kumiliki. Berat badan yang berlebih memang bisa menjadi pemicu sakit yangg ku alami ini.
Selesai sudah pemeriksaan pagi ini. Alhamdulillah, ternyata aku tak harus menjalani operasi caesar dalam waktu dekat. Ya, jadilah aku melahirkan prematur karena preeklampsia berat yang kualami. Dokter akan memberi treatment untuk menurunkan tensiku dan menyiapkan bayiku jika harus segera dilahirkan. Sementara aku harus menjalani hidup lebih rileks untuk mencapai kesembuhan yang diinginkan.
Artikel terkait: Bisakah preeklampsia pada kehamilan dicegah? Ini penjelasan dokter kandungan
Aku Dibayangi Kekhawatiran
Hari berganti. Tensiku masih turun naik tak stabil, masih di kisaran 150/110, pernah juga hingga 170/110. Rasanya sudah hampir putus asa aku menjalani perawatan ini. Aku tak mengerti mengapa tensiku masih turun naik sepert ini. Padahal aku sudah berusaha rileks, melakukan relaksasi dan butterfly hug, banyak zikir dan membaca quran, tidak memikirkan hal-hal yg membuatku stress, mengonsumsi berbagai obat-obatan, serta melakukan hal yg menyenangkan seperti bernyanyi bersama kakak bayi.
Aku pun menangis, hingga merasa tenang setelahnya. Kucoba membawa pikiran dan hatiku untuk meyakini bahwa tensiku adalah kuasa-Nya. Sementara tugasku adalah terus berusaha.
Memasuki hari kelima, kondisiku semakin tak karuan. Aku pun mendapat bantuan psikologis. Melalui videocall aku berbincang dengan mamih psikologku. Baru saja ia mengatakan “Apa yang isyah pikirkan?” Air mataku sudah menetes banjir. Kuakui padanya kalau banyak sekali kecemasan yang kurasakan. Aku khawatir jika anakku lahir prematur dan harus masuk NICU. Aku tak siap harus melahirkan prematur karena preeklampsia berat yang kualami.
Aku takut anakku belum siap hidup di bumi karena kondisi usia kehamilanku yang masih 33 minggu menuju 34 minggu. Selesai kuutarakan semua kecemasanku, ia mengajakku memikirkan hal-hal baik, keajaiban, dan rahmat yg pernah Allah hadirkan dan berikan untukku. Aku dibantu untuk menyeimbangkan rasa cemas dan rasa harapku. Aku dibantu agar ketika aku cemas, yang harus segera kuakses adalah rasa harapku yang akan membuatku semakin tenang. Aku diingatkan untuk terus menyebut nama-Nya untuk memperoleh ketenangan.
Benar kata psikologku, kalau saat ini yg kuharapkan adalah kesehatan dan keselamatan. Bagaimanapun jalannya itu. Benar juga kalau aku sebaiknya benar-benar meyakini jika Allah pasti berikan skenario yang terbaik untukku. Tugasku berusaha menjalani skenario itu dan berharap happy ending bagaimanapun jalan ceritanya.
Aku terus menjalani perawatanku. Kali ini dengan kondisi jiwa yang lebih baik. Setiap sebelum tidur aku mengajak kakak bayi berbincang mengenai hal-hal yang kami syukuri hari itu. Rasa syukur atas kesehatan yang Allah beri, banyaknya orang yang perhatian dan turut mendoakan, dokter yang merawat dengan baik, bidan-bidan yang menjaga dengan penuh keramahan dan hal lainnya. Paginya, kuawali hari dengan mengatakan kepada kakak bayi bahwa, “Hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan”. Tak lupa kutingkatkan kuantitas dan kualitas ibadahku agar semakin dekat dengan-Nya.
Memasuki hari keenam perawatan, dokter kembali melakukan pengecekan kondisiku melalui proses USG. Hasilnya Masyaa Allah. Kondisi kakak bayi sangat baik, BB-nya sudah 2,2 kg, ari-ari dan air ketubannya bagus, paru-parunya sudah matang, detak jatungnya pun normal. Bahagia sekali rasanya, hingga kuumumkan kepada semua orang terdekatku.
Sorenya, dokter spesialis penyakit dalam yang merawatku berkunjung. Ia memperbolehkanku melanjutkan perawatan di rumah karena kondisiku yang terkontrol dengan obat. Tapi, dokter kandunganku berpendapat lain. Ia tak mau ambil resiko. Ia memutuskan agar aku terus dirawat di RS hingga waktu tindakan caesar tiba. Artinya sekitar seminggu lagi aku akan menjalani hari-hari di kamar perawatan.
Perawatanku terus berlanjut seperti sebelumnya. Makan, menonton TV, minum obat rutin, dan melakukan pemeriksaan tensi juga detak jantung bayi hingga pada hari Senin pemeriksaan USG kembali dilakukan. Aku ditemani umiku karena suamiku harus pergi bekerja setelah 1 pekan izin cuti.
Artikel terkait: Mencegah preeklampsia pada kehamilan kedua, ini saran dokter kandungan
Batal Pulang, Akhirnya Aku Melahirkan Prematur karena Preeklampsia Berat
Ketika masuk ruangan, dokter mengatakan kemungkinan aku bisa pulang jika proteinku bagus. Tapi, saat USG berlangsung ditemukan bahwa air ketubanku menyusut. Belum pada tahap berbahaya, namun tetap harus segera ditindak. Susterpun menelpon bagian NICU, memastikan ketersediaan NICU untuk bayiku jika kelak membutuhkan. Hasilnya, NICU masih penuh dan aku perlu menunggu ketersedian NICU untuk kemudian ditentukan jadwal operasi. Sorenya suster mengatakan kalau besok aku akan menjalani operasi caesar.
Rasanya lebih santai dan legowo. Aku berusaha menerima apapun skenario yang terjadi dengan terus berharap akan kesehatan dan keselamatanku juga bayiku. Aku pun mengabarkan orang-orang terdekatku. Meminta doa untuk kelancaran operasiku.
Esoknya, sejak pukul 2 pagi aku sudah mulai puasa. Aku juga dipasang cairan infus agar aku tak kekurangan cairan karena berpuasa. Semakin mendekati pukul 10 hatiku semakin dag dig dug. Pukul 9.30 aku dibawa ke ruang tunggu operasi. Tak lama kemudian masuk ke ruang operasi.
Ruang operasi terasa sangat dingin. Terdapat beberapa perawat dan dokter yang sudah berada di dalam. Aku diminta duduk membungkuk untuk melakukan anastesi. Proses anastesiku cukup rumit. Dokter menusuk-nusuk punggungku untuk menemukan tulangku namun tak kunjung ketemu. Dokter pun melakukan USG pada punggungku namun juga tak ketemu. Dokterpun mengganti bius lokal menjadi bius total. Punggungku yang telah tertusuk-tusuk rasanya sakit sekali ketika hendak kembali pada posisi tidur.
Aku dibius dan tak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian aku mendengar suara suster mengatakan bahwa operasiku sudah selesai. Mataku tak bisa terbuka, perutku terasa perih, dan sekujur tubuhku terasa dingin. Suamiku datang mengunjungiku. Membantu menghangatkan kakiku yang sudah tak kuat lagi dengan rasa dingin itu.
Aku terus diobservasi di ruang observasi pasca operasi. Setelah itu aku diangkat dan dipindahkan ke tempat tidur. Aku didorong dari ruang observasi ke ruang perawatan. Mataku masih terpejam, namun telingaku dapat mendengar semua suara. Pascaoperasi aku diperbolehkan makan dan minum, namun aku masih takut karena ada potensi mual. Baru sore hari ketika mataku sudah dapat dibuka aku mulai minum sedikit-sedikit.
Pukul 17.00 suster masuk membawa bayiku di dalam box. Rasanya haru sekali. Arzanka anakku selamat dan sehat sehingga ia diperbolehkan untuk rawat gabung dengan kedua orangtuanya. Suster menjelaskan bahwa aku harus menyusuinya setiap 2 jam dan mengganti popoknya saat sudah penuh. Pada hari ini, aku dan suamiku resmi menjadi orang tua.
Itulah pengalaman pribadi melahirkan prematur karena preeklampsia berat yang kualami. Semoga Parents bisa mengambil hikmah dari cerita persalinanku ini.
Ditulis oleh Isyah Rodhiyah, UGC Contributor theAsianparent.com.
Artikel UGC Contributor lainnya:
Cerita Perjalananku Berjuang Hamil dengan Satu Ovarium
Hidup Damai Ketika Harus Tinggal Bersama Mertua, Bisa Kok!
Anak Kecanduan Gadget karena Aku dan Suami Sibuk WFH, Ini Cara Kami Mengatasinya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.