Tanpa disadari ternyata ada beberapa kalimat yang menjatuhkan mental anak. Ucapan tersebut tentu saja bisa memengaruhi perkembangan psikologis anak sehingga perlu dihindari.
Iya, sebagai orang tua, kita tentu tidak ingin mengatakan hal-hal atau kalimat yang bisa menyakitkan hati anak. Apalagi kalau sampai melukai dan meninggalkan trauma.
Iya, tahu, dong, bagaimana sulitnya menghapus luka-luka yang di masa kecil? Istilah psikologinya, inner child.
Akan tetapi, namanya juga manusia, ya, kalau lagi merasa lelah, cepek, sedih, marah, jadi enggak bisa mengontrol kalimat. Ibarat, rem yang blong, frasa yang dipilih pun jadi tidak terfilter dengan baik.
Kadang kala ingin sekali menekan tombol ‘off’, menghadapi huru-hara di rumah. Termasuk menanggapi perilaku anak yang kadang memancing emosi. Iya, kita, para orang tua mencoba untuk melakukan hal yang terbaik, tetapi terkadang — sering kali — gagal.
Itulah mengapa mengetahui beberapa frasa yang berpotensi merusak atau melukai anak, yang ternyata sering digunakan orang tua perlu kita pahami. Sering kali, kalimat tersebut dampaknya begitu besar.
Ini bukan tentang mengalahkan diri kita sendiri. Namun, tentang belajar untuk bisa lebih baik dengan menjadi sedikit lebih sadar akan bahasa atau kalimat yang kita gunakan.
Jadi, saya pun mencoba mencari tahu sebenarnya frasa apa saja yang dinilai cukup berbahaya, tetapi nyatanya masih sering digunakan.
Harapannya, kita, sebagai orang tua bisa menghapus dari kosakata — dan mencari tahu kalimat apa yang sebaiknya dikatakan.
Kalimat yang Menjatuhkan Mental Anak
Salah Satu Kalimat yang Menjatuhkan Mental Anak: “Sudahlah…. ini bukan masalah besar”
Anak-anak sering menangis atau marah karena hal-hal yang tampaknya sangat konyol. Atau sepele? Iya, tapi ini, kan, sepele di mata kita, orang tua.
Ujung-ujunya, kita pun lantas lupa berempati. Menganggap hal kecil yang terlalu dibesar-besarkan. Kadang, kita menganggap kalau masalah tersebut seharusnya sudah mampu diatasi.
Padahal, ketika kita melupakan atau mengecilkan perasaan mereka, ini sangat berbahaya. Iya, perasaan anak-anak tentu saja perlu divalidasi. Enggak ada salahnya, kok, kita memosisikan diri, bagaimana rasanya jika kita berada di pihak anak.
Sebagai gantinya, coba ini:
Luangkan waktu sejenak dan cobalah untuk memahami berbagai hal dari sudut pandang mereka. Misalnya, dengan mengatakan sesuatu seperti, “Kamu sangat takut, frustrasi atau kecewa, ya. Iya, enggak apa-apa kalau kamu kesal. Mungkin kita membicarakannya dan mencari tahu apa yang harus dilakukan?”
Pada akhirnya, jika kita bisa membantu mereka melabeli emosi mereka, ini merupakan bagian penting dalam mengembangkan kecerdasan emosionalnya. Termasuk memperjelas bahwa kita ada untuk mereka.
“Kamu tidak pernah….” atau “Kamu selalu melakukan….”
Ah, sepertinya kalimat ini sangat familier, ya?
Kita, termasuk anak-anak umumnya sudah memiliki polanya sendiri. Namun, mengatakan kalimat dengan kata “selalu” atau “tidak pernah” melakukan sesuatu tidaklah benar.
Menghindari kalimat ini sebenarnya berlaku untuk siapa pun, termasuk untuk pasangan, teman, atau malah anak buah di kantor.
Menggunakan pernyataan seperti ini sebenarnya juga berisiko membuat kita kehilangan kesempatan untuk mengajari atau melatih mereka apa yang harus mereka lakukan dan apa yang dapat mereka lakukan di lain waktu.
Sebagai gantinya, coba katakan kalimat ini:
Pertama-tama, coba ingatkan diri kita, untuk mencari tahu mengapa anak kita terlibat dan sering melakukan perilaku tertentu. Jika menghadapi masalah seperti ini, sebenarnya diperlukan kedekatan secara emosional sehingga bisa terjadi komunikasi yang terbuka. Kemudian, tanyakan mengapa dirinya kerap melakukan perilaku tersebut.
“Kamu membuatku sedih ketika kamu melakukan itu”
Ya, mungkin memang benar ada perilaku anak yang membuat kita kesal. Saat anak tidak mendengarkan, atau melakukan hal-hal yang tidak seharusnya.
Akan tetapi, penting untuk menetapkan (dan menahan) batasan tanpa perlu mengungkapkan emosi secara berlebihan. Perasaan itu milikmu, bukan milik mereka.
Sebagai gantinya, coba ini:
Tetapkan batasan apa pun yang perlu ditetapkan, seperti, “Tidak apa-apa untuk melompat ke sofa,”. Kemudian, berikan beberapa pilihan seperti, “Apakah kamu lebih suka bermain dengan tenang di sini atau keluar?”
“Kamu seharusnya tahu lebih baik”
Ketika Parents mengatakan sesuatu seperti “Kamu harusnya tahu lebih baik,” mungkin kalimat seperti kita harapkan bisa memunculkan kesadaran untuk anak bisa berubah. Namun, kalimat ini justru bisa membuat anak-anak bersikap defensif, yang membuat mereka cenderung tidak mendengarkan. Bahkan bisa saja merusak kepercayaan diri mereka.
Sebagai gantinya, coba ini:
Daripada mengatakan “Kamu seharusnya tahu lebih baik,” akan lebih baik jika memulainya dengan mengajak anak untuk mencari solusi bersama. Sebagai contoh, “Hmm, sepertinya ada masalah di sini! Menurutmu, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya?”
Tujuannya adalah untuk fokus kepada solusi — bukan masalahnya — sehingga anak-anak berlatih memecahkan masalah dan memperbaiki kesalahan mereka sendiri, dan memikirkan cara untuk membuat pilihan yang lebih baik sejak awal.
“Biarkan aku melakukannya”
Suka geregetan melihat anak begitu lama mengerjakan sesuatu? Alhasil, tanpa sadar timbul keinginan untuk mengambil alih. Apalagi kalau sudah dalam waktu yang mendesak atau sedang terburu-buru.
Padahal tanpa sadar sikap ini justru memperlihatkan kepada anak-anak, seakan mereka tidak mampu mengerjakannya. “Ah, kamu enggak mampu melakukan ini, jadi saya harus terlibat.” Hal ini justru bisa mengecilkan hati dan benar-benar membuat anak frustasi.
Sebagai gantinya, coba ini:
Perlambat dan beri anak Anda waktu yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan tugas mereka. Atau paling tidak, jelaskan mengapa Anda harus terburu-buru. Katakan sesuatu seperti, “Aku akan membantumu sekali ini saja karena kita sudah terlambat, tapi mari kita kerjakan ini bersama nanti!”
Contoh Kalimat yang Menjatuhkan Mental Anak, “Anda adalah [masukkan label di sini]”
Jangankan anak-anak, kita sebagai orang dewasa juga pasti tidak nyaman atau bahkan merasa marah jika ada seseorang yang memberikan label kepada Anda, bukan?
Salah satu hal paling berharga yang dapat dilakukan orang tua untuk anak-anak mereka adalah menghindari memberi label kepada mereka. Pemberian label seperti ini jelas bisa menyakiti hubungan orang tua dengan anak.
Saat kita, orang tua mulai menghubungkan perilaku tertentu dengan label apa pun yang akhirnya diberikan kepada anak, justru akan menyulitkan kita menggali sekaligus memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam perkembangan anak-anak.
Bahkan pemberian label yang tampak positif seperti “Kamu pintar!” sebenarnya juga bisa berbahaya.
Sebagai gantinya, coba ini:
Perhatikan dan berikan tepuk tangan dengan upaya yang mereka lakukan, bukan hasil. Dan lakukan apa pun yang bisa kita lakukan untuk menghindari memberikan label kepada anak. Baik label tersebut untuk hal yang baik ataupun buruk.
Menulis artikel terkait beberapa kalimat yang menjatuhkan mental anak, setidaknya mengingatkan saya untuk bisa lebih hati-hati memilih frasa yang akan diucapkan. Kalau kata pepatah, setajam-tajam pisau, masih lebih tajam lidah.
Baca Juga:
5 Kiat Mendidik Anak Saat Pandemi Agar Mental Sehat, Jangan Sampai Salah!
5 Gejala Gangguan Mental Pada Anak, Parents Wajib Tahu!
Jangan Diabaikan, Ini Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental sejak Dini
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.