Parents, pernahkah Anda merasa mudah marah atau merasakan serba kekurangan? Terdengar wajar, bisa jadi perasaan tersebut muncul karena adanya luka inner child dalam diri yang belum selesai.
Mengingat kondisi ini memengaruhi kehidupan, penting nih bagi Parents mengetahui apa itu inner child dan bagaimana caranya berdamai dengan inner child agar kesehatan mental kita bisa menjadi lebih baik.
Dalam Instagram Live theAsianparent bertajuk “Berdamai dengan Inner Child, Luka di Masa Kecil”, saya mendapatkan banyak sekali informasi menarik. dr. Santi Yuliani, Sp.KJ memaparkan secara gamblang perihal inner child yang ternyata banyak dialami orangtua.
Apa Itu Inner Child?
Bagi yang belum tahu, inner child merupakan kumpulan pengalaman masa kecil yang tidak terselesaikan dengan baik yang mana efeknya akan terasa saat kita merespon sesuatu dewasa ini. Dengan kata lain, karakter termasuk bagaimana emosi seseorang bisa terbentuk dengan adanya inner child.
Selama ini, ‘diri kecil’ yang terbawa sampai besar kerap diasosiasikan dengan hal yang negatif atau pengalaman buruk. Nyatanya tidak demikian, inner child pun bisa merupakan sisi positif.
“Umumnya inner child itu berhubungan dengan luka batin negatif yang menyakitkan, padahal ada lho inner child ini yang positif. Misalnya, bagaimana kita mampu mengelola emosi dengan baik, termasuk daya kreativitas. Ini bisa terbentuk karena pengalaman masa kecil yang positif.
Untuk itu, apa yang didapat saat masa kanak-kanak sangat menentukan bagaimana sosok kita saat dewasa nanti. Ini akan menentukan apakah kita mampu menghadapi kehidupan dewasa dengan bahagia? Oleh karena itu, nggak masalah kok kalau ‘mode anak’ itu ada dalam diri kita kendati sudah dewasa”, tutur dr. Santi.
Perlukah Mengenali Inner Child dalam Diri?
Jawabannya tentu saja perlu. Terlebig lagi jika memeng terkait dengan pengalaman yang tidak menyenangkan atau menimbulkan luka hingga trauma.
Dokter Santi mengingatkan, risiko inner child negatif ini bisa terus terbawa hingga dewasa, bahkan akan memengaruhi relasi dengan pasangan termasuk sang buah hati.
Dengan luka yang kita alami di masa kecil, bisa menyebabkan perilaku yang berulang. Meski hal tersebut di luar kontrol kita ketika bersikap kepada orang lain yang tidak tahu apa-apa.
Oleh karena itu, ia mengingatkan, dengan mengenali sisi inner child, kita mengizinkan diri sendiri untuk mengontrol situasi tertentu yang mengarah pada emosi negatif.
Selain memiliki kontrol, kita jadi lebih mengetahui keterbatasan diri dan respon apa yang muncul secara dominan. Dengan demikian, kita mengetahui secara pasti apa yang sebaiknya kita lakukan.
Apakah Inner Child Bisa Disembuhkan?
Luka masa kecil bisa diselesaikan oleh individu yang bersangkutan, hanya jika ia menyadari dan mau menyelesaikan isu dalam dirinya.
“Bisa diperbaiki, tetapi tentunya tidak sama ya dengan melupakan. Orang yang memaafkan tidak sama dengan melupakan. Poin pentingnya adalah bagaimana kita bisa menerima bahwa inner child tersebut adalah bagian dari masa lalu kita. Karena bagaimanapun sistem otak tidak ada proses membuang memori, itu akan selalu tersimpan,” sambung dr. Santi.
Lalu bagaimana caranya agar materi yang tidak menyenangkan itu tidak mudah terbuka?
Katanya, otak manusia memang cenderung akan mengingat hal yang menyenangkan dan menyakitkan. Ibaratnya, memori tersebut akan tersimpan di dalam berbagai folder.
“Coba letakkan di folder paling belakang agar tidak mudah mencuat ke permukaan. Berdamai dengan isu tersebut sangat penting.”
Seperti Apa Dampak Inner Child Bagi Kehidupan Seseorang?
Perlu diketahui bahwa inner child efeknya bisa terbawa hingga jangka panjang. Untuk itu, perlu bagi kita menyelesaikan ini agar dapat menata batin dengan lebih baik karena respon yang kita tunjukkan biasanya berkaitan erat dengan apa yang dialami waktu kecil.
“Sebagai contoh, ketika kecil seorang anak terbiasa disuguhi pertengkaran orangtua dengan kata kasar bahkan kekerasan fisik. Anak akan melihat relasi yang tidak harmonis pada orangtuanya, sehingga saat dewasa ia memiliki trust problem dengan pasangannya nanti. Rasa tidak percaya ini menjadi biang konflik dalam hubungan,” ujar dr. Santi.
Contoh lain ketika anak lahir dan tumbuh di lingkungan orangtua yang gemar memanipulasi, maka ia akan memanipulasi orang lain dengan mudah kala dewasa karena sudah mendapatkannya sejak kecil.
“Yang berbahaya adalah jika akhirnya muncul mode remodeling, apa yang orangtua itu tidak sukai di masa kecilnya ia teruskan pada anak di masa mendatang. Misalnya ia biasa didisiplinkan dengan keras, ia ajarkan juga dengan anak karena merasa anak perlu merasakan kehidupan yang keras juga.
Padahal, mendisiplinkan anak itu kan tidak harus selalu dengan kekerasan. Cobalah perlahan tidak mengaitkan kehadiran anak kita dengan memori masa kecil kita yang menyakitkan, just stop and don’t fast forward to our kids,” kata dr. Santi.
Adisty, salah satu editorial theAsianparent Indonesia yang kini memiliki satu orang anak mengatakan kalau ada momen di mana dirinya serng merasa mengulangi sikap yang dilakukan oleh ibunya.
“Dari pengalaman pribadi, rasanya saya suka seperti mengulang sejarah. Misalnya, dulu saat saya masih kecil, saya nggak suka kalau mama saya bersikap A, jadi saya bertekad tidak mengulanginya lagi. Nyatanya nggak begitu, tanpa sadar, saat jadi ibu saya justru mengulanginya lagi.”
Dikatakan oleh dokter Santi, apa yang dialami oleh Adisty memang sering dirasakan oleh semua individu. “Ini memang sering dialami dan memang benar ini yang dinamakan inner child yang menimbulkan perilaku remodeling,” jelas dr. Santi.
Jika Luka Masa Kecil Masih Berlanjut Hingga Kini, Menjaga Jarak Solusi Terbaik
Di dalam sesi IGlive, banyak pertanyaan menarik. Salah satunya adalah, “Saat individu sudah mampu menyadari adanya inner child negatif dalam dirinya, kemudian disikapi dengan menjaga jarak dengan orangtua adalah langkah yg bijak untuk dilakukan?”
Dalam hal ini dr. Santi memberikan pandangan bahwa dirinya setuju apabila memilih untuk menjaga jarak. Katanya, tidakan ini justru diperlukan apalagi dengan banyaknya kondisi emosional kita sebagai anak dengan orangtua sebaiknya menjaga jarak.
“Bukan mengajarkan jadi anak durhaka, ya, menjaga jarak ini metode untuk meminimalkan konflik yang sebenarnya menyakiti satu sama lain,” jelas dr. Santi.
Namun, hal ini tentunya sulit bagi Parents yang mengalami trauma masa kecil tetapi masih tinggal serumah karena satu dan lain hal. Cara menjauh adalah pergilah sebentar meninggalkan orangtua untuk memutus puncak emosi, kebencian, kekecewaan agar tidak melonjak naik.
Misalnya, ketika kita merasa marah lalu terpicu untuk memproyeksikannya dengan orang lain dalam hal ini orangtua, tariklah napas sejenak. Hindari orangtua selama 1-10 detik untuk melanjutkan komunikasi. Hal ini akan memberikan kesempatan pada otak yang berada dalam mode emosi ke sistem logika.
“Bayangkan saat otak terus berada dalam sistem emosi. Yang ada kita tidak akan mampu menyaring kalimat yang terlontar dengan baik. Akhirnya, kalimat yang keluar dari mulut kita menjadi hal yang disesali.
“Coba, deh, kasih waktu untuk stay back. Bagi Parents yang sudah tinggal terpisah tetapi rasa benci dan kesal masih ada, ini akan memberikan kesempatan untuk anak dan orangtua sama-sama intropeksi diri. Kita sebagai anak dan orangtua akan mampu bertransisi dan berandai bagaimana ya rasanya kalau ada di posisi dia”, tukas dr. Santi.
Lantas, Bagaimana Cara Berdamai dengan Inner Child?
“Caranya ialah dengan menerima dan berdamai dengan masalah inner child kita. Harus ada closure, penutupan masalah. Sadari apa, sih, isu yang mendasari inner child kita, misalnya ada kekecewaan dengan ayah yang masih terpendam.
Diskusikan dengan ayah agar masalah terurai dan isu terselesaikan. Dengan begitu, jiwa kita pun menjadi damai. Seringkali kita memandang meminta maaf hanya berlaku untuk orang yang berbuat salah. Padahal, maaf ini justru punya manfaat positif untuk diri kita sendiri,” ujar dr. Santi.
Jika belum mampu memaafkan, artinya file otak yang berisi memori pahit masih terbuka. Bilamana terasa sulit, tutup perlahan perasaan yang berkaitan dengan memori menyedihkan yang akhirnya berdampak pada pembentukan diri kita saat ini.
Cobalah untuk yakinkan diri sendiri bahwa sangat mungkin untuk kita hidup bahagia untuk kemudian membahagiakan pasangan dan anak. Termasuk yakinkan pada diri sendiri bahwa hidup bahagia adalah mungkin sehingga bisa membahagiakan diri sendiri, pasangan, juga anak. Terlalu sibuk mengintip masa lalu, energi kita terkuras untuk melihat kesedihan dan lupa melihat kebahagiaan.
Kiat Berinteraksi Sehat dengan Orangtua yang Menimbulkan Luka Masa Kecil
“Sebesar apapun rasa tidak terima, amarah, kebencian, bahkan juga jijik hanya kita yang memiliki kewenangan dan kekuatan untuk menyelesaikan itu semua. Selama kita masih menganggap orangtua kita sama dengan dulu, berarti masalahnya belum selesai.
Ingat, tidak harus, kok, memaafkan sosoknya. Sulit memang menutup file, tetapi harus bisa melatih menutup itu satu per satu.
Mulailah dengan kadar yang paling kecil dan sederhana hingga akhirnya bisa berdamai dengan inner child kita. Nggak perlu buru-buru, karena semuanya perlu proses dan membutuhkan keterampilan berbeda bagi setiap orang,” pungkas dr. Santi.
Parents, bukanlah hal yang mudah untuk melupakan hingga akhirnya bisa menyelesaikan trauma yang disebabkan inner child. Namun, hal ini bukan berarti membuat kita melegalkan pelampiasan dalam bentuk apapun terhadap anak. Semoga informasi ini bermanfaat.
Baca juga:
3 Pola Asuh Ini Bisa Sebabkan Anak Depresi, Parents Sering Melakukannya?
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.