Selain pandemi Virus Corona yang tengah terjadi di dunia, Indonesia juga masih dihadapi oleh beban kejadian penyakit TBC yang tinggi. Tidak hanya itu, sama seperti COVID-19, jenis penyakit ini juga cenderung menular sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dan penanganan yang tepat.
Penyakit TBC: Gejala, Upaya Pencegahan dan Langkah Mengatasinya
Penyakit TBC (Tuberkulosis) atau yang dikenal juga sebagai TB paru, merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Lebih tepatnya, infeksi bakteri bernama mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru.
Saat menginfeksi, bakteri tersebut dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan. Salah satunya adalah menyebabkan batuk kronis, napas sesak, hingga kondisi lain seperti demam dan penurunan berat badan.
Secara umum, TBC merupakan salah satu dari 10 penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia. Pada 2018, 10 juta orang terkena penyakit ini, serta 1,5 juta di antara mereka kehilangan nyawa sebagai dampak dari TBC.
Sementara itu, berdasarkan data Global TB Report 2019, Indonesia pun berada dalam daftar 30 negara dengan beban tuberkulosis tinggi di dunia. Hingga kini, Tanah Air masih menempati peringkat tiga sebagai negara dengan angka TBC tertinggi setelah India dan China.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga memperkirakan, angka kematian TBC di Indonesia pun cenderung melambung. Yakni sekitar 35 per 100 ribu penduduk. Sekitar 98.000 penduduk tercatat meninggal akibat TBC, atau setara dengan 11 kematian per jam yang disebabkan oleh penyakit ini.
Namun, Parents tidak perlu khawatir berlebih. Pasalnya, beberapa pakar juga menyebutkan bahwa angka penyakit ini pun terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Sejak tahun 2000 – 2018, sekitar 58 juta nyawa di dunia telah berhasil diselamatkan dengan pengobatan medis terkait penyakit tersebut.
Meski begitu, upaya pencegahan dan penanganan yang tepat tetap perlu diperhatikan dan dilakukan dengan baik secara disiplin.
Faktanya, apabila tidak ditangani secara tepat dan cepat, bakteri penyebab TBC juga dapat menginfeksi bagian tubuh lain seperti selaput otak, ginjal, tulang, kelenjar getah bening, usus, dan organ penting lain yang kemudian bisa meningkatkan risiko kematian.
Gejala Penyakit TBC yang Perlu Diwaspadai
Sebagian besar pasien tuberkulosis biasanya mereka yang berusia produktif, yakni sekitar 15 hingga 45 tahun. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa penyakit menular yang satu ini bisa menyerang siapa saja di berbagai kalangan usia, termasuk anak-anak.
Hal tersebut pun disampaikan oleh dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Wiendra menyebutkan, bahwa setiap orang di segala rentang usia bisa terkena tuberkolosis. Ciri atau gejala yang ditimbulkan juga terbilang umum atau mirip dengan penyakit lain.
“Ciri-cirinya umum. Kalau dilihat dari gejala, biasanya orang yang terkena TBC tampak kurang sehat dan berat badannya menurun drastis. Selain itu, pasien penyakit ini juga kerap mengeluarkan keringat di malam hari dan mengalami batuk,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam acara Ayo TOSS TBC 2020 yang diselenggarakan PT Johnson & Johnson Indonesia dan Kementrian Kesehatan RI beberapa waktu lalu.
Selengkapnya, beberapa gejala umum yang timbul ketika bakteri tuberkulosis menyerang paru di antaranya adalah:
- Batuk kronis, terjadi selama 3 minggu berturut-turut atau lebih
- Demam
- Penurunan berat badan yang signifikan
- Berkeringat di malam hari
- Adanya sesak napas dan nyeri dada
- Batuk disertai dahak, kadang bercampur darah
- Badan merasa lebih gampang lelah
- Hilangnya selera atau nafsu makan
Bagaimana Cara Mengatasinya?
Wiendra melanjutkan, gejala batuk atau pun demam yang dialami pasien juga tidak bisa menjadi patokan apakah seseorang mengalami Tuberkulosis atau tidak. Diperlukan pemeriksaan, terutama pemeriksaan dahak, untuk mendiagnosis penyakit ini.
Ia memaparkan, “Nah, ketika sudah muncul beberapa gejala yang mengindikasi, yang jelas pasien harus segera memeriksakan diri ke dokter. Nanti, dokterlah yang akan mendiagnosis. Jadi tidak bisa kita lihat hanya secara fisik.
“Dokter akan melakukan pemeriksaan dahak. Biasanya, dahak tersebut diambil atau diperiksa di pagi hari, kemudian dicek ke fasilitas kesehatan,” ungkap Wiendra.
Selain pemeriksaan dahak, beberapa tes lain seperti foto rontgen dada, tes darah, atau pun tes kulit (Mantoux) juga biasanya dilakukan untuk mendiagnosis TBC.
Selanjutnya, jika hasil diagnosis positif, maka pasien TBC perlu mengonsumsi obat sesuai dengan resep yang diberikan oleh dokter bersangkutan. Melansir Alodokter, penderita TBC perlu minum beberapa jenis obat untuk waktu cukup lama (sekitar 6-9 bulan) untuk mengatasi penyakit ini. Beberapa jenis obat tersebut umumnya berupa:
- Isoniazid
- Rifampicin
- Pyrazinamide
- Ethambutol
Upaya Pencegahan
Penyakit TBC bisa kita cegah sedini mungkin dengan berbagai cara. Salah satu yang paling utama adalah dengan pemberian vaksin. Disarankan, pemberian vaksin TBC atau yang disebut dengan vaksin BCG ini dilakukan pada bayi sebelum berusia 2 bulan.
Selain pada bayi, vaksin BCG juga perlu diberikan kepada mereka yang memiliki faktor risiko tinggi terkait penyakit TBC. Melansir dari laman Hello Sehat, beberapa golongan orang yang memiliki risiko tinggi dari penyakit ini di antaranya adalah:
- Orang yang punya kontak langsung dengan pasien penyakit TBC
- Tinggal atau merawat pasien penyakit TBC di lingkungan yang sama
- Seseorang yang tinggal di lingkungan dengan kondisi kebersihan dan sanitasi yang tidak memadai
- Orang yang menerapkan gaya hidup tidak sehat. Mengonsumsi minuman beralkohol, perokok aktif, serta pengguna obat-obatan terlarang
- Orang yang mengunjungi tempat penyakit TBC mewabah
- Sedang menjalani pengobatan kanker seperti kemoterapi
- Orang yang mengonsumsi obat-obatan terkait penyakit autoimun. Contohnya, obat rheumatoid arthritis, obat untuk penyakit crohn, serta obat untuk psoriasis.
- Sedang menjalani hemodialisa atau cuci darah.
- Sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti HIV, diabetes, gagal ginjal.
- Malnutrisi
Memang, sistem imun memengaruhi faktor risiko TBC. Namun, perlu dicatat juga, orang yang memiliki penyakit atau sistem imun yang buruk tidak dianjurkan untuk mendapatkan vaksin BCG. Pasalnya, bakteri yang terdapat dalam vaksin BCG dapat berisiko tinggi menyebabkan infeksi serius apabila diberikan pada tubuh dengan sistem imun yang buruk.
Meski demikian, ada beberapa upaya selain vaksin dalam mencegah penyakit TBC. Beberapa langkah pencegahan tersebut di antaranya adalah:
- Gunakan masker daat di tempat ramai, terutama ketika berada di lingkungan dengan kebersihan dan sanitasi buruk
- Terapkan etika batuk dan bersin dengan benar, terutama ketika Anda berada di tempat umum
- Jangan membuang dahak atau pun meludah sembarangan
- Senantiasa terapkan perilaku hidup sehat seperti rajin olahraga, makan makanan bergizi, serta pastikan kualitas istirahat cukup.
- Usahakan rumah dengan ventilasi yang baik dan mendapat sinar matahari langsung.
Untuk olahraga, mengingat sekarang sedang masa pandemi, pastikan Anda membawa masker atau pun tetap lakukan physical distancing saat melakukan kegiatan tersebut.
Agar lebih aman, Parents juga bisa melakukan olahraga sederhana di rumah, serta mengikuti kegiatan olahraga yang diadakan secara virtual. Seperti kegiatan TOSS TBC Virtual Run yang diselenggarakan oleh PT Johnson & Johnson bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan, yang dilakukan pada 17 hingga 31 Agustus 2020.
Selain itu, untuk menekan penularan TBC, pasien juga perlu menjalani pengobatan secara tuntas. Berdasarkan penuturan Wiendra, pasien bisa mendapatkan pengobatan secara gratis di beberapa tempat. Seperti Puskesmas, rumah sakit, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4), klinik, dan dokter praktik swasta yang sudah bekerja sama dengan program penanggulanagan TBC dari Kemenkes.
“Orang yang terinfeksi penyakit TBC harus berobat tuntas untuk mencegah penyebaran dan mencegah resistensi obat. Selain itu, lakukan juga makan makanan bergizi, olahraga yang cukup, dan istirahat yang cukup. Dan yang paling penting, kalau ada orang sakit atau batuk, jangan lupa pakai masker dan senantiasa terapkan etika batuk dan bersin secara disiplin,” pungkas Wiendra.
Artikel telah ditinjau oleh:
dr.Gita PermataSari, MD
Dokter Umum dan Konsultan Laktasi
***
Baca juga:
Susah Mengenali Wajah Orang Lain? Hati-hati Terkena Penyakit Langka Ini
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.