“Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan saya ketika dokter mendiagnosis putri saya mengalami Thalasemia. Kondisi kelainan darah yang bahkan masih jarang saya dengar. Sedih, bingung, kecewa, takut. Semua campur jadi satu,” tutur Lia, seorang ibu dengan anak Thalasemia.
Apa itu Thalasemia?
Adalah Lia Lydia, salah satu dari ratusan bahkan ribuan ibu dengan anak yang mengalami Thalasemia.
Seperti yang dijelaskan di laman Mayoclinic, thalasemia merupakan salah satu jenis kelainan darah yang ditandai oleh adanya gangguan produksi sel darah merah. Sehingga hal ini membuat penderitanya mengalami kurang darah atau anemia yang menimbulkan beberapa keluhan seperti mudah lelah hingga sesak napas.
Pasien thalasemia, terutama yang berat (mayor), perlu mendapat perawatan rutin berupa transfusi darah berulang untuk menambah sel darah yang kurang. Karena penyakit ini termasuk kelainan genetik berkepanjangan, maka perawatannya perlu dilakukan seumur hidup.
Pengalaman Seorang Ibu yang Dampingi Anak dengan Thalasemia
Kepada theAsianparent Indonesia, Lia menuturkan bahwa putra pertamanya yang meninggal saat masih berusia 4 bulan juga kemungkinan besar mengalami thalasemia. Sayangnya, kondisi tersebut memang tidak terdeteksi sejak awal sehingga putranya pun mengalami komplikasi dan tidak tertolong.
Hanya berselang beberapa bulan setelah ‘kepulangan’ putranya, ternyata Lia ditanyakan kembali mengandung. Kabar bahagia ini seakan memulihkan kesedihan yang ia dan sang suami rasakan.
Putri keduanya bernama Khairunisa Ramadhanti pun lahir dengan selamat, dan kini telah memasuk usia remaja, 13 tahun.
Siapa sangka, ketika Icha, begitu panggilan akrab putrinya, berusia 3 bulan, Lia menemukan gejala yang serupa dengan almarhum kakaknya. Salah satu gejala yang muncul dan terlihat dengan jelas adalah kondisi perubahan fisik yang begitu signifikan. Kulitnya terlihat menjadi sangat pucat.
“Gejalanya sama kayak anak pertama. Pucat banget. Jadi kami bawa ke dokter anak. Setelah periksa, dokter bilang kalau gejala yang dialami Icha mengarah ke lekeumia atau thalasemia. Diagnosisnya sudah ke sana, padahal ketika itu tujuan awal kami mau imunisasi,” ungkap Lia ketika dihubungi melalui telepon oleh theAsianparent.
Mendengar hal itu, Lia pun mengaku sudah pasrah. Pasalnyaa, ia baru saja berduka karena kehilangan anak pertama. Mendengar perkataan dokter tentang putri keduanya yang kemungkinan mengalami penyakit serupa, tentu saja membuat Lia terpukul.
Lia pun melanjutkan, “Setelah cek, ternyata hemogoblin Icha 4, sudah parah seperti anak pertama. Tapi, anakku yang satu ini fisiknya kuat, dia masih bertahan. Lalu, kami pun dirujuk ke rumah sakit besar. Dokter di sana bilang gejala yang dialami Icha mengarah pada kelainan darah. Jadi, perlu dilakukan operasi sumsum tulang belakang.”
Akhirnya, di usia 3 bulan, Icha harus dioperasi. Namun, hasilnya masih negatif, tetapi memang kondisi yang dialaminya mengarah ke thalasemia, bukan leukemia. Sejak setelah operasi, Icha juga jadi rutin transfusi darah. Barulah setelah berusia 1 tahun, dia pun dinyatakan mengidap thalasemia mayor.
“Untuk sampai pada titik ikhlas dan pasrah memang membutuhkan proses yang panjang. Namun saya dan suami dan keluarga besar telah memercayakan pada dokter untuk melakukan yang terbaik bagi Icha. Dan sejak didiagnosis thalasemia, sampai saat Icha jadi bergantung pada transfusi darah,” ungkapnya.
Menjalani Proses Pengobatan Panjang
Icha saat melakukan transfusi darah | Sumber: Dokumentasi pribadi
Karena mengalami thalasemia mayor, putri Lia yang lahir di bulan Oktober 2005 itu harus melakukan transfusi darah untuk bertahan. Seiring bertambahnya usia, maka dia pun semakin membutuhkan lebih banyak kantong darah. Dari yang awalnya hanya butuh transfusi darah 50 cc, kini kebutuhan darahnya sudah meningkat menjadi 750 cc.
Di usianya yang kini sudah menginjak kelas 3 SMP, Icha tetap rutin melakukan transfusi setiap tiga minggu sekali. Proses yang dialuinya juga terbilang panjang.
Lia bercerita, “Untuk melakukan transfusi, kami harus cari pendonor dulu. Tapi, alhamdulillah, kami sudah ada pendonor tetap dari teman dan sahabat. Dengan adanya pendonor tetap ini juga, perkembangan fisik Icha jadi lebih bagus dan kesehatannya lebih terjaga. Saya bolak-balik ke rumah sakit sekitar 3 kali per minggunya, ditambah mendampingi pendonor jadi total 4 hari.”
Setiap Senin, Lia melanjutkan, ia dan putrinya berkunjung ke rumah sakit untuk kontrol. Di hari kedua, barulah Icha melakukan transfusi darah.
Proses transfusi juga tak bisa dilakukan sekaligus dalam sehari, sebab bisa memengaruhi kondisi jantungnya. “Jadi memang tidak bisa sekaligus, khawatir jantungnya tidak kuat,” tukasnya. Baru setelah transfusi darah pertama, di hari ketiga pun keduanya kembali ke rumah sakit untuk mendapat transfusi lanjutan.
“Jadi, tiap minggu jadwalnya memang sudah rutin. Mendapingi pendonor, lalu balik lagi untuk kontrol. Prosesnya panjang, dan diulang setiap tiga minggu. Belum lagi, dia juga harus minum obat agar kadar zat besinya tidak tinggi,” kata seorang ibu yang juga bekerja di salah satu perusahaan asuransi tersebut.
Lia pun menjelaskan pada dasarnya hal yang perlu diperhatikan dan diwaspadai adala efek samping dari transfusi darah yang berulang sehingga menyebabkan penumpukan zat besi yang tinggi. Zat besi yang menumpuk terlalu banyak dapat berdampak buruk pada fungsi organ tubuh, seperti jantung dan hati.
Tetap Semangat Mendampingi
Icha, putri Lia yang juga merupakan pasien thalasemia | Sumber foto: Dokumen pribadi
Melakukan pengobatan berulang dan transfusi darah rutin bukanlah hal mudah bagi Icha. Sehingga ia perlu mendapat pendampingan dan semangat dari orangtua juga keluarga.
Lia kembali berbagi, “Lelah pasti ada, apalagi Icha yang merasakan langsung. Tapi, kami sebagai orangtua juga harus ikhlas dan tetap semangat mendampingi. Pengobatan ini sifatnya seumur hidup. Kalau orangtuanya enggak semangat, ya, gimana anaknya.
Saya selalu bilang sama Icha, ‘Kamu harus tetep jalani ini dengan semangat dan percaya diri. Jangan merasa beda dari oranglain dan kamu harus tetap sehat.’ Pokoknya, selama pengobatan dibuat enjoy aja. Kalau mau transfusi ke rumah sakit, anggap aja lagi piknik,” tutur Lia sembari bercanda.
Tak hanya itu, Lia juga berpesan pada orangtua lain yang juga sedang berjuang seperti dirinya. Apa pun jenis sakit yang dihadapi si Kecil, tetaplah dampingi anak secara ikhlas dan sabar. Tetap percaya bahwa semua usaha yang dilakukan akan berbuah manis.
Lia bertutur lagi, “Perjuangan ini belum berakhir dan akan terus dijalani. Kami cuma berharap agar tetap diberikan kesehatan agar bisa terus mendampingi Icha hingga ia dewasa nanti.
Buat para orangtua seperjuangan, jangan putus asa. Perjuangan ini dilakukan untuk masa depan mereka dan agar mereka sehat seperti anak-anak lainnya. Yang penting ikhlas dan bersyukur agar saat menjalaninya terasa lebih ringan serta jadi ladang pahala.” paparnya.
Ia pun menambahkan, lewat pengalaman yang ia jalani bersama keluarga kecilnya, pemerikasaan kesehatan saat sedang program hamil tentu saja perlu dilakukan untuk mencegah hal yang tidak diinginakan terjadi.
Parents, perlu diketahui bahwa penyakit thalasemia ini tidak bisa disembuhkan. Namun, hal ini tetap bisa dicegah. Salah satu upaya pencegahan yang perlu dilakukan adalah menjalani pemeriksaan atau tes darah sebelum menikah.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah Parents memiliki gen pembawa thalasemia atau tidak sehingga angka pasien penyakit thalasemia tidak meningkat.
Bagi Anda, si Kecil, atau pun kerabat yang memiliki penyakit thalasemia, janganlah putus asa. Tetap jalani proses pengobatan secara teratur, jaga pola makan, serta istirahat cukup agar kesehatan tetap terjaga.
Itulah kisah Bunda Lia, seorang ibu yang terus berjuang mendampingi anak dengan thalasemia. Apabila di antara Parents ada yang memiliki pengalaman sama, tetap semangat dan jangan menyerah, ya!
***
Baca juga:
Kisah Inspiratif: Berdamai Dengan Penyakit Autoimun
"Plasenta previa membuatku nyaris koma, dan kini bayiku kena sepsis" kisah Bunda
6 Potret Baby Bump dan Cerita Kehamilan Pertama Bunga Jelitha, Ngidamnya Unik!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.