Pulau Kalimantan tidak hanya kaya akan ragam alamnya yang istimewa tapi juga warisan budaya yang ditinggalkannya. Salah satunya kain tradisional tenun ulap doyo yang dibuat dari bahan dasar daun doyo yang banyak tumbuh di sana. Bagaimana daun ini bisa diubah menjadi kain dan seperti apa acara pembuatannya? Simak penjelasannya berikut ini.
Warisan Tradisional Suku Dayak Benuaq
Image: Farah.id
Daun ternyata juga bisa diolah menjadi bahan sandang berupa kain. Hal ini dibuktikan oleh suku Dayak Benuaq, salah satu suku asli pedalaman Pulau Kalimantan, yang memanfaatkan alam dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Salah satu sumber daya alam di pulau tersebut yang dimanfaatkan masyarakat Dayak adalah daun doyo yang diubah masyarakat setempat menjadi tenun ulap doyo. ‘Ulap ‘ menurut menurut bahasa daerah setempat diartikan sebagai ‘kain’.
Tanaman doyo merupakan tanaman liar di Kalimantan Timur dengan nama latin Curliglia latifolia dan banyak tumbuh di wilayah Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat. Ini adalah tanaman jenis pandan yang memiliki serat kuat yang bisa dijadikan sebagai benang.
Tenun doyo tidak hanya digunakan sebagai pakaian seperti sarung, kemeja atau celana, tapi juga tas, dompet dan kerajinan tangan lainnya.
Artikel Terkait: Kain Ulos, Si Penghangat Tubuh yang Menjadi Benda Sakral dalam Adat
Cara Pembuatan Kain Ulap Doyo
Image: Tribun Kaltim
Bagian daun doyo yang digunakan adalah seratnya. Cara pembuatannya adalah dengan mengeringkan daunnya. Lalu daunnya disayat mengikuti arah serat daun hingga menjadi serat yang sangat halus. Serat-serat inilah yang kemudian dijalin dan dilinting hingga membentuk benang kasar.
Agar tampilannya menjadi lebih menarik, benang doyo diberi warna dengan pewarna alami yang berasal dari tanaman asli dan banyak tumbuh di Kalimantan. Ada tiga jenis warna yang digunakan dan warna tersebut dihasilkan dari sari tumbuhan berikut ini:
- Merah yang berasal dari buah glinggam, kayu oter, dan buah londo.
- Cokelat dari kayu uwar.
- Hitam berasal dari daun putri malu, umbi kunyit, dan getah akar.
Indonesia Kaya menulis bahwa proses tenun ini sudah ada sejak berabad-abad silam, tepatnya sebelum abad ke-17. Bahkan usianya diduga hampir sama dengan usia keberadaan Kerajaan Hindu Kutai. Yang menguatkan pernyataan ini adalah temuan antropologi yang menyebutkan adanya korelasi antara motif pada tenun ulap doyo dengan strata sosial pemakai dari kelompok masyarakat yang ada di sana.
Artikel Terkait: Menilik 5 Fakta Songket, Kain Khas Palembang Berharga Fantastis
Motif Kain Ulap Doyo Menentukan Kasta Masyarakatnya
Image: Perpustakaan Digital Budaya Indonesia
Secara umum, motif yang digunakan pada kain ulap doyo lebih banyak memuat tentang flora dan fauna yang ada di tepian Sungai Mahakam. Selain itu, ada juga inspirasi dari tema peperangan antara manusia dengan naga.
Tiap motif memiliki maknanya tersendiri serta menentukan golongan kasta dalam masyarakat atau identitas si pemakai sesuai dengan sistem kasta yang berlaku pada masyarakat yang saat itu kebanyakan menganut kepercayaan Hindu.
Misalnya, motif waniq ngelukng yang digunakan oleh marantikaq atau masyarakat biasa, dan motif jaunt nguku hanya digunakan oleh kalangan mantiq seperti bangsawan atau raja.
Teknik ini sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu dan turun temurun diajarkan kepada kaum perempuan di generasi selanjutnya. Para wanita Dayak Benuaq sudah mulai diajarkan menguasai Teknik pembuatan tenun ini sejak mereka masih berusia belasan tahun. Umumnya mereka belajar secara spontan dengan melihat langsung cara kerja para wanita yang lebih tua.
Artikel Terkait: Fakta Menarik Kain Sasirangan Khas Banjar, Asal Usul hingga Arti Warnanya
Makna yang Terkandung pada Warna dan Motif
Image: Kutaikartanegara.com
Seluruh proses pembuatan dan hasil olah tenun doyo merupakan wujud ekspresi dari keyakinan masyarakat suku Dayak Benuaq, di Kalimantan Timur. Di mana semuanya memiliki makna yang dalam.
Kain ini tidak hanya digunakan oleh laki-laki, tapi juga perempuan suku Dayak Benuaq. Dan penggunaannya juga sangat umum, bisa digunakan sehari-hari dan dalam acara-acara resmi seperti upacara adat dan acara-acara lainnya.
Bentuknya juga menyesuaikan dengan kebutuhan acara. Seperti saat menghadiri upacara adat (kematian, panen hasil bumi dan lain sebagainya), para perempuan Dayak Benuaq menggunakan ulap doyo berbentuk panjang (tapeh) agar bisa bebas bergerak. Desainnya berbentuk sarung yang terdapat belahan di bagian belakangnya.
Jika untuk dikenakan sehari-hari, kain doyo yang dipilih yang berwarna hitam. Sedangkan untuk menghadiri upacara adat, biasanya masyarakat memilih tenun doyo yang berwarna-warni. Pengelompokkan warna juga mengandung makna simbolik tertentu, seperti:
- Warna hitam yang biasanya dipakai pada daster dan sarung (kain panjang) melambangkan pemakainya memiliki kemampuan menolak sihir hitam atau bala.
- Warna hitam bergaris-garis putih melambangkan pemakainya bisa mengobati segala bentuk sihir dan penyakit.
Motifnya juga memiliki nilai estetika dan nilai fungsional tersendiri. Seperti berikut ini penjelasannya menurut Wikipedia:
- Motif naga melambangkan kecantikan wanita.
- Motif limar atau perahu melambangkan kerjasama.
- Lalu motif timang atau harimau melambangkan keperkasaan seorang pria.
- Dan motif tangga tukar toray atau tangga rebah melambangkan perlindungan usaha dan kerjasama masyarakat.
Wah, Parents sepertinya harus punya, nih, jenis kain ulap doyo yang satu ini!
Baca juga:
Batik Betawi, Sejarah, Makna dan Filosofisnya bagi Orang Asli di Jakarta
Filosofi Pembuatan Kain Tenun Lombok, Syarat Perempuan Sasak Boleh Menikah
Kain Ulap Doyo, Kain Tradisional Suku Dayak Benuaq yang Terbuat dari Daun
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.