Di tengah perjuangan banyak negara di dunia, tak bisa ditampik pandemi COVID-19 masih ada di antara kehidupan manusia. Bahkan, penemuan terbaru menyebutkan bukti bahwa besar kemungkinan penyintas COVID-19 alami gangguan mental kendati sudah sembuh dari virus ini.
Penyintas COVID-19 Alami Gangguan Mental
Merujuk pada data dari Worldometers, hingga Minggu (25/4/2021) pagi, kasus COVID-19 telah menginjak 147.041.550 (147 juta) kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 124.689.264 (124 juta) pasien telah sembuh, dan 3.112.314 orang meninggal dunia.
Dari akumulasi kasus yang tercatat di seluruh dunia, sampai sekarang Amerika Serikat masih berada di puncak teratas negara dengan kasus terbanyak. Terbaru, India juga mengalami tsunami COVID-19 karena mencatat kasus harian terbanyak.
Baru-baru ini, penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet Psychiatry mengungkap bahwa 1 dari 5 penyintas COVID-19 berisiko besar terkena penyakit gangguan mental. Hal ini dibuktikan dengan 20% orang yang terinfeksi didiagnosis mengalami gangguan kejiwaan dalam kurun waktu 90 hari.
Mengutip laman Reuters, riset mengungkapkan pula bahwa masalah gangguan mental yang paling banyak dialami setelah pasien sembuh antara lain kecemasan, depresi, dan insomnia. Tim peneliti yang berasal dari Universitas Oxford tersebut juga menemukan risiko demensia dan gangguan otak juga meningkat pada penyintas COVID-19.
“Orang-orang khawatir bahwa mereka yang sembuh dari COVID-19 berisiko lebih besar mengalami masalah kesehatan mental. Dan temuan kami menunjukkan kemungkinan itu,” demikian penuturan Paul Harrison, seorang profesor psikiatri yang terlibat dalam studi.
Harrison mengatakan dokter dan ilmuwan di seluruh dunia harus segera menyelidiki penyebabnya dan mengidentifikasi perawatan baru untuk penyakit mental usai terinfeksi virus asal Wuhan, Tiongkok ini.
“Pelayanan kesehatan harus siap memberikan perawatan,” tambahnya. Studi tersebut menganalisis catatan kesehatan elektronik dari 69 juta orang di Amerika Serikat, termasuk lebih dari 62 ribu kasus COVID-19. Tak menutup kemungkinan, temuan ini akan sama hasilnya dengan korban COVID-19 di seluruh dunia.
Lebih lanjut, tiga bulan setelah seseorang terkonfirmasi positif COVID-19 menemukan bahwa orang dengan penyakit mental yang sudah ada sebelumnya 65 persen lebih mungkin didiagnosis COVID-19 daripada mereka yang tidak.
Lantas, seperti apa gangguan mental yang dapat dialami oleh para penyintas COVID-19?
1. Neurologi
Selain berdampak pada kondisi fisik, COVID-19 turut memengaruhi gangguan mental kendati pasien telah dinyatakan sembuh. Para peneliti dari Oxford University dan pusat data sains dan kesehatan TriNetX, menyebutkan bahwa 6 bulan setelah dinyatakan positif, 1 dari 8 pasien berpotensi mengalami gangguan kejiwaan atau neurologi.
Neurologi adalah gangguan yang terjadi pada otak, sumsum tulang belakang, dan sistem saraf secara keseluruhan. Hal ini dibuktikan setelah mengumpulkan data catatan kesehatan elektronik untuk mengevaluasi 236.379 pasien di Amerika Serikat (AS).
Penelitian ini memperhitungkan faktor-faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, ras, kondisi fisik dan mental, serta faktor sosial-ekonomi. Hasilnya, 33,6 persen penyintas mengalami kondisi neurologis atau psikiatris pasca COVID setelah enam bulan berlalu.
“Untuk diagnosis seperti stroke atau pendarahan intrakranial, risikonya cenderung menurun cukup drastis dalam enam bulan… tetapi untuk beberapa diagnosis neurologis dan psikiatri kami tidak memiliki jawaban tentang kapan itu akan berhenti,” ungkap kepala riset departemen psikiatri Universitas Oxford, Dr Max Taquet.
2. Depresi dan Insomnia
Hal serupa juga ditemukan oleh para peneliti di Universitas Oxford dan Pusat Penelitian Biomedis Kesehatan Oxford NIHR.
Mereka mengambil data rekam medis elektronik dari 69 juta orang di AS dan menunjukkan bahwa orang yang selamat dari virus corona dapat meningkatkan risiko terkena gangguan kejiwaan.
Dari hasil riset ini, peneliti menyatakan 1 dari 5 pasien didiagnosis mengalami kecemasan, depresi, atau insomnia untuk pertama kali dalam waktu 3 bulan setelah dinyatakan positif.
3. Sindrom Guillain-Barré
Lebih lanjut, seorang psikiater sekaligus dosen klinis di Rumah Sakit King College, Dr Tim Nicholson menyatakan bahwa ada informasi yang perlu diperhatikan dalam mengamati gangguan mental dan komplikasi neurologis.
Catatan tersebut misalnya, kurangnya informasi relevan seperti kepadatan penduduk (lingkungan perumahan), jumlah keluarga, pekerjaan, dan status imigrasi.
“Saya pikir secara khusus hal ini meningkatkan beberapa gangguan, terutama demensia dan psikosis … dan mendorong beberapa gangguan lebih jauh ke bawah daftar potensi penting, termasuk sindrom Guillain-Barré,” ungkap Nicholson, melansir The Guardian.
Bagi yang belum tahu, Sindrom Guillain-Barré ialah penyakit autoimun langka yang mengganggu sistem pergerakan tubuh. Ia menyatakan bahwa penemuan ini akan membantu mengarahkan para peneliti ke arah komplikasi neurologis dan psikiatrik yang memerlukan studi lebih lanjut dengan lebih cermat dan akurat.
Semoga informasi perihal penyintas COVID-19 dan risikonya ini bisa menjadi motivasi kita semua untuk senantiasa menjaga kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga:
Penyintas COVID-19 Bisa Langsung Divaksin? Cek Faktanya!
4 Fakta Soal Isu Obat Molnupiravir Bisa Sembuhkan COVID-19, Cek di Sini!
Cahaya Matahari Melemahkan Covid-19, Fakta atau Hoax? Cek di Sini!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.