Memiliki pengalaman bayi lahir mati memang bisa dialami ibu hami di belahan dunia mana pun. Sepuluh tahun tahun lalu, salah satu sahabat saya, Dewi Intan Lukita Sari, pernah mengalaminya. Ia harus menerima kenyataan pahit bahwa janin yang selama tujuh bulan tumbuh bersama di dalam rahimnya harus dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa.
***
“Dis…. anak gue nggak adaaa….”
Kalimat ini masih begitu lekat di dalam ingatan saya. Suara salah satu sahabat yang saya kenal sejak mengenakan seragam merah putih ini terdengar bergetar di ujung sambungan telepon.
Beberapa saat pun tangisannya meledak.
Bagi saya, hari itu sama seperti akhir pekan sebelumnya. Saya lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kamar, bersenda gurau bersama suami sambil menonton film series kegemaran. Namun tidak bagi sahabat saya, Dewi Intan Lukita Sari.
Peristiwa yang terjadi pada Mei 2009 menjadi salah satu hari bersejarah untuknya dan sang suami. Pasalnya, mereka harus menerima kenyataan bahwa janin yang tumbuh di dalam rahimnya selama tujuh bulan sudah tidak bernyawa.
Saya hanya bergeming saat mendengar kalimat singkat di tengah isak tangis yang terlontar dari mulut salah satu sahabat ini. Masih dipenuhi tanda tanya besar, saya pun mencoba untuk memberikan respons ucapannya.
“Maksudnya nggak ada itu, gimana? Loe lagi di mana, sih? Katanya pagi ini kontrol ke dokter kandungan? Kalian sehat-sehat aja, kan?”
Berondongan pertanyaan ini pun akhirnya terlontar dari mulut saya.
Dengan suara terbata-bata, sahabat saya mencoba menjelaskan kondisi yang baru saja ia alami.
“Anak gue udah nggak ada, Dis… kata dokter sudah meninggal. Gue bingung. Takut,” tuturnya dengan suara bergetar. Dari nada bicaranya saya cukup paham kalau sahabat saya ini sedang kalut.
Ya, sahabat saya ini memang sedang mengandung buah hatinya yang pertama. Usia kandungannya pun sudah masuk 7 bulan. Artinya, 3 bulan lagi, bayi yang tumbuh bersama di dalam rahimnya akan segera ia dekap dan belai.
Nyatanya, takdir berkata lain. Semua mimpi dan rencana yang telah ia bangun bersama sang suami pun harus pupus. Sahabat saya mengalami stillbirth, kondisi janin lahir mati. Anak pertamanya tidak mampu bertahan hidup lantaran terlilit tali pusat.
Meski kejadian ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade, tetapi pengalamannya melahirkan anak pertama dengan kondisi tak bernyawa masih begitu lekat dalam ingatan.
Perempuan yang kini berusia 38 tahun ini sudah memiliki 3 orang buah hati, Galang, Naya, dan Nia. Namun baginya, kehilangan anak pertama lantaran stillbirth menjadi catatan sejarah yang akan terus hidup bersamanya.
Pengalaman Bayi Lahir Mati di Usia 7 Bulan
Sambil menikmati secangkir kopi hangat, belum lama ini saya pun akhirnya mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan pengalamannya melahirkan janin mati.
“Bingung, kalut, nggak percaya, dan sedih luar biasa. Kayanya kata ini mampu gambarin gimana perasaan gue saat itu.
Pagi itu memang ada jadwal untuk kontrol ke dokter. Waktu ketemu dokter, langsung bilang ke dokter, kalau beberapa hari ini rasanya anak gue lebih kalem. Tendangan memang jadi lebih jarang.
Cuma karena ini kehamilan pertama, jadi nggak menaruh curiga apa-apa. Kan katanya, khawatir boleh aja, tapi jangan berlebihan. Jadi memang selalu berusaha positive thinking aja, sambil selalu ngajak ngobrol janinnya. Kaya biasa, tanya kabarnya dan bilang, ‘Kamu sehat-sehat ya, di perut bunda.
Denyutnya memang terasa beda. Tiga hari sebelum kontrol memang denyut dan tendangannya mulai berkurang. Tapi gue selalu coba pastikan, dan masih ada. Nah, waktu itu memang sudah jadwalnya mau ke dokter. Paginya malah ada flek. Jadilah pagi itu langung ke dokter.”
Masih inget nggak, waktu itu fleknya seperti apa?
Bukan flek seperti awal kalau kita menstruasi, sih, justru ini seperti ada lendirnya. Seperti keputihan, tapi itu cairannya coklat. Dari situ, jadi gelisah sepanjang perjalanan ke dokter. Perasaan sudah nggak enak. Was-was.
Waktu ketemu ke dokter, langsung bilang kalau memang beberapa hari ini detak dan tendangan janin jauh berkurang, dan pagi itu muncul flek. Semula mikirnya, apa mungkin karena kecapean, ya? Apalagi, kan, malamnya kita juga ketemuan, tuh, sempet ngumpul.
Nah, saat dokter periksa, kok, tumben USG-nya lama, lebih dari 10 menit. Diulang-ulang terus. Lalu, dokternya bilang, kalau dia nggak melihat adanya detak jantung. Katanya, jadi ini mungkin sudah tidak ada.
Mendengar penjelasan dokter, masih ingat tidak respons pertama kamu seperti apa?
Bingung dan tanya ke suami, ‘Gimana, nih?’. Karena memang kontrolnya di rumah dokternya, akhirnya dokter pun merujuk untuk langsung ke rumah sakit.
Belum lagi karena ini memang anak pertama, nggak ada pengalaman. Kayanya, tuh, serba clueless. Tapi pas dengar dokter bilang begitu, rasanya memang takut. Termasuk mikir, kalau anak gue sudah meninggal, ini gimana ngeluarinnya, nih? Apa gue harus operasi?.
Dokter waktu itu nggak banyak menjelaskan kenapa bisa terjadi.
Dokter menjelaskan apa, hal apa yang membuat janin meninggal?
Kata dokter memang banyak faktor yang membuat ibu hamil mengalami pengalaman bayi lahir mati. Bisa karena terlilit tali pusat atau memang ada bakteri. Pesannya dokter, janin memang harus segera dikeluarkan.
Nah, pas perjalanan dari klinik, menuju rumah sebelum ke rumah sakit, gue bingung harus menghubungi siapa. Kalau hubungi nyokap, yang ada malah dimarahin. Bukannya ditenangin. Makanya waktu itu gue milih telepon elo, temen terdekat aja.
Dan benar saja, sih, waktu sampai rumah malah nyokap yang panik. Ibaratnya waktu itu gue jadi harus tenangin diri sendiri dan nyokap.
Dari rumah langsung ke rumah sakit dan melahirkan normal?
Iya. Menurut dokter karena memang tidak pecah ketuban, usia kandungan juga sudah 7 bulan, jadi bisa melahirkan normal. Cuma memang harus dirangsang. Jadilah waktu itu diinduksi. Dan rasanya memang luar biasa sekali, ya.
Ketika itu, yang ada di pikiran memang gimana caranya untuk segera mengeluarkan bayi. Karena sakitnya luar biasa, sempat ngerasa nggak kuat. Nggak bisa tidur, mau gerak juga sakit. Pagi ke rumah sakit, prediksinya sore bisa lahir, ternyata nggak bisa. Sampai pas malam, uwak gue bawain rumput fatimah, sempet minum sedikit tanpa sepengetahuan dokter.
Nggak lama minum, malah muntah. Sampai akhirnya dokter tanya, kenapa muntah? Kan nggak dikasih apa-apa. Jadilah ketauan kalau waktu itu minum air rumput fatimah. Sampai akhirnya dokter marah dan minta uwak untuk keluar kamar.
Tapi entah ada hubungannya apa nggak, nggak lama setelah itu memang jadi ngerasa mau melahirkan. Pas dicek, bukaan pun sudah lengkap.
Proses melahirkan berjalan lancar?
Iya. Pas lahir ukuran anak gue hanya sebesar botol air mineral yang kecil. Beratnya 600 gram. Kondisi bayinya pun sudah lengkap. Cuma memang kulitnya ya, masih bersisik.
Sempat melihat dan mendekapnya?
Iya, gue minta ke dokter. Mau lihat. Sampai dokter pun tanya, ‘Yakin ibu kuat?’. Dokter juga kasih lihat kondisi bayi dan tali pusatnya, kasih lihat pakai pulpen. Dikasih lihat ukuran tali pusatnya, menurut dokter ukuran tali pusat pendek, karena bayi terlalu aktif akhirnya nutrisi nggak bisa masuk dengan baik.
Katanya, mungkin ini yang menyebabkan anak gue meninggal. Dokter juga nggak bisa memastikan penyebabnya apa. Dokter bilang kasus ini sebenarnya jarang terjadi, dan ini banyak faktor yang penyebabnya.
Akhirnya jadi kepikiran, mungkin saat hamil gue juga kurang bisa jaga higienis. Ya, seperti yang dokter bilang sebenarnya banyak faktor.
Rasanya, tuh… gimana, ya? Ya Allah, sudah mengandung 7 bulan, melahirkan, tapi akhirnya nggak memiliki. Ketika itu juga merasa bersalah. Apa selama ini gue yang kurang perhatian, ya. Rasanya jadi campur aduk. Akhirnya, suami langsung menguburkan janin perempuan yang kami beri nama Gendis.
Punya pengalaman bayi lahir mati, apa yang akhirnya membuat kuat?
Apa ya… yang pasti, sih, karena adanya dukungan dari orang terdekat. Khususnya dukungan suami. Dengan perhatian suami, sering diajak jalan-jalan dan ngobrol, itu sudah cukup, sih. Sudah bisa bikin bahagia. Memang, nggak bisa dipungkiri kalau kondisi psikis memang perlu diperhatikan.
Bahkan saat anak pertama lahir masih sering inget. Kalau kakaknya masih hidup pasti sudah besar. Lalu suami ingetin lagi, mungkin aja kalau anak pertama kami lahir selamat, ya, kami belum punya anak kedua ini. Ceritanya bisa beda.
Saat memutuskan untuk hamil lagi, perlu waktu yang lama?
Nggak lama, kok. Soalnya waktu itu dokter juga jelasin karena kondisi rahim sudah bersih. Nggak meninggalkan apa-apa, setelah satu bulan kalau memang mau produksi lagi sudah boleh. Dokter juga bilang, kalau gue nggak perlu takut untuk hamil lagi.
Cuma memang waktu itu gue bilang kalau merasa bersalah. Tapi justru dokter dan suami terus nguatin.
Belum, sih, sepuluh tahun lalu memang gue nggak begitu banyak tahu soal kondisi stillbirth ini. Dengan pengalaman ini, akhirnya memang jadi lebih aware dengan kehamilan. Alhamdulillah, selang dua bulan setelah melahirkan anak pertama, saya kembali dipercaya untuk hamil lagi.
Nggak jadi parno, sih. Tapi lebih hati-hati. Karena takut capek, akhirnya pas hamil anak kedua, saya bahkan memutuskan untuk kost di dekat kantor, sehingga nggak perlu menempuh perjalanan yang lebih panjang. Tendangan bayi di dalam kandungan juga benar-benar diperhatikan.
Punya pengalaman bayi lahir mati, ada pesan nggak untuk ibu-ibu yang sedang hamil atau sedang merencanakan kehamilan?
Umh, apa ya? Ternyata hamil itu memang bukan proses yang mudah, sih. Ketika sudah dipercaya, memang perlu dijaga. Bahkan ketika merencanakan kehamilan, memang harus sudah siap. Siapin nutrisi anak dengan baik biar anak tumbuh sehat. Hal yang bener-benar gue sadari, ternyata tendangan bayi itu memang perlu diperhatikan, salah satu upaya mencegah terjadinya stillbirth.
Kalau memang merasa anak nggak aktif bergerak, ya, harus hati-hati. Langsung aja ke dokter. Meskipun kita nggak bisa mengendalikan, tapi setidaknya usaha terbaik perlu dilakukan. Informasi soal kehamilan juga harus tahu, sih. Banyak baca, bahkan kalau perlu ikutan seminar biar tambah pintar dan tahu apa yang dibutuhkan.
Itulah pengalaman bayi lahir mati yang dialami sahabat saya. Dari pengalamannya, diharapkan para ibu hamil bisa lebih aware lagi tentang risiko stillbirth, yang ternyata dapat terjadi kepada siapa saja.
***
Baca juga :
Gerakan Janin Terasa Berkurang? Cepat Lakukan Ini untuk Mencegah Stillbirth!
Tingkatkan Risiko Stillbirth, Ini Bahaya Rokok Bagi Janin yang Harus Diwaspadai
Bayinya meninggal dalam kandungan, "Saya tidak percaya meletakkan bunga di pemakamannya"
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.