Tak terasa pandemi sudah melanda dunia satu tahun lamanya. Ada banyak sekali perubahan yang kita rasakan dari berbagai aspek kehidupan. Tak jarang, kebiasaan baru atau new normal seperti memakai masker membuat beberapa dari kita menjadi jenuh. Nah, kejenuhan akibat kondisi pandemi disebut juga dengan istilah Pandemic Fatigue.
Sebagai manusia, kita memiliki mekanisme tersendiri untuk bertahan dan beradaptasi akan perubahan. Namun perlu diingat bahwa tiap orang memiliki ciri dan tingkat adaptasi yang berbeda-beda. Mari kita tengok ke belakang, apa saja yang berubah dalam kehidupan kita selama pandemi?
Mulai dari berkurangnya mobilitas, menjalankan segala aktivitas dari rumah, hingga mematuhi berbagai protokol kesehatan untuk menjaga kesehatan diri sendiri dan keluarga dari virus. Sebagai manusia, tentu kita akan sampai pada titik jenuh dalam kondisi seperti ini.
Bukan cuma itu, perasaan jenuh yang muncul akibat kondisi tersebut juga kerap membuat seseorang mengabaikan perlindungan diri di masa pandemi ini. Lantas, bagaimana cara untuk mengatasinya?
Mengenal Pandemic Fatigue, Rasa Jenuh Akibat Pandemi
Hingga Maret 2021, terdapat 1 juta lebih orang yang positif terpapar COVID-19, sementara vaksinasi sudah berjalan pada angka 5000 orang per hari. Sayangnya berdasarkan penelitian, persentase kepatuhan masyarakat di Indonesia akan protokol kesehatan sudah menurun sejak satu tahun pandemi dimulai.
Melalui acara virtual Forum Ngobras Bersama Frisian Flag, Sosiolog Daisy Indira Yasmine mengungkapkan, demotivasi atau kejenuhan untuk mengikuti protokol kesehatan yang dianjurkan alias Pandemic Fatigue ini muncul secara bertahap dari waktu ke waktu.
“Hal ini dipengaruhi oleh emosi, pengalaman, dan persepsi selama proses adaptasi,” paparnya dalam Acara bertajuk ‘Refleksi Setahun Pandemi, Masyarakat Semakin Abai atau Peduli?’ yang diadakan beberapa waktu lalu.
Ada pun gejala orang yang mengalami Pandemic Fatigue ini berbeda-beda tergantung dari tingkat adaptasi masing-masing individu. Daisy menjelaskan bahwa hal ini adalah respon alami dan dapat terjadi pada kondisi krisis kesehatan publik yang sudah berlarut-larut.
“Ada satu titik merasa jenuh terhadap perubahan yang terjadi. Bisa saja merasa bosan sekali jadinya pasrah. Orang dapat mengalami stres jika ada tekanan yang terlalu kuat tidak bisa menjalani kehidupan dengan perubahan serta tak jelas kapan berakhirnya (pandemi). Ini dapat menganggu kesehatan mental,” jelasnya.
Menurut Daisy, mereka yang mengalami Pandemic Fatigue bisa saja adalah penyintas atau mereka yang sudah terpapar virus, atau bisa juga mereka yang tidak terinfeksi tapi dipaksa untuk melakukan perubahan. Dengan kata lain, siapa saja bisa terkena Pandemic Fatigue.
Bagaimana Cara yang Tepat untuk Menghadap Pandemic Fatigue?
Untuk mengatasi hal ini, Daisy memaparkan, regulasi yang berfokus manusia atau masyarakat harus dilakukan oleh pemerintah.
“Melakukan penelitian dan mengumpulkan data untuk membuat kebijakan sesuai dengan kelompok sasaran, tidak bisa dipukul rata. Regulasi untuk komunitas di pedesaan dan perkotaan berbeda, untuk kaum muda dan kaum non-digital juga berbeda,” katanya.
Daisy mengambil contoh, untuk lansia apa saja hal yang harus ditekankan agar bisa beradaptasi? Sedangkan untuk kaum muda, bagaimana media komunikasi yang tepat? Regulasi atau aturan tersebut harus dibedakan dan tidak bisa disamaratakan.
“Yang paling penting adalah community based solution, yaitu mengutamakan anggota masyarakat dan komunitas bukan sebagai objek yang dituntut untuk patuh terhadap kebijakan, tapi terlibat dalam merancang solusi bersama untuk menyesuaikan diri dengan kondisi pandemi,” lanjutnya.
Daisy berharap masyarakat tetap bisa menjalankan kehidupan seperti biasa, tetapi dengan adanya edukasi dan regulasi tentang pengurangan risiko tertular dan penyebaran virus.
“Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama antara pemerintah, pelaku usaha, dan komunitas,” tambah Sosiolog dari Universitas Indonesia itu.
Dukungan Keluarga yang Paling Utama
Dari perubahan-perubahan yang terjadi di masa pandemi, kehidupan masyarakat menjadi lebih terfokus di lingkup yang lebih kecil, yaitu keluarga. Maka dari itu, ketahanan keluarga yang baik sangat dibutuhkan guna beradaptasi dengan lebih baik di masa pandemi ini.
“Ketahanan keluarga itu adalah kemampuan keluarga menjaga keseimbangan faktor positif dan negatif,” kata Daisy.
Selama pandemi, keluarga juga mengalami banyak kerentanan. Bisa jadi dari faktor ekonomi, contohnya berkurangnya pendapatan. Lalu faktor emosional seperti kehilangan anggota keluarga karena COVID-19, berpengaruh pada relasi atau perubahan peran, serta masalah kesehatan fisik dan mental.
“Pola asuh anak juga perlu diperhatikan, bagaimana tumbuh kembang anak di masa pandemi. Contohnya kita semua fokus berkegiatan di rumah, orangtua sibuk bekerja anak jadi terabaikan. Kesehatan gizi dan mental anak harus diperhatikan,” ungkapnya.
Untuk menjaga ketahanan keluarga, Daisy memberikan saran untuk mengurangi sumber beban yang negatif dengan pemenuhan basic needs, pekerjaan, dan aktivitas anak yang memadai. Keluarga juga diharapkan menambah sumber positif seperti relasi yang suportif dan responsif, dukungan komunitas, dan memelihara relasi.
Sementara itu, orangtua juga perlu fokus menemukan dan mengenali cara mengatasi sumber negatif, sehingga mempermudah menjalani hidup selama pandemi. Menurut Daisy, dengan cara tersebut maka dampak positifnya bisa lebih terasa.
“Tujuannya tidak sekedar beradaptasi saja, tapi tumbuh menjadi keluarga yang kuat,” tutupnya.
Bagaimana Parents, apakah Anda dan keluarga saat ini juga tengah mengalami Pandemic Fatigue? Merasa jenuh adalah wajar bagi manusia, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita mengelola stres dan bangkit mengatasi kejenuhan tersebut. Semoga informasi ini dapat bermanfaat, ya!
***
Baca Juga:
7 Keuntungan Hamil saat Pandemi yang Bunda Tidak Sadari, Apa Saja?
Pola Asuh Anak saat Pandemi yang Penting untuk Parents Terapkan, Seperti Apa?
Pandemi corona bikin kasus KDRT meningkat tajam, begini cara mengatasinya!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.