Kebiasaan Mendengkur? Bisa Jadi Gejala Obstructive Sleep Apnea, Waspada!

Bila sering ngorok hingga tersedak, segera konsultasikan ke dokter.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Mendengkur atau ngorok saat tidur biasanya akan terdengar ketika Parents terlalu lelah. Suara dengkuran sering kali tidak disadari oleh diri sendiri tetapi biasanya pasangan yang akan menyadarinya karena merasa terganggu.

Selama ini mungkin banyak orang yang menganggap sepele kebiasaan ngorok. Padahal ngorok yang sering dialami bisa jadi merupakan gejala Obstructive Sleep Apnea (OSA). 

Berdasarkan data Asean Sleep Congress tahun 2015, mendengkur dialami oleh 16,8% laki-laki dan 17% perempuan. Jumlah tersebut lebih sedikit dibanding jumlah kasus yang sebenarnya. Sebab, kebanyakan orang yang mengalaminya cenderung untuk mengabaikannya dan tidak mencari pertolongan atau perawatan medis. 

OSA yang diabaikan bukan hanya bisa mengganggu kualitas tidur, tetapi juga dapat mengakibatkan komplikasi yang menyebabkan kematian seperti henti jantung. 

Untuk lebih memahami mengenai OSA, yuk simak informasinya di bawah ini. 

Artikel Terkait: 6 Bantal Ibu Hamil Pilihan, Tidur Lebih Nyaman dan Nyenyak

Apa Itu Obstructive Sleep Apnea? 

Sumber: Pexels

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

OSA adalah gangguan pernapasan yang terjadi saat tidur akibat sumbatan jalan napas dan otot di belakang tenggorokan. OSA menyebabkan penurunan kadar oksigen dalam darah hingga terjadi henti napas sejenak.

Hal tersebut kemudian membuat otak merasakan adanya gangguan pernapasan hingga membangunkan Anda dari tidur untuk membuat Anda kembali bernapas. 

Kondisi itulah yang menyebabkan pasien OSA sering terbangun dan tersedak. Hentinya jalan napas saat tidur bisa terjadi berkali-kali sebanyak lima hingga 30 kali sepanjang malam. Keadaan tersebut akhirnya menyebabkan kualitas tidur menjadi buruk. 

“Dalam kasus OSA, jalan napas tertutup minimal 10 detik hingga henti napas yang kemudian membuat penderitanya tersedak dan terbangun dari tidur,” kata Dr. dr. Fauziah Fardizza, Sp.THT-KL (K), FICS, Dokter Spesialis THT Bedah Kepala & Leher Konsultan Laring Faring, dalam virtual media discussion, yang diselenggarakan oleh RS Pondok Indah Group, Rabu (28/10). 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Artikel terkait: Suami Mendengkur, Waspadai Penyakit Jantung

Gejala Obstructive Sleep Apnea 

Sumber: Pexels

Mendengkur bukan satu-satunya gejala yang dialami saat seseorang menderita OSA. Gejala lainnya adalah: 

  • Sering tersedak atau batuk saat tidur
  • Tidur gelisah
  • Napas terhenti sejenak 
  • Frekuensi BAK yang meningkat di malam hari 
  • Pusing saat bangun tidur 
  • Sulit berkonsentrasi
  • Ngantuk di siang hari 
  • Mulut kering dan sakit tenggorokan saat bangun tidur
  • Mudah marah 
  • Tertidur saat beraktivitas

“Tidak semua ngorok berarti gejala OSA, pada pasien OSA dengkuran akan berhenti sejenak, lalu kembali mendengkur dengan suara yang lebih keras, diikuti dengan tersedak atau batuk,” ucap dr. Fauziah. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Ngorok juga sering kali sulit disadari oleh mereka yang tidur sendiri. Maka selain ngorok, Parents bisa mengenali beberapa gejala OSA lainnya. Bila mengalami beberapa gejala tersebut di atas, Anda sebaiknya segera berkonsultasi ke dokter.

Artikel terkait: Akibat Kurang Tidur bagi Anak dan Orang Dewasa

Faktor Risiko Obstructive Sleep Apnea

Sumber: Pexels

Ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya OSA, di antaranya adalah:

1. Obesitas

Memang tidak semua penderita OSA adalah obesitas. Namun timbunan lemak di sekitar saluran napas atas dapat menghambat pernapasan.

2. Usia 

Seseorang berusia di atas 50 tahun lebih berisiko untuk mengalami OSA. Risiko tersebut kemudian menurun saat seseorang berusia lebih dari 60 tahun.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

3. Pembesaran Amandel 

Amandel atau gelenjar gondok yang membesar akan menghalangi jalan napas. Sehingga pernapasan menjadi tidak lancar.

4. Laki-Laki Lebih Berisiko Mengalami Obstructive Sleep Apnea

Secara umum laki-laki dua hingga tiga kali lebih besar risikonya untuk mengalami OSA dibandingkan perempuan. Namun risiko OSA juga meningkat pada perempuan yang telah memasuki masa menopause.

5. Riwayat Keluarga 

Memiliki anggota keluarga dengan OSA dapat meningkatkan risiko Anda untuk mengalaminya juga. Jika Parents mengetahui ada keluarga yang memiliki OSA, Anda perlu rutin memeriksakan kesehatan di sekitar jalur napas Anda. Selain itu lakukan juga tindakan pencegahan, seperti menjaga gaya hidup dan mengelola berat badan, agar tidak mengalami OSA.

6. Merokok

Merokok dapat mengganggu kesehatan paru-paru dan jalan napas sehingga merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA.

Artikel terkait: Bahaya tidur terlalu lama, dari masalah jantung hingga kematian dini!

Cara Mengatasi Obstructive Sleep Apnea

Sumber: Pexels

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Setelah didiagnosis mengalami OSA, Parents tidak boleh mengabaikannya dan harus segera melakukan pengobatan atau perawatan untuk mengatasinya. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi OSA adalah:

1. Perbaikan Gaya Hidup

Perbaikan gaya hidup seperti mengatur pola makan, berhenti merokok, dan tidur teratur wajib dilakukan oleh pasien OSA.

2. Menurunkan Berat Badan

Bila obesitas menjadi penyebab OSA yang Parents alami, maka Anda wajib menurunkan berat badan. Namun, pastikan Anda hanya menjalani program diet yang disarankan oleh dokter. Diet ekstrem tanpa pengawasan dokter justru bisa membahayakan kesehatan Anda.

3. Mengatasi Obstructive Sleep Apnea (OSA) dengan Posisi Tidur Miring

Tidur dengan posisi miring cocok untuk penderita OSA yang posisi lidah jatuh ke belakang sehingga menutup jalan napas. Saat Anda tidur dengan posisi miring, maka lidah tidak akan jatuh ke belakang. Ini juga cocok untuk pasien OSA yang tidak obesitas.

4. Mandibular Repositioning Appliance (MRA)

Terapi ini dirancang untuk memajukan mandibula ke posisi yang dapat mengoptimalkan ruang jalan napas.

5. Tongue Retaining Device (TRD)

Ini adalah terapi dengan alat penahan lidah yang dibuat untuk menggerakkan dan menahan lidah ke depan sehingga jalur pernapasan tidak terhalang dan pasien dapat bernapas dengan lancar.

6. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)

Ini merupakan terapi OSA menggunakan mesin dengan selang dan masker oksigen yang dapat menyalurkan oksigen dengan lancar ke saluran pernapasan. Jika kadar oksigen cukup, maka pasien tidak akan mengalami henti napas yang biasa dialami.

Terapi CPAP bisa dilakukan di rumah sakit atau di rumah dengan petunjuk dan pengawasan dokter.

Artikel Terkait: 10 Kebutuhan Ibu Hamil Trimester 1 Rekomendasi, Sudah Ceklis yang Mana?

Apakah OSA Dapat Menyebabkan Kematian?

Sumber: Pexels

Bila diabaikan dan terjadi berkepanjangan, OSA dapat semakin parah dan menyebabkan kematian. Saat terjadi OSA, kadar oksigen di dalam tubuh akan menurun. Akhirnya badan menjadi stres dan bereaksi. Salah satunya adalah jantung berdebar lebih cepat dan pembuluh darah menyempit. 

Kemudian tekanan darah menjadi tinggi, nadi yang cepat, volume darah yang tinggi, inflamasi dan stres, yang akhirnya menyebabkan serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak. 

Dr. Fauziah, memberikan beberapa hasil penelitian terkait OSA dan risiko kematian. Penelitian tersebut di antaranya adalah:

  1. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine tahun 2010 menemukan bahwa OSA dapat meningkatkan risiko stroke sebanyak 2-3 kali. 
  2. Penelitian Yale School of Medicine tahun 2007 menyebutkan bahwa OSA meningkatkan risiko serangan jantung atau kematian sebesar 30% dalam periode 4-5 tahun. 
  3. Journal of the American College of Cardiology tahun 2012 menemukan bahwa penderita OSA berisiko tinggi untuk mengalami kematian akibat komplikasi jantung.

Demikian informasi terkait Obstructive Sleep Apnea (OSA) dan risiko kematian yang bisa ditimbulkan. Dengan adanya informasi tersebut, maka Parents sebaiknya tidak mengabaikan bila mengalami gejala OSA yang disebutkan di atas, ya. Segera konsultasikan ke dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

Baca juga: