Namaku Alia, ya, sebut saja begitu. Seorang ibu dari dua orang anak yang tumbuh dengan sehat. Sayangnya, setelah berpisah dengan suami, aku pun terpaksa berpisah dengan buah hati.
Sama seperti ibu yang lainnya. Kondisi ini jelas membuatku terpuruk. Bahkan, berpisah dengan buah hati jadi titik terendah dalam hidup. Jika ada kata yang bisa menggambarkan kehancuran hati ini, aku akan memilihnya. Ya, bahkan kata ‘hancur’ masih belum mampu menggambarkan perasaanku sebagai ibu yang harus berpisah dari anak-anaknya.
Terus terang saja, perceraian yang telah kulewati ini sebenarnya sudah membayangi hari-hariku sejak awal menikah. Bagaimana tidak, dua minggu menjelang nikah, suamiku ketahuan berselingkuh.
Namun memang karena pernikahan kami diawali karena aku hamil lebih dulu sebelum pernikahan terjadi. Aku pun mencoba untuk menutup mata dan tetap melangsungkan pernikahan.
Hanya berdoa kalau pernikahanku akan diberkahi dan bisa berlangsung dengan baik-baik saja. Memang nyatanya tidak demikian. Sepanjang pernikahan, aku tidak pernah menemukan arti bahagia. Hari-hariku hanya dipenuhi dengan tekanan demi tekanan.
Perselingkuhan, kekerasan domestik, tekanan dari keluarga suami menjadi makanan sehari-hari yang harus ku hadapi. Tak cukup di sana, bahkan akhirnya suamiku mengakui kalau dirinya memang diminta untuk menghamiliku oleh ibunya.
“Waktu itu posisi suamiku memang belum lulus kuliah, sementara aku sudah lebih dulu menyelesaikan pendidikan dan sudah bekerja. Setelah mendengar pengakuan suamiku, saya benar-benar merasa terjebak.”
Perceraian, Berpisah dengan Buah Hati, dan Keluarga Toxic
Semua ini bermula karena saya menikah dengan sosok lelaki yang tumbuh di keluarga toxic.
Mantan kedua orangtuanya memang memiliki latar belakang pernikahan yang tidak sehat. Belum lagi mantan ibu mertuaku memiliki penyakit mental. Ia depresi, dan sempat dirawat di rumah sakit. Sayang, sebelum perawatannya tuntas, mantan ayah mertuaku dan keluarga besarnya justru memutuskan untuk mengeluarkannya dari Rumah Sakit Jiwa.
Nyatanya, keputusan ini justru semakin memperkeruh kondisi hubungan saya dan suami.
Bisa dibayangkan, dengan kondisi suami yang dibesarkan oleh ibu yang memiliki sakit mental, ditambah hubungan ibu dan ayahnya tidak sehat, suamiku tumbuh dengan banyak ‘luka’ yang akhirnya memengaruhi karakternya.
“Mantan ibu mertuaku juga sangat dominan. Tapi saya berpikir ini juga dikarenakan penyakit mental yang ia derita. Ibu mertuaku sering halusinasi, sangat takut untuk ditinggal anak-anaknya, terlebih lagi suamiku sebagai anak pertamanya. Sejak awal menikah, saya pun terpaksa untuk tinggal satu atap dengan mertua. Suami juga sangat bergantung dengan orangtuanya.”
Suamiku pun tumbuh menjadi sosok pribadi yang jauh dikatakan bertanggung jawab. Bahkan, ia melakukan kekerasan terhadapku. Fisik, mental, juga keuangan. Bahkan, beberapa kali ia pun melakukan perselingkuhan.
Sejak awal menikah, saya pun diminta untuk membantu usaha suamiku. “Saya pikir, ya, tidak ada salah juga membantu, toh, ini usaha suami juga.”
Dituduh Menggelapkan Uang Membuatku Masuk Hotel Prodeo
Pernikahan kami hanya bertahan selama enam tahun. Merasa tak kuat, akhirnya saya pun memutuskan untuk berpisah. Ketika mengajukan gugat cerai ke pengadilan, sebenarnya saya memenangkan hak asuh.
Namun, di tengah proses persidangan, keluarga suami ternyata mencari cara untuk menjatuhkanku. Siapa sangka, ibu mertuaku justru menggugat dan mengatakan kalau aku telah menggelapkan uang perusahaan.
“Jadi saya masih proses sidang perceraian, mertua membuat laporan dan mengatakan kalau aku telah melakukan penggelapan uang. Semua bermula ketika saya diajak untuk umroh bersama mertua. Namun, ini justru dijadikan laporan. Saya diminta untuk mengembalikan uang yang digunakan untuk umroh.
Peristiwa inilah yang membuat saya berpisah dengan buah hatiku. Keluarga mantan suami mengancam, akan cabut laporan jika saya mau menyerahkan anak-anak saya pada keluarganya. Karena saya tidak bersalah dan tidak melakukan, saya pun bertahan dan tidak memenuhi permintaannya.
Sayangnya, keluarga mantan suami memang punya ‘orang belakang’ yang mebantu mengurus proses pelaporan saya ini pun berjalan sangat ‘ngebut’. Cepat sekali. Hingga saya dinyatakan bersalah.”
Keputusan ini yang akhirnya membuat saya dianggap tidak layak mendapatkan hak asuh. Tak hanya kehilangan hak asuh dan berpisah dengan buah hati, karena fitnah itu saya pun harus mendekam di penjara. Divonis selama 8 bulan. Namun, saya mengajukan banding sehingga saya hanya masuk tahanan selama 6 bulan. Hingga kini, saya masih berjuang untuk bisa bertemu dan berkumpul dengan kedua anak-anak saya lagi.
*Kisah ini diceritakan pada penulis*
Baca Juga:
Sungguh Terjadi: Aku Terpaksa Bercerai saat Putri Kembarku Baru Berusia 40 Hari
10 Tanda yang membuat pasangan suami istri perlu bercerai, Anda mengalaminya?
Kisah Dini Surya, 13 Tahun jadi Sasaran Pukulan Suami Kini Jadi Pelatih Bela Diri
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.