Seorang epidemiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Tonang Dwi Ardyanto, mengatakan bahwa virus Omicron diduga sudah masuk Indonesia sejak dua pekan lalu.
Melansir laman Tempo, laporan awal yang ia dapat menyebutkan bahwa penyebaran virus Omicron sudah cukup luas. Namun, karena gejala yang ditimbulkan ringan, bahkan tanpa gejala, kasus infeksi virus salah satu varian COVID-19 ini pun tidak terdeteksi atau terlaporkan.
Pihaknya menjelaskan bahwa data akurat yang mendekati dugaan tersebut masih belum ada lantaran screening test yang dilakukan di Indonesia masih terbilang kurang. Meskipun demikian, Tonang menjelaskan bahwa antibodi yang terbentuk, baik yang disebabkan oleh infeksi alami, vaksinasi, maupun hybrid keduanya, sudah relatif tinggi di Indonesia.
Artikel terkait: Parents, Inilah Gejala Awal dan Tidak Biasa Virus Omicron Menurut Ahli
“Tapi diestimasikan bahwa prevalensi antibodi—dari infeksi alami, vaksinasi maupun hybrid infeksi-vaksinasi—sudah relatif tinggi setelah melewati Juli kemarin,” ujarnya seperti dikutip dari laman Tempo.
Di samping itu, masyarakat yang sudah divaksinasi dua dosis sudah mencapai 36,37 persen. Apabila laju percepatan vaksinasi tetap bertahan hingga akhir Desember nanti, Tonang optimis jumlah masyarakat yang mendapat vaksinasi kedua mecapai 42 persen.
Penyebab Dugaan Virus Omicron Masuk Indonesia Belum Terdeteksi
Lebih lanjut, Tonang pun menjelaskan bahwa antibodi dari infeksi alami yang berlangsung pada gelombang kedua lalu sudah menurun. Ia berharap, virus Omicron yang tidak menimbulkan gejala berat pun dapat memperkuat antibodi kembali.
“Dengan demikian, dugaan saya, Omicron sudah ada, sudah mulai menyebar di Indonesia,” katanya kembali.
Ia pun menjelaskan beberapa dugaan mengapa virus Omicron masuk Indonesia belum terdeteksi. Pertama, sebagian besar kasus Omicron memiliki gejala yang bisa dikatakan ringan, bahkan tanpa gejala sama sekali. Kedua, jumlah screening test di Indonesia masih dibilang rendah. Selama ini, menurut laporan, screening test yang dilakukan di Indonesia dalam kisaran 180 hingga 200 ribu per hari.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar menggunakan tes antigen. Sementara itu, tes PCR yang dilakukan mencapai 15 persen dari total screening test yang ada. Dari jumlah itu, diperkirakan tes PCR hanya sekitar 30 ribu per hari. Jumlah tersebut masih di bawah ambang batas minimal, yakni 39 ribu per hari.
Tonang pun menjelaskan permasalahan lain. Dari jumlah tes PCR tersebut sebagian besar hanya dilakukan di Jakarta saja.
“Itu minimal, juga dengan syarat merata. Sayangnya, 40-50 persen dari jumlah PCR itu di Jakarta saja. Sisanya dibagi 33 provinsi lainnya,” paparnya.
Artikel terkait: Waspada Varian COVID-19 Omicron di Indonesia, 2022 Bakal Sulit Diprediksi
Tes Antigen Bisa Deteksi Virus Omicron
Tonang pun menjelaskan bahwa tes antigen memang bisa mendeteksi virus Omicron. Hal ini disebabkan, target virus Omicron adalah protein N, bukan S. Meskipun demikian, apabila menggunakan tes antigen, orang yang terinfeksi virus Omicron bisa terdeteksi positif apabila virus load-nya tinggi. Jika sudah menurun, tes yang bisa mendeteksi adalah tes PCR.
Meskipun antibodi jumlahnya sedang atau bahkan menurun, orang yang pernah terinfeksi atau tervaksinasi akan memiliki sel memori. Jika nanti terinfeksi, virus load-nya pun cenderung rendah dan shedding-nya lebih singkat,
“Maka mudah terjadi terinfeksi tapi ‘tidak terdeteksi’ pada tes antigen,” tutur Tonang.
Artikel terkait: Lebih Menular, Varian Baru COVID-19 Virus Omicron Diprediksi Picu Gelombang Ketiga
Penjelasan Terkait Sequencing
Tekait dengan sequencing untuk mendeteksi varian ini, seperti dikutip dari Kompas, Tonang mengatakan bahwa cara ini dilakukan jika ada indikasi awal. Indikasi pertama jika kasus infeksi dengan CT value masih sangat rendah.
“Pertama bila didapatkan kasus dengan ct value rendah sekali yang berarti viral load tinggi. Padahal, terdeteksinya kasus perlu PCR dan bila terpaksa dengan tes antigen lebih dulu,” kata Tonang. Sementara itu, indikasi kedua, sequencing dilakukan jika S gene target value (SGTF) pada tes deteksi memiliki target gen S.
“Artinya, PCR mendeteksi 2 target gen lain, tapi target S nya justru negatif. Bila ketemu demikian, curiga kuat bahwa virusnya mengalami mutasi. Tidak pasti varian apa, tapi Omicron salah satu kemungkinannya,” imbuhnya.
Lebih jauh, Tonang menjelaskan bahwa lebih dari 85 persen PCR kit di Indonesia tidak menggunakan gen S sebagai target karena rentan bermutasi. Rata-rata PCR kit di Indonesia menargetkan gen N, E, RdRp, Orf1b dan Helicase.
“Jadi dengan menarget selain S, maka justru kita tetap bisa mendeteksi adanya virus SARS-CoV- 2. Hanya kita tidak tahu apakah itu masih seperti virus awal, atau sudah varian, serta varian mana. Itu yang tidak diketahui kalau tidak dilakukan sekuensing,” pungkasnya.
Itulah berita seputar dugaan virus omicron yang sudah masuk ke Indonesia menurut ahli. Karena pandemi belum berakhir, pastikan Parents dan anggota keluarga tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan, ya!
Baca juga:
Ini Langkah Pemerintah Cegah Penyebaran Virus Omicron di Indonesia Tanpa Lockdown
Kasus Pertama Covid Varian Omicron Malaysia Seorang Mahasiswi Asing
Waspada! Penggunaan Masker Katup Bisa Picu Penularan Varian Covid-19 Omicron
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.