Sebuah insiden kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baru-baru ini menyita perhatian publik. Seorang pilot lempar bayinya ke dinding sehingga menyebabkan bayi malang tersebut mengalami kondisi parah, bahkan kehilangan nyawa. Tidak menyalahkan suami, ibu dari bayi tersebut malah membelanya.
Tindakan sang ibu yang tak lain istri dari pilot tersebut jelas memunculkan tanya di dalam benak. Anaknya terima kekerasan sedemikian rupa, namun mengapa masih juga membela suaminya? Mengapa pula ada pasangan yang memilih tetap bertahan dalam rumah tangga yang toksik?
Diwartakan bahwa seorang pilot asal Inggris bernama Mohamed Barakat didakwa bersalah atas kematian putri kandungnya sendiri, Sophia. Lelaki berusia 42 tahun itu terbukti melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya saat mereka tengah menginap di sebuah hotel mewah di Kazakhstan.
Kronologi Pilot Lempar Bayinya ke Dinding
Rekaman CCTV hotel. Foto: Mirror
Melansir laman Mirror, kapten Airbus Mohamed Barakat, menurut pengadilan setempat telah melakukan tindakan abusif yang menyebabkan cidera parah pada otak dan kepala anaknya sendiri.
Barakat saat itu diduga sedang berada di bawah pengaruh alkohol dan narkoba. Dia mabuk dan menggunakan obat-obatan saat dia memukuli istrinya, Madina (23 tahun) sebelum akhirnya ia membunuh putri mereka dengan cara melemparnya ke tembok.
Sebelumnya, pilot kelahiran London tersebut mengelak dan mengatakan bahwa Sophia terluka parah karena ketidaksengajaan, ia mengaku mengalami serangan epilepsi saat kejadian.
Barakat dan sang istri. Foto: Mirror
Namun pembelaan Barakat ditolak hakim. Pengadilan telah menunjukkan bukti rekaman CCTV ketika ibu Sophia berlari membawa bayinya yang tidak sadarkan diri ke lobi hotel sambil berteriak minta tolong.
Barakat kemudian divonis 20 tahun penjara atas insiden tersebut. Akan tetapi, sang istri malah menangis mendengar putusan pengadilan. Ia bahkan mengubah kesaksiannya agar sang suami tak dinyatakan bersalah.
“Aku mencintainya dengan sepenuh hati,” kata Madina.
“Ini bukanlah kejahatan yang disengaja, dia tidak mungkin mencelakai Sophia, anaknya sendiri.”
Artikel terkait: Kisah Pilu Seorang Istri yang Alami KDRT dari Suaminya
Mengapa Korban KDRT Memilih Bertahan?
Apa yang dilakukan Barakat kepada istri dan anaknya merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Tindakan yang menyebabkan hilangnya nyawa, tentu saja tak bisa ditolerir.
Salah satu pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa sang istri, Madina, yang menjadi korban malah berbalik membela suaminya saat di pengadilan? Sudah jadi korban KDRT, kenapa ingin mempertahankan pasangan?
Parents, kondisi psikis para korban KDRT memang cukup kompleks. Ada berbagai macam alasan mengapa mereka memilih untuk mempertahankan hubungan pernikahan yang sebenarnya toksik, antara lain:
- Bertahan karena anak. Tak sedikit ibu yang memilih bertahan dalam kondisi KDRT karena tak ingin anaknya kehilangan salah satu figur orangtua ketika ia harus bercerai. Meski kalau mau dipikir lagi, memilih bertahan juga bisa lebih buruk untuk kondisi psikologis anak.
- Bertahan karena faktor ekonomi. Biasanya, perempuan yang merasa tak cukup mapan secara finansial akan memilih bertahan dalam hubungan yang tidak sehat.
- Berkaitan dengan perasaan korban itu sendiri. Meski mendapat perlakukan buruk, di satu sisi korban merasa dicintai oleh pasangannya. Sehingga ia merasa tak akan sanggup hidup tanpa sosok pasangan tersebut.
Jika Anda adalah seorang istri atau suami, bersikap tegaslah dan jangan mentolerir ketika pasangan melakukan tindakan kekerasan.
Artikel terkait: Istri rekam aksi kekerasan suami, lakukan ini bila alami KDRT
Catatan untuk Parents: Jangan Lampiaskan Kemarahan pada Anak
Terlepas dari prahara KDRT dalam kasus di atas, sebuah catatan penting harus direnungkan oleh semua orangtua tanpa terkecuali.
Banyak di antara kita, sadar tidak sadar, kemudian melampiaskan emosi negatif kepada anak. Mereka yang tak berdosa pun akhirnya harus menanggung beban mental maupun fisik akibat kegagalan orangtua mengendalikan diri.
Emosi negatif jelas berpengaruh besar pada perkembangan dan perilaku anak di kemudian hari. Anak-anak yang dibesarkan di lingkungan dengan tingkat stres yang tinggi misalnya, akan mengalami kesulitan mengatur emosi serta cenderung menunjukkan perilaku bermasalah terutama saat usia sekolah.
Lalu, bagaimana harus bersikap saat sedang marah? Berikut ini beberapa tips yang bisa Parents terapkan.
Pertama, jangan langsung meluapkan amarah membabi buta. Tarik napas dalam dan tenangkan diri lebih dulu. Parents juga bisa menuliskan pada jurnal atau catatan untuk merilis emosi negatif agar tidak merasa nyesek sendiri karena tertahan.
Nah, setelah bisa menguasai diri, barulah bicarakan apa yang Parents rasakan itu, entah marah, kecewa, atau lainnya. Mengutarakan pikiran dan perasaan dalam kondisi yang sudah lebih kondusif akan memudahkan dalam menemukan solusi.
Baca juga:
Berbagai kasus KDRT, mengapa selalu wanita yang dirugikan?
Pandemi corona bikin kasus KDRT meningkat tajam, begini cara mengatasinya!
KDRT Sering Disebabkan 4 Hal Ini, Begini Cara Mencegahnya!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.