Apakah Parents tahu bahwa jumlah perokok anak di Indonesia sangat tinggi? Coba tengok di sekeliling kita, anak usia SMP dan SMA sudah banyak yang merokok. Tentunya hal ini sangat memprihatinkan.
Beberapa waktu yang lalu juga sempat viral berita mengenai balita yang kecanduan rokok dan mampu menghabiskan berbungkus-bungkus rokok setiap harinya. Kasus tersebut memang mencerminkan bahwa perokok anak kadang dianggap wajar oleh lingkungan.
Bagi orang dewasa saja, merokok dapat menyebabkan banyak gangguan kesehatan. Apalagi untuk anak yang masih berkembang fisiknya.
Jumlah Perokok Anak Meningkat Setiap Tahunnya
Ilustrasi perokok anak. Sumber: Lensa Indonesia
Dalam diskusi daring dengan tema “Melindungi Anak dengan menghapus Diskon Rokok” pada Senin (1/6) lalu yang diadakan oleh Alinea.id, Ketua Lentera Anak Lisda Sundari mengatakan bahwa jumlah perokok anak usia 10 hingga 18 tahun terus meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskedas), jumlah perokok anak pada tahun 2018 meningkat 9,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah tersebut setara dengan 7,8 juta anak.
Sebelumnya, Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 5,4 persen pada tahun 2019.
Tingginya jumlah perokok anak ini menunjukkan bahwa pemerintah gagal untuk mengendalikan konsumsi rokok dan industri rokok berhasil merekrut anak-anak sebagai perokok baru setiap tahunnya.
Apa saja penyebab tingginya jumlah perokok anak ini? Lisda menyebutkan bahwa praktik iklan rokok yang sangat leluasa dapat menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya dan harga rokok yang terjangkau oleh berbagai kalangan memudahkan anak untuk membeli rokok.
Lentera Anak juga mendesak pemerintah untuk meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual murah. Perlindungan anak seharusnya menjadi salah satu fokus pemerintah demi masa depan bangsa.
Menghapus Diskon Rokok Sebagai Salah Satu Langkah Pengendalian Jumlah Perokok
Menurut Lisda, praktik diskon rokok akan memperburuk upaya pencegahan perokok anak karena harga rokok akan menjadi semakin murah dan anak akan dengan mudah menjangkau produk tersebut.
Dosen FEB UI Abdillah Ahsan mengatakan bahwa harga merupakan unsur yang paling penting. Makin mahal rokok yang dijual, maka makin baik pula pencegahannya. Begitu juga sebaliknya, apabila harga rokok semakin murah maka akan sulit untuk mengendalikan jumlah perokok.
Statement tersebut didukung oleh Pegiat Fakta Tubagus Haryo Karbyanto. Tubagus berpendapat bahwa kebijakan diskon rokok bertentangan dengan visi strategis Presiden Jokowi yang ingin agar pemerintah mengutamakan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Pada tahun 2030 nanti diperkirakan akan terjadi limpahan bonus demografi. Tubagus menyampaikan bahwa angka dependency ratio akan mencapai titik terendah di angka 46,9 persen sekitar 10 tahun lagi. Dengan kata lain, pada tahun tersebut kelompok usia produktif akan mencapai dua kali lipat jumlah kelompok usia non produktif.
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan bahwa kebijakan cukai menjadi instrumen pengendalian tembakau. Pihaknya pun telah menaikkan tariff cukai setiap tahunnya.
“Tujuan kenaikan cukai sendiri adalah membuat harga rokok tidak terjangkau, utamanya untuk anak. Dalam pelaksanaannya, Ditjen Bea dan Cukai memantau harga rokok secara berkala di pasar sesuai dengan peraturan menteri keuangan,” ungkap Nirwala.
Yang disebut dengan diskon rokok sebenarnya merupakan potongan harga di tingkat penjualan. Nirwala menjelaskan bahwa harga jual eceran (HJE) rokok berada di tingkat pengecer. Sementara itu pihak Bea Cukai tidak mungkin melakukan pengawasan di tingkat tersebut.
“Cuma masalahnya harga dari pabrik kalau sudah 100 persen nanti menjadi sama antara HJE dan harga transaksi pasar (HTP). Terus nanti yang mengongkosin distribusi siapa? Itulah yang disebut teman-teman penggiat anti tembakau tadi sebagai diskon,” ujarnya.
Parents, peran kita sebagai orangtua sangatlah penting dalam mengendalikan jumlah perokok anak di negeri kita tercinta ini. Sebisa mungkin kita mulai untuk memberikan contoh yang baik kepada anak, misalnya dengan tidak merokok di depan anak.
Dengan anak melihat kita merokok, maka akan timbul pikiran bahwa merokok itu tidak apa-apa. Tentunya hal ini berbahaya bagi anak yang masih belum bisa berpikir panjang. Selain itu, merokok dekat anak bisa membuatnya menjadi perokok pasif yang juga tidak baik untuk kesehatannya.
Parents juga bisa memberikan informasi mengenai bahaya rokok untuk kesehatan kepada anak sedini mungkin sebagai salah satu tindakan pencegahan.
Sumber: Republika
Baca juga:
10 Bahaya Rokok yang Anda Sebarkan kepada Anak-Anak Anda
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.