Hallo theAsianparent! Saya Eka dari Bogor. Saya mau berbagi pengalaman tentang perjalanan kehamilan anak pertama yang aku lewati tanpa kehadiran seorang ibu.
Selain itu, di kehamilan pertama juga cukup berat untuk ibu muda seperti aku. Saat mengandung si Kecil, umurku masih 22 tahun. Aku dan suami sama-sama seorang perantau, jauh dari keluarga. Jadi kehamilan ini cukup berat buat kami.
Kami benar-benar belajar bersama menjadi calon orangtua untuk anak kami. Di kehamilan pertama saat usia pernikahan kami baru genap lima bulan, dan aku tahu kalau aku hamil saat si janinku sudah berusia delapan weeks.
Awal kehamilan aku tidak merasakan gejala apa pun dan untuk menturasiku juga tidak teratur. Tapi enggak tahu kenapa, tiba-tiba aku kepikiran buat beli testpack dan ternyata, Alhamdulilaa… benar saja garis dua.
Senangnya masyallah dikasih kepercayaan secepat itu. Enggak tahu karena sugesti atau apa, setelah aku tahu aku sedang hamil, mendandak aku jadi manja sama suami. Terus sering muntah pagi-sore sampai enggak nafsu makan. Semua kerjaan terbengkalai karena enggak mood ngapain-ngapain. Padahal, waktu itu aku masih aktif bekerja dan masih kuliah juga semester akhir.
Mabok parahnya berlangsung sampai 16 weeks sampai pernah pas lagi kerja, karena badan lemes dan enggak ada makan masuk, baru makan di muntahin, jadi bikin lemes dan enggak ada tenanga. Akhirnya, masuk rumah sakit dan diinfus. Masya Allah… perjuangan hamil muda.
Artikel terkait: Belajar Manajemen Waktu di Kehamilan Pertama, Ternyata Tak Semudah yang Kupikirkan
Perjalanan Hamil Anak Pertama, Aku Mendapat Kabar Duka
Enggak selang beberapa hari keluar dari rumah sakit, denger kabar kalau ibuku masuk rumah sakit juga dan kritis. Baru juga mau pemulialan, tiba-tiba dengar kabar begitu langsung down lagi. Kerja pun enggak konsen, kuliah enggak keurus padahal lagi bikin proposal. Semuanya terbengkalai.
Dan pas di usia kehamilan 4 bulan, dapat telepon dari keluarga di kampung kalau ibuku meninggal. Ya tuhan… rasanya saat itu benar benar down dan shock parah, kaki lemes dan kepala rasanya berat. Air mata tidak berhenti mengalir, sampai karena sangking shock-nya, aku nangisnya tidak kekontrol. Histeris. Sedih banget kakau diinget, untung ada suami yang selalu kasih suport. Dia berusaha nenangin aku dan ngingetin kalo aku sedang hamil dan harus kuat.
Akhirnya, kami memutuskan buat pulang kampung ke Sumsel. Awalnya, rencana mau naik pesawat tapi ternyata tiket pesawat waktu itu lagi mahal. Mana harus transit dulu ke Padang, jadi tetep memakan waktu lama buat sampai. Dan yah akhirnya kami memutuskan buat naik bus yang di mana perjalanan kami tempuh lumayan lama. Kurang lebih 24 jam dengan kondisi jalan yang tidak semua muluus.
Wah, kalau diinget-inget sedih banget. Sesampainya di kampung pun, aku enggak bisa melihat jasad ibuku tercinta. Beliau harus cepat dimakamkan dan enggak bisa menunggu aku. Betapa sedih dan hancurnya perasaanku waktu itu. Enggak bisa melihat dan mencium ibuku untuk terakhir kalinya.
Rasanya waktu itu aku pingin teriak sekencang-kencangnya, tapi aku berusaha tegar untuk anak yang sedang aku kandung aku juga enggak mau kehilangan dia. Setelah itu, waktu berlalu minggu demi minggu, setiap bulan aku tetep rajin kontrol untuk memastikan bayiku tetep sehat, minum vitamin dan asam folat.
Artikel terkait: Perjuangan Menyelesaikan Tesis Sambil Mengurus Bayi, Banyak Tantangan yang Harus Kulalui
Tetap Perjuang Meski Jauh dari Keluarga
Walau jauh dari keluarga dan enggak ada yang kasih tau bagaimana proses dan menjalani kehamilan yang benar, aku belajar sendiri. Mulai dari share dengan sesama teman yang sudah melalui proses ini sampe searching google dan ikut-ikut komunitas/forum ibu dan bayi. Semua aku pelajari.
Jauh dari keluarga melatih buat aku dan suami menjadi orangtua yang mandiri. Semua proses kami lalui. Alhamdulilah… punya suami salalu ada buat istrinya. Setiap check-up, dia tidak pernah absen. Selalu ada buat nemenin istrinya. Bulan demi bulan berlalu. Walau hamil makin membesar, rutinitas tetep jalan. Kerja tetep jalan. Kuliah tetep jalan.
Sampai ngerjain skripsi harus ngejar dosen ke sana-ke mari pun aku jalani di tengah hamil besar. Tapi alhamdulilaah… Allah menjaga dan melindungi aku dan anakku. Sampai pernah waktu sidang, padahal jadwal aku untuk sidang masih beberapa hari, tapi dari pihak kampus dan beberapa dosen baik banget biar aku didahulukan untuk sidang karena ya kandunganku waktu itu sudah mendekati HPL.
Alhamdulilah semua dimudahkan dan diberi kelancaran. Sidang skripsi berjalan mulus dan senang banget betapa banyak orang yang peduli sama aku dan anakku. Waktu sidang pun ketika yang lain harus presentasi berdiri aku diizinkan oleh para penguji duduk. Masya Allah hehe… berasa special banget waktu itu.
Artikel terkait: Bekerja Sebagai Terapis, Saya Bertemu Banyak Ibu Istimewa yang Dikaruniai Anak Spesial
Kehadiran Anak Adalah Anugerah Terindah Bagiku
Setelah sidang berakhir, yudisium pun selesai, barulah tepat di tanggal 13 september 2019 sore aku ngerasain kontraksi tapi masih jarang. Hampir 12 jam kontraksi, barulah pecah ketubaanku dan alhamdulilah tanpa induksi tanpa vakum dan lain lain, si Kecil juga cukup berjuang melalui proses persalinan itu.
Anak yang ganteng, pinter, dan lucu hadir ke dunia ini mengubah kesedihanku menjadi kebahagiaaan. Senang sekali. Terima kasih, ya Allah… sudah menitipkan malaikat kecil yang buatku bangkit dari kesedihan karena kehilangan ibu.
Dan untuk ibu tersayang… selamat jalan. Ternyata seberat itu, ya, proses menjadi ibu. Tidak mudah, penuh dengan perjuangan. Terimah kasih, Mah, sudah mengandungku. Sudah membesarkan aku dengan penuh kasih sayang, mendidikku dengan kesabaranmu.
Aku minta maaf, di saat-saat terakhirmu, aku tidak bisa menemani Mamah. Semoga Mamah tenang di sana. Mamah pasti sudah bahagia di sana dan bisa lihat cucu mamah sekarang sudah besar. Sudah bisa jalan. Sudah bisa ngomong. Semoga tahun ini pandemi berakhir dan kami bisa mudik ke kampung halaman dan bisa berziarah ke makam Mamah. I miss youu…
Sekian sekelumit kisah perjalanan kehamilan anak pertama yang aku lalui dengan penuh tantangan ini. Terima kasih.
***
Ditulis oleh Bunda Eka Palupie.
Baca juga:
Alami Baby Blues hingga Konflik Keluarga, Inilah Perjuanganku Sebagai Ibu!
Cinta Tanpa Syarat, Itulah yang Aku dan Suami Berikan kepada Putra Kami
Perjalanan Sebagai Seorang Ibu Tidaklah Mudah, Ini Pesanku untuk Para Bunda