Peran bidan sangat krusial dalam menjaga kesehatan ibu hamil dan bayinya. Sayangnya, masih banyak tantangan yang dihadapi banyak bidan di seluruh penjuru Nusantara. Gebrakan dalam hal teknologi dibutuhkan demi menunjang tugas bidan mengabdi untuk negeri.
Sebagai negara besar dan padat penduduk, kesehatan sumber daya manusia haruslah terjaga. Tak pelak, layanan kesehatan yang tersedia di Indonesia masih menjadi tantangan di berbagai wilayah.
Khususnya bagaimana memaksimalkan kinerja bidan dalam membantu menjaga kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Terlebih, penyebaran tenaga kesehatan dokter belum sebanding dengan fasilitas kesehatan yang tersedia.
Peran Bidan dalam Kesehatan Ibu dan Bayi Beserta Tantangan di Indonesia
Faktanya, per Desember 2021 tercatat ada 266 ribu bidan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia dengan sekitar 37 ribu bidan membuka praktiknya sendiri. Angka ini sungguh membantu agar bidan bisa berbaur di tengah masyarakat.
“Keberhasilan pembangunan sebuah negara itu bukan hanya dilihat dari GDP saja, tetapi salah satu indikatornya adalah kesehatan ibu dan anak. Bidan adalah profesi yang uni, karena fokusnya tak hanya ibu dan anak saja. Mereka juga menangani balita,” begitulah penuturan Dr. Emi Nurjasmi, M.Kes., Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dalam acara Diskusi Media Halodoc Luncurkan Aplikasi “Bidanku”, Bantu Bidan Tingkatkan Kualitas Kesehatan Ibu dan Anak.
Dalam kesempatan tersebut, terpapar fakta bahwa terjadi kesenjangan akses kesehatan di Indonesia. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia pada 2015 memaparkan bahwa Indonesia hanya memiliki 2 dokter dan 12 rumah sakit untuk setiap 10.000 populasi.
Padahal, peran bidan sangat penting, utamanya ketika menangani ibu yang melahirkan. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menjelaskan secara gamblang kinerja bidan yang menunjang keberlangsungan SDM di Indonesia.
Artikel terkait: 2 Cara Menghitung Berat Janin yang Bisa Dilakukan di Rumah
Hambatan yang Sering Dialami
Sebanyak 80% ibu hamil diperiksa oleh bidan setiap tahunnya. Bidan juga membantu 62% persalinan ibu secara vaginal dan menangani serta mengasuh 53% bayi yang baru lahir. Namun, bukan berarti fakta ini tidak menemui kerikil hambatan.
“Indonesia itu luas, dan sebagian besar bidan fokusnya hanya ada di area rural atau wilayah terpencil. Padahal, bidan diperlukan sebagai tenaga strategis yang dekat sekali dan kehadirannya dibutuhkan oleh masyarakat.
Komunikasi dan metode pelaporan yang masih konvensional menjadi salah satunya yang membuat data pasien lama sekali keluarnya. Padahal laporan ini kan tidak bisa setiap saat memerlukan waktu” lanjut Dr. Emi.
Dokter yang kerap dijuluki ‘Bundanya’ seluruh bidan Indonesia ini juga menegaskan bahwa lambatnya pelaporan membuat intervensi terhadap bayi yang sebenarnya berisiko jadi tertunda.
Akibat terlambatnya data dengan integrasi aplikasi, tidak sedikit bayi yang memiliki risiko kesulitan ketika harus mencari rumah sakit rujukan. Perujukan akan menjadi hal yang dilakukan bidan demi memantau permasalahan pada bayi yang baru lahir.
Dr. Emi mencontohkan di DKI Jakarta masih ada fasilitas kesehatan yang untuk merujuk, tidak bisa langsung terkoneksi dengan data yang diperlukan. Keterbatasan NICU membuat bayi sering tidak terselamatkan bahkan sebelum tiba di rumah sakit.
Artikel terkait: Kaki Bengkak saat Hamil? Ini Jenis Makanan yang Sebaiknya Bunda Konsumsi dan Hindari
Seperti Apa Bidan yang Produktif?
Tak hanya berperan dalam menolong kehamilan dan kesehatan bayi, seorang bidan turut berperan dalam membantu pemerintah mengentaskan masalah stunting di Indonesia. Data Litbang Kemenkes menyebut Indonesia masih memiliki prevalensi stunting pada anak sebesar 30%.
Untuk itu, platform digital akan membantu mempermudah tugas bidan. Inovasi teknologi akan membantu masyarakat juga dalam mengakses informasi kesehatan saat itu juga (realtime).
Diharapkan akses teknologi juga akan mendorong upgrade bidan menjadi lebih baik dan produktif. Dr. Emi menuturkan tidaklah mudah menjadi seorang bidan. Dibutuhkan standar terbaik sebelum bidan dapat melayani masyarakat.
“Bicara kriteria bidan berkualitas, kita pastinya punya standar. Bidan tidak langsung jadi, harus melalui pendidikan tinggi dulu lalu menjalani pendidikan profesi selama lima tahun.
Kualitas ini tentunya enggak hanya ketika dia entry point akan menjadi bidan, tetapi juga saat menjalankan tugas. Harus ada standar kompetensi dan di akhir proses ada evaluasi yang akan dilakukan,” jelas Dr. Emi.
Dalam bertugas, kualitas berkelanjutan atau continuing professional development diharapkan melekat dalam diri seorang bidan. Standar profesi, pelayanan, pengasuhan harus bisa dilakukan.
“Misalnya memeriksa ibu hamil ada standarnya namanya 10T yang harus dihafalkan bidan di luar kepala. Pertolongan pertama persalinan bidan harus mampu melakukan. Makanya inovasi diperlukan, termasuk bidan akan bisa mengikuti seminar dan pelatihan yang menunjang,” pungkas Dr. Emi.
Baca juga:
Studi: Depresi Saat Hamil Tingkatkan Risiko Melahirkan Caesar
Takut Berhubungan Intim saat Janin Sudah Masuk Panggul? Cari Tahu Posisi Bercinta yang Aman
Bumil, Ini 8 Tips Merencanakan Cuti Melahirkan yang Perlu Disimak
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.