Hamil dan melahirkan adalah pilihan bagi semua perempuan. Setidaknya inilah pandanganku.
Saat awal menikah saya dan suami sudah sepakat untuk menunda kehamilan. Kami ingin saling mengenal lebih dulu dan melakukan banyak hal. Mulai dari rencana kuliah, sampai rencana berbisnis. Kami bahkan melakukan berbagai upaya untuk menunda kehamilan, namun nyatanya saya hamil tanpa direncanakan.
Buat saya dan suami, kehamilan dan melahirkan adalah pilihan, sebuah fase yang harus direncanakan dengan matang. Biar bagaimana pun, kami sadar kalau kehamilan bukanlah proses yang mudah. Tak hanya saat mengandung, termasuk persalinan yang menghadapkan perempuan akan hidup dan mati, juga tanggung jawab serta kesiapan mengasuh dan mendidik anak.
Apakah hamil dan memiliki anak sudah benar-benar disiapkan?
Mengandung dan Melahirkan adalah Pilihan
Meski tidak direncanakan, saya pun akhirnya belajar menerima kehamilan tersebut dan melakukan yang terbaik untuk kehamilan saya. Meski begitu, tetap saja banyak banyak orang yang memberikan komentar karena tahu pada awalnya saya belum siap hamil.
“Nggak boleh nunda-nunda, nanti malah susah lho.”
“Rezeki itu sudah ada yang atur, nggak usah khawatir.”
“Namanya nikah, ya, pasti punya anak, kalau nggak mau punya anak ya nggak usah nikah saja.”
Begitu kira-kira berbagai komentarnya yang masuk ke telinga saja. Terdengar menyakitkan. Tapi sudahlah….
Saat hamil saya pun mengalami hiperemesis gravidarum (muntah semua makanan dan minuman hingga dehidrasi), gejalanya mirip seperti GERD. Awalnya saya pikir memang disebabkan GERD saja yang kambuh, ternyata dua penyakit terjadi bersamaan. Saya harus opname sampai dua kali.
Artikel Terkait: Setelah Keguguran, Aku Melewati Kehamilan dengan Kondisi Hiperemesis Gravidarum
Perut saya sakit sekali, saya sampai menangis tiap hari. Telat makan beberapa menit perut saya langsung sakit dan saya langsung muntah meski tak ada makanan yang dimuntahkan, cairan tubuh yang pasti keluar. Yang menyedihkan adalah saya di perantauan, suami kerja, sehingga saya sendirian saat itu. Di sekitar rumah juga hanya ada masakan padang, sementara ini adalah makanan yang jadi pantangan penderita GERD dan Hiperemesis.
Tak cukup merasakan hiperemesis gravidarum, saat akan melahirkan, ketuban saya pecah duluan, tapi pembukaan baru 1 setengah. Saya sudah merasakan kontraksi sejak pukul 11 malam, ketuban pecah jam 3 pagi. Saya ke puskemas dan menunggu pembukaan. Sayangnya, pembukaan tak bertambah juga, saya pun dirujuk ke RS.
Sampai RS pembukaan belum bertambah lagi hingga malam. Kontraksi terus berlanjut hingga dini hari sampai pagi. Jam 6 pagi pembukaan masih 3. Kontraksi terus terjadi, saya tak boleh banyak gerak karena setelah ketuban pecah rentan mengalamu infeksi.
Antara hidup dan mati, saya pikir saya sudah mau mati karena rasa sakit sudah tidak tertahankan lagi.
Jam 10 pagi pembukaan 7, jam 12 saya melakukan proses persalinan. Selama proses kontraksi, saya sudah minta doa ke semua ustadz dan kyai yang saya kenal, keluarga tak henti juga merapalkan doa. Akhirnya anak saya lahir setelah 36 jam kontraksi.
Artikel Terkait: 8 Tips Meningkatkan Peluang Melahirkan Normal yang Bisa Bunda Lakukan
Proses Melahirkan yang Penuh Tantangan Membuatku Trauma
Terus terang saja, proses hamil dan melahirkan yang saya alami menyisakan trauma. Saya belum berani bertemu kehamilan dan melahirkan lagi. Saya masih takut kejadian itu terulang, dan takut tidak bisa melaluinya.
Saat saya menceritakan hal ini pada teman-teman perempuan saya di grup whatsapp, ternyata teman-teman saya mengalami hal yang sama. Hampir semua mengalami trauma. Ada yang tidak merasakan kontraksi bahkan setelah HPL lewat. Tak ada rasa apa pun hingga ia harus operasi.
Ada pula yang mengalami anemia sehingga rentan terjadi pendarahan, hal itu sangat berisiko. Apalagi dia seorang bidan, dia tahu betul risikonya, dan tentu sering membantu persalinan dengan berbagai penyakit penyerta. Hal itu juga membuatnya trauma.
Lain lagi dengan teman yang hamil anak kedua. Ia belum siap sampai tidak ingin hamil. Ujung-ujungnya. ia sampai mendatangi berbagai dokter untuk menggugurkan kandungannya.
Saat lahiran ia berencana normal, namun tak merasakan kontraksi sama sekali. Akhirnya tindakan operasi harus dilakukan. Semua ia jalani tanpa persiapan mental. Hal itu membuatnya trauma juga.
Cerita perjuangan perempuan yang melahirkan tidak hanya sampai di sana saja. Terakhir, ada teman saya yang baru saja meninggal. Kehamilan pertama ia mengalami keguguran. Kehamilan kedua sangat lemah, namun bertahan sampai melahirkan, dan kini anaknya berumur 3 tahun. Setelah kelahiran anak pertama, ia ingin melakukan KB steril. Namun dokter menolak karena ia masih muda, mungkin prosedur medis tidak diperbolehkan.
Akhirnya ia hamil ketiga kalinya. Kondisinya sangat lemah, ia sering kesakitan. Hingga saat kandungannya berusia 7 bulan, ia mengalami pendarahan. Ia dilarikan ke RS tapi ditolak karena penuh saat pandemi. Akhirnya ada yang menerima, tapi penanganannya terlambat. Ia pun meninggal di usia 27 tahun meninggalkan anak berusia 3 tahun.
Betapa kehamilan dan melahirkan adalah proses hidup dan mati. Bagi orang yang berpendapat bahwa hamil itu konsekuensi dari menikah, maka bagi saya itu hal yang egois. Bagi yang berpikir kalau tidak mau hamil, ya, jangan menikah itu juga terlalu naif.
Risiko hamil dan melahirkan itu adalah kematian. Bersyukur jika kita selalu sehat saat hamil, tapi kematian ibu saat hamil dan melahirkan adalah fakta yang tak bisa diabaikan. Juga tentang beratnya hamil dengan berbagai penyakit baik bawaaan maupun muncul saat hamil.
Ada banyak ibu yang hamil dan melahirkan dengan kondisi fisik yang lemah. Tanggung jawab ketika anak lahir juga bukan perkara mudah. Pengasuhan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan fisik dan mental. Jika seorang ibu mengalami trauma, maka pendidikan apa yang akan diajarkan kepada anaknya?
Dari pengalaman yang saya alami, termasuk teman-teman terdekat, menurut saya, hamil dan memiliki anak adalah sebuah pilihan dan perlu didiskusikan dengan dengan matang bersama pasangan. Jangan sampai memiliki anak hanya karena tuntungan sosial, sementara kita sendiri tidak mau dan tidak mampu.
Baca Juga:
Hati-hati! Unwanted Child Akibat Hamil Tak Direncanakan Ganggu Mental Anak
Persalinan Bebas Trauma, Rasakan Bukaan Tanpa Rasa Mules
Kehamilan Pertamaku, Pengalaman Menyiapkan Diri Jadi Ibu
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.