Bagaimana, sih, agar anak memiliki manajemen emosi yang baik? Hal ini tentu saja perlu dilatih sejak dini, jika tidak bukan tidak mungkin akan tumbuh tanpa kecerdasan emosi yang baik.
“Anak aku mudah sekali marah, kalau tidak suka dengan sesuatu atau permintaannya tidak diikuti, bisa berteriak bahkan membanting-banting barang. Sampai pusing bagaimana harus bersikap,” tukas Nadia, ibu dari Raihan usia 2,5 tahun.
Berbeda dengan Nadia, kasus yang dihadapi Mega ibu dari Raisa yang usianya sudah beranjak remaja justru sebaliknya. Mega mengatakan jika purtrinya yang sudah beruusia 13 tahun justri terlihat sulit terbuka dan mau mengungkapkan perasaannya. Cenderung diam, kata Mega.
“Dari kecil anak saya ini memang terlihat kalem. Malah cenderung sulit mengungkapkan emosinya. Mengingat anak saya sudah remaja, kok, saya malah khawatir jika kondisinya seperti ini terus. Selalu tertutup, tidak mau mengungkapkan apa yang dia rasa. Kalau didesak terus, anaknya malah makin tertutup. Saya lihat, dia pun tidak punya banyak teman yang sering dijadikan teman cuhat,” papar Mega.
Pentingnya Memahami Perkembangan Emosi Anak
Dalam hal ini, dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ (K) selaku dokter spesialis kedokteran jiwa konsultan psikiatri anak dan remaja yang berpraktik di RS Pondok Indah menjelaskan bahwa pada dasarnya, sama seperti orang dewasa, anak-anak juga memiliki beragam perasaan.
Bisa merasakan emosi marah, senang, bahagia, sedih, kecewa, bahkan depresi. Oleh karena itulah penting bagi orangtua bisa menggali lebih dalam bagaimana emosi anak dan tingkat perkembangannya.
Bagaimana anak bisa mengekspresikan perasaan?
Kemampuan untuk bereaksi secara emosional tentu saja akan berbeda-beda. Selain memang anak merupakan individu yang unik sehingga memiliki karateristik masing-masing, bagaimana anak mempu mengekspresikan perasaan juga tentu saja terkait dengan usianya.
“Sudah ada sejak bayi baru lahir bisa menangis, tersenyum, dan frustasi. Bahkan beberapa peneliti meyakini bahwa beberapa minggu setelah lahir, bayi dapat memperlihatkan bermacam-macam ekspresi dari semua emosi dasar, termasuk kebahagiaan, perhatian, keheranan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, dan kebosanan sesuai dengan situasinya,” jelas dr. Anggia Hapsari.
Parents tentu masih ingat bahwa saat bayi baru lahir, hingga usia beberapa bulan, bayi cenderung sering menangis. Ini memang disebabkan kemampuan bayi masih begitu terbatas. Menangis juga satu-satunya cara bayi berkomunikasi dengan lingkungannya, khususnya kepada orangtuanya.
Lambat laun, seiring bertambahnya usia anak, mereka pun perlahan belajar mengomunikasikan perasaan mereka dengan cara-cara lain. Terkadang anak-anak dapat mengekspresikan perasaan mereka melalui perilaku yang tidak tepat dan menimbulkan masalah.
“Anak-anak kan memang biasanya belum memiliki ‘vocabulary’ untuk mengemukakan perasaan mereka.”
Inilah mengapa jika saat menjelang usia 2 tahun anak kerap kali tantrum. Di mana kondisi ini sebenarnya bentuk anak mengekspresikan perasaan dan keinginannya.
Akan tetapi, dr. Anggia Hapsari mengingatkan, pada semua usia, kuatnya emosi positif merupakan dasar untuk penyesuaian yang baik. Bayi yang mengalami lebih banyak emosi senang meletakkan dasar-dasar untuk penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang baik, juga untuk pola-pola perilaku yang akan menimbulkan kebahagiaan.
Bentuk Manajemen Emosi yang Baik, Ini Langkah yang Perlu Parents Perhatikan
Lebih lanjut dr. Anggia Hapsari menjelaskan ada beberapa tahapan emosi yang perlu Parents pahami sebagai bekal anak memiliki manajemen emosi yang baik.
- Bayi, merupakan fase di mana anak memiliki ketergantungan yang besar kepada orangtuanya. Di mana anak baru belajar mengenali lingkungan dan mengenali orangtuanya.
- Saat anak sudah memasuki usia 7-8 bulan, anak sudah mulai mengenali orangtuanya. Sang ibu yang selalu memberikankan ASI ataupun MPASI saat dirinya haus. Begitu juga sang ayah, yang membantu ibu mengantikan popok.
- Setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kira-kira usia 2-6 tahun, anak-anak prasekolah sudah dapat merasakan cinta dan mempunyai kemampuan untuk menjadi anak yang penuh kasih sayang, dapat merasakan anak lain yang sedang sedih, dan mulai merasa bersimpati, ingin menolong. Anak prasekolah baru dapat mengekspresikan satu emosi pada satu waktu, dan belum dapat memadukan emosi atau perasaan dari hal-hal yang membingungkan.
- Saat anak usia sekolah (6-12 tahun), kemampuan kognitif mereka mulai berkembang sehingga kemampuan untuk dapat mengekspresikan emosinya lebih bervariasi dan terkadang dapat mengekspresikan secara bersamaan dua bentuk emosi yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Anak mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi sebagaimana juga mereka menguasai keterampilan regulasi perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial.
- Ketika anak berusia 12 tahun ke atas, mereka sudah mampu menganalisis dan mengevaluasi cara mereka merasakan atau memikirkan sesuatu. Begitu juga terhadap orang lain, anak yang hampir memasuki masa remaja ini, sudah dapat merasakan bentuk empati yang lebih dalam. Perbedaan dalam perkembangan emosi membutuhkan perhatian khusus agar anak memiliki kemampuan meregulasi emosi mereka dengan tepat.
Lima tahapan inilah yang sebenarnya perlu dipahami oleh orangtua, mendampingi dan membantu anak agar bisa memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik hingga pada akhirnya manajemen emosinya pun bisa terbentuk dengan baik.
Latih Anak Meregulasi Emosi hingga Memililiki Manajemen Emosi yang Baik
Memiliki anak dengan manajemen emosi yang baik tentu saja memerlukan tahapan dan waktu yang tidak sebentar. Perlu dikenalkan dan dilatih sejak dini. Mengingat anak membutuhkan contoh yang konkret, sehingga ia bisa ‘bercermin’ setiap saat, maka orangtua merupakan guru terbaik bagi anak untuk melatih emosi anak.
Berikut ini beberapa langkah untuk membantu anak memiliki regulasi emosi:
- Be a role model.
- Kenali emosi/perasaan diri (name the feeling). Seperti apa rasanya marah, sedih, senang ataupun kecewa.
- Latih anak untk bisa mengenali emosi atau perasaan orang lain dengan begitu anak pun bisa belajar empati.
- Hadir dan dengarkan perasaan anak. Validasi perasaannya, dan jangan pernah abai dengan apa yang sedang ia rasakan.
- Menanggapi dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan anak.
- Tidak bereaksi negatif saat anak rewel atau marah.
- Senang bermain dengan anak dan tertarik dengan aktivitas anak. Ikut terlibat secara penuh, bukan sekadar fisik di samping anak.
- Ajarkan teknik-teknik relaksasi (emotional toolbox).
Namun demikian, terkadang anak-anak dapat mengalami emosi yang negatif, yang terkadang menjadi ledakan emosi. Sebenarnya hal ini dianggap wajar.
Ledakan emosi pada anak harus diwaspadai apabila:
- Tantrum dan ledakan (outbursts) terjadi pada tahapan usia perkembangan di mana seharusnya sudah tidak terjadi, yaitu di atas usia 7-8 tahun.
- Perilaku anak sudah membahayakan dirinya atau orang lain.
- Perilaku anak menimbulkan masalah serius di sekolah, misalnya tidak mau mengikuti pelajaran atau nilai-nilai yang diperoleh anak kerap mengalami kemunduran.
- Perilaku anak memengaruhi kemampuannya bersosialisasi dengan teman, sehingga anak “dikucilkan” oleh teman-temannya.
- Tantrum dan perilaku anak telah membuat distress atau kesulitan dalam keseharian keluarga.
- Saat anak merasa tidak mampu mengendalikan emosi marahnya dan merasa dirinya “buruk”.
dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ (K) mengingatkan bahwa kepercayaan terhadap orangtua dan model figur yang mereka amati dalam keluarga berperan dalam membentuk kepercayaan diri anak. Hal ini dapat membantu anak untuk meregulasi emosinya dan mendorongnya menjadi mandiri, serta berani mengambil risiko.
Dengan begitu majemen emosi anak bisa terbetuk dengan baik. Apabila si kecil memiliki karakter ini, maka diharapkan anak dapat berperilaku tepat dalam lingkungan sosialnya dan terhindar dari masalah penyesuaian diri dalam hidupnya.
Baca Juga:
Bukan Berteriak! Ini Cara Marah yang Sehat pada Anak Tanpa Menimbulkan Trauma
Bingung menghadapi anak marah? Ini 9 saran dari psikolog untuk Parents!
Waspada! Bumil gampang marah bisa berdampak buruk pada janin
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.