Buka-bukaan, yuk, Parents, biasanya apa yang Anda lakukan saat sedang merasa kesal pada anak? Seiring tumbuh kembang si kecil ada saja ya tingkah polahnya yang bikin mengurut dada; entah mainan berantakan, susah makan, dan sederet perilaku ajaib lainnya. Kalau sudah begini, seperti apa ya cara marah sama anak yang sehat dan tidak menimbulkan trauma ke depannya?
Cara Marah Sama Anak yang Sehat, Seperti Apa?
Jumat lalu (19 Juni 2020) saya mengikuti Facebook Live theAsianparent ID dengan tema yang sangat menarik. Bersama Esta Gracia, seorang konsultan Relasi Keluarga dan Parenting, tema yang dipilih, “Marah pada Anak Tanpa Bikin Trauma”. Judul yang cukup singkat, namun barangkali sulit dilakukan orangtua kebanyakan. Apalagi kalau kadar marah sudah naik ke ubun-ubun. Rasanya sudah lupa dengan istilah sabar.
Setuju Parents?
Selama 1 jam, Esta banyak menjawab keingintahuan orangtua milenial perihal serba serbi emosi. Khususnya rasa marah, apa dampak yang akan dialami jika orangtua meluapkan kemarahannya pada sang buah hati. Dan yang tak kalah penting, adalah tips bagaimana metode marah yang tepat agar tidak meninggalkan luka di hati anak.
Mengapa ibu mudah marah?
Dibandingkan dengan ibu, seorang ayah kerap lebih santai dan mengungkapkan rasa marahnya. Termasuk saat berkomunikasi, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan perilaku anak. Sedangkan seorang ibu atau Bunda, mungkin cenderung ekspresif dan meluap-luap dalam mengekspresikan emosi yang bergumul dalam dada.
Rupanya, kondosi ini memang disebabkan oleh beragam faktor. Apa saja?
Pertama, kepribadian ibu.
Kepribadian di sini bisa diartikan bahwa bisa saja sang ibu memiliki karakter pemarah, yang disebebkan karena adanya stres di masa lalu jauh sebelum ia menyandang status sebagai ibu. Persoalan yang ‘tidak selesai’ ini kemudian bisa kembali berulang.
Dikenal dengan fenomena Trans Generation Expression, anak cenderung belajar dari orangtuanya dahulu akan beragam hal termasuk bagaimana cara mengekspresikan dan mengelola emosi.
“Cara orangtua melampiaskan amarah ia tiru dari orangtuanya dahulu dan dibawa ke generasi masa kini yaitu anaknya. Untuk itu, penting membereskan dahulu bagasi masa lalu supaya bisa memutus mata rantai seperti ini,” ujar Esta.
Kedua, temperamen anak
Selain dari sisi ibu, si kecil sejatinya sudah memiliki temper sejak bayi. Secara umum, Esta membagi ke dalam tiga tipe dasar temperamen pada anak antara lain:
- Easy Child; yakni anak yang memilki suasana hati positif. Ia cenderung mudah beradaptasi dan fleksibel dengan lingkungan yang baru. Ia juga mampu menunjukkan apa yang dirasakan dengan baik
- Difficult Child; yaitu tipe anak yang kerap bereaksi negatif terhadap suatu hal. Anak yang memiliki temperamen seperti ini terbilang kaku menerima perubahan dan amarahnya kerap meledak jika suasana hatinya sedang tidak baik. Tak jarang, anak akan menangis jika pada saatnya menghadapi situasi yang baru
- Slow to warm up child; Memiliki tingkat aktivitas yang rendah serta suasana hati yang negatif. Tipe temperamen satu ini cenderung berada di tengah-tengah, pada satu sisi bisa saja rewel namun tidak sulit ditenangkan saat menghadapi keadaan yang baru
Ketiga, peran ganda yang dijalani perempuan
Era modern membuat status ganda yang dijalani seorang perempuan menjadi sangat lumrah dilakukan. Tak hanya sebagai ibu, perempuan juga menjalani peran sebagai istri, anak dari orangtua, sekaligus berkarier untuk mengekspresikan dan aktualitas diri.
Jika tak disikapi dengan bijak, menjalankan beragam posisi ini nyatanya bisa menimbulkan stressor dalam lingkup kehidupannya.
Salah duanya yakni biologis, mengingat saat menjadi ibu kurang tidur pastinya menjadi sahabat sehari-hari karena kesibukan mengurus buah hati. Rasa penat dan jenuh tak pelak akan dirasakan karena rutinitas harian yang tak banyak berubah, utamanya ibu rumah tangga yang memerlukan fokus tinggi pada urusan rumah tangga.
“Satu faktor yang juga tak kalah berperan yaitu lingkungan. Ibu pasti ingin mendapat dukungan entah itu dari pasangan, keluarga, atau teman. Tetapi saat respon yang didapat tidak sesuai; misalnya malah mendapat bullying semacam mom shaming dan baby shaming yang ada membuat ibu sensitif dan lebih mudah marah,” sambung Esta lagi.
Apa dampak marah bagi psikologis ibu dan anak?
Terdapat dua efek negatif saat orangtua marah pada anak, yakni dari segi ibu dan si kecil. Ini penjelasannya :
Ibu
- Timbul penyesalan saat amarah dan bentakan sudah terlontar, apalgi jika si anak menangis setelahnya karena orangtua sudah melewati batas
- Merasa putus asa dan ada rasa tidak mampu melakukan yang terbaik, biasanya ibu bisa melakukan affirmasi negatif pada dirinya sendiri
- Timbul frustasi, yang jika dibiarkan dapat berujung depresi dan melampiaskannya pada anak
Anak
- Tumbuh sebagai pribadi agresif dan abusif, utamanya bagi orangtua yang melampiaskan emosi secara verbal kedepannya anak mudah melakukan bullying dalam lingkup pergaulannya
- Rasa percaya diri rendah karena anak merasa tidak dicintai
- Merasa hampa saat waktunya menjalani relasi romantis
- Cenderung mudah cemas dan tidak mampu mengelola emosi yang sehat
- Mengalami masalah pada trust issue, mengingat ia merasa tidak memiliki tempat berlabuh untuk mengekspresikan emosi dan tempat berlindung
Bagaimana cara marah sama anak yang sehat?
1. Lakukan 3P
Metode 3P dianjurkan Esta saat Anda sebagai orangtua merasa amarah memuncak sudah ada di ujung lidah. Step yang perlu dilakukan antara lain:
- Pause; coba berhenti dan amati diri sendiri serta tindakan anak yang membuat kesal
- Process yakni sadari apa yang dirasakan tubuh misalnya keringat dingin atau jantung berdebar lebih cepat. Lakukan mindfull yaitu sadar penuh saat menyadari merasa marah
- Proceed; yaitu lakukan apa yang akan direaksikan pada anak selanjutnya: marah dengan cara berteriak atau memilih teknik responsif 3P ini
2. Metode SWITCH
Berikutnya ada metode SWITCH yang bisa dilakukan ketika situasi sudah tenang dan terkendali, serta anak dalam kondisi kenyang. Ini yang bisa dilakukan:
- Stop; berhenti sejenak lalu posisikan diri sejajar dengan anak. Lakukan kontak mata penuh kasih dan ketegasan
- Wait; tunggu hingga anak membalas kontak mata dan tahu orangtuanya akan berbicara
- Instruction; waktunya memberikan instruksi singkat, padat, dan jelas apa yang Anda ingin anak lakukan. Misalnya: “Bunda mau kamu bereskan mainan ini ya”. Lakukan cukup sekali saja
- Time to ask; tanya lagi kepada anak instruksi yang telah diberikan untuk memastikan anak memerhatikan, misalnya dengan “Kak, tadi Bunda bilang apa ya? Coba ulangi deh”
- Checking; kembali berdiri dengan tetap melihat seperti apa respon anak
- Honor menjadi satu hal yang krusial untuk kepercayaan diri anak namun kerap dianggap sepele yaitu menghormati dan menghargai kehadiran serta perasaan anak
“Orangtua suka alpa memuji, padahal penting memuji tetapi berikan secara detail dan tonjolkan satu nilai yang ingin diterapkan. Misalnya: wah adik sudah mandiri ya bisa bertanggung jawab membereskan mainan sendiri,” pungkas Esta.
Tak lupa, Esta pun menganjurkan agar orangtua bersedia minta maaf jika habis memarahi anak. Lakukan dengan tegas sekali saja, karena lebih efektif dan meyakinkan dibanding minta maaf berulang kali.
Bagaimana Parents, sudahkan melakukan cara marah sama anak seperti di atas?
Baca juga :
Jenis Temperamen Anak dan Cara Menghadapinya, Tidak Selalu Tentang Emosi
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.