Apa yang ada di benak Parents ketika mendengar “malam satu suro”?
Mungkin sebagian dari Parents akan berpikir tentang hal-hal yang bersifat mistis atau keramat.
Ya, di Indonesia malam tersebut memang dianggap sakral dan keramat oleh masyarakat Jawa.
Tak heran, banyak film horor di Indonesia yang mengangkat fenomena tersebut.
Film yang paling ikonik mungkin film Malam Satu Suro garapan Sisworo Gautama Putra.
Film yang rilis tahun 1988 ini diperankan sangat apik oleh Suzanna, Fendy Pradana, dan aktris kenamaan lainnya.
Selain itu, pada tahun 2019 lalu, ada film yang berjudul Satu Suro. Film garapan Anggi Umbara ini dimainkan oleh Citra Kirana dan Nino Fernandez.
Lalu, ada apa sebenarnya dengan malam satu suro? Mengapa selalu dikaitkan dengan hal-hal mistis?
Artikel terkait: Sejarah dan Ragam Tenun Ikat Nusantara yang Indah Memikat
Arti Malam Satu Suro bagi Masyarakat Jawa
Selama ini, malam satu suro memang menjadi malam yang sakral bagi masyarakat Jawa.
Melansir dari buku Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa karangan Muhammad Solikhin, sakralitas malam satu suro tidak bisa dilepaskan dari tradisi keraton.
Pada malam itu, zaman dulu keraton memang sering melakukan upacara dan ritual tertentu yang diwariskan secara turun-temurun.
Selain itu, ada pula yang menyebut bahwa malam satu suro sebagai salah satu malam yang suci.
Masyarakat Islam Jawa menganggap bahwa malam tersebut sebagai waktu yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Ada berbagai cara yang bisa dilakukan, seperti membersihkan diri atau melawan nafsu duniawi.
Oleh karena itu, banyak masyarakat Islam Jawa yang menjalani laku tirakat.
Tujuannya adalah untuk mawas diri dan introspeksi diri.
Mereka merenung tentang segala hal yang pernah ia lakukan selama satu tahun terakhir.
Di samping itu, ada beberapa laku yang dilakukan secara kolektif. Salah satunya adalah kirab.
Keraton Surakarta biasanya mengadakan kirab yang memboyong dan mengarak kebo bule di lingkungan keraton.
Artikel terkait: Dikenal Penuh Mistis, Ini Sejarah dan Makna Tari Kuda Lumping
Sejarah Malam Satu Suro
Seperti disebutkan sebelumnya, tradisi dan ritual malam satu suro tidak bisa dilepaskan dari peran keraton.
Saat pemerintahan Sultan Agung, masyarakat umum mengikuti sistem penanggalan tahun saka.
Sistem penanggalan ini merupakan sistem yang diperkenalkan oleh tradisi agama Hindu.
Sementara saat itu, Kesultanan Mataram Islam menggunakan sistem kalender Hijriah yang berkiblat pada tradisi agama Islam.
Sultan Agung pun berinisiatif untuk memadukan kedua sistem kalender tersebut menjadi kalender Jawa. Tujuannya adalah untuk memperluas pemeluk agama Islam.
Penyatuan ini dilakukan sejak Jumat Legi, Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi.
Hari itu ditetapkan sebagai satu suro, yakni hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, tepat 1 Muharram dalam kalender Hijriyah.
Mengutip buku Muhammad Solikhin, kata “suro” berasal dari “asyura” yang berarti “sepuluh” dalam bahasa Arab.
Maksudnya, kata sepuluh merujuk pada 10 Muharam, tepat saat wafatnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad di Irak.
Dari sinilah pola peringatan tahun Hijriyah atau tahun baru Islam dilaksanakan secara resmi oleh negara dan diikuti oleh masyarakat Jawa.
Berbagai ritual dan tradisi pun dilakukan untuk merayakan malam tersebut.
Setiap tahun, masyarakat Jawa memperingatinya sejak badiyah Magrib karena dalam sistem penanggalan Jawa, pergantian hari dimulai saat matahari tenggelam, bukan tengah malam seperti kalender Masehi.
Artikel terkait: 5 Fakta Menarik Debus, Seni Bela Diri dari Banten yang Berbau Mistis
Keistimewaan
Seperti disebutkan sebelumnya, malam tersebut merupakan waktu terbaik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tak ayal, berbagai laku pun dijalani dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa laku tersebut antara lain:
- tirakatan, yakni menyendiri sembari melantunkan wirid,
- lek-lekan, yakni mengurangi tidur sepanjang malam, serta
- tugurani, yakni merenung sembari berdoa kepada Tuhan.
Selain itu, dalam lingkup keraton biasa juga diadakan tapa bisu, yakni ritual kirab mengelilingi area keraton dengan diam, tanpa bicara sama sekali.
Semua itu dilakukan sebagai wujud menahan nafsu dan juga introspeksi diri.
Namun, ada pula yang merayakannya dengan tradisi lain, seperti larung sesaji, yang dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan.
***
Nah, itulah beberapa hal yang berkaitan dengan malam satu suro.
Dalam masyarakat Jawa, malam satu suro memang menjadi malam sakral dan suci karena menjadi malam ketika hubungan transendental dengan Tuhan begitu terasa.
Baca juga:
Anaknya Demam Tinggi, Celine Evangelista Sempat Menduga Ada Gangguan Mistis
Penjelasan Psikiater Tentang Kesurupan dari Sisi Medis, Tak Selalu Berbau Mistis!
Anak Berjalan dalam Tidur Tidak Terkait Hal Mistis
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.