Kesenian merupakan satu aspek yang erat kaitannya dengan masyarakat. Keanekaragaman yang kaya di Indonesia membuat setiap daerah di negeri ini memiliki ciri khas budayanya sendiri, tak terkecuali teater rakyat Betawi yang disebut Lenong.
Sejarah
Lenong merupakan salah satu teater tradisional dari Jakarta, tepatnya sandiwara rakyat Betawi menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek betawi. Bermula dari wayang Abdul Muluk yang dijumpai di Riau dan Sumatra Utara pada 1886.
Tontonan tersebut muncul dari rangsangan komedi parsi yang sedang populer di Malaysia dan pengaruh wayang Tiongkok yang saat itu dimainkan di Surabaya, Betawi, dan pesisir timur Sumatera.
Pertunjukan Wayang Abdul Muluk ini lalu dijumpai di Jakarta pada 1914. Merujuk laman Good News From Indonesia, seorang budayawan Betawi Syaiful Amri menuturkan kata lenong berawal dari teater yang bernama Pekyu dari Jawa Timur yang diadakan pada 1920-an.
Keberhasilan teater tersebut tak lepas dari hasil meminjam alias berutang. Berkat kesuksesannya, teater itu akhirnya ditiru oleh seorang Tiongkok bernama Lian Ong. Orang ini membuat sandiwara dengan memadukan pantun dan tari. Lama kelamaan terkenal dengan sandiwara Lian Ong yang berubah menjadi lenong.
Sejak tahun 1930, cerita lenong memperkenalkan lakon jagoan cerita rakyat daerah Jakarta yang dipelopori grup lenong “Si Ronda” dan “Curug”. (Bandem dan Sal Murgiyanto, 1996).
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut merupakan adaptasi masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti komedi bangsawan dan teater stambul yang sudah ada saat itu.
Artikel terkait: Kenali Lebih Dekat Rumah Adat Sumatera Utara, Warisan Budaya yang Mendunia
Ciri Khas Lenong
Mulanya, teater tradisional nan unik ini diiringi alat musik tradisional Betawi seperti gambang kromong, drum, gong, dan kecrekan. Bahasa yang digunakan adalah melayu dialek Betawi.
Namun, berkembangnya zaman mengombinasikan bahasa Indonesia berdialek Betawi. Kini iringan musik gambang kromong semakin diramaikan dengan gendang, kempor, suling, dan kecrekan serta alat musik penuh unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyan, dan sukong.
Ketika baru berjaya, lenong dipertunjukkan dengan cara mengamen dari kampung ke kampung di udara terbuka tanpa panggung. Saat sandiwara berlangsung, salah seorang pemain akan mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela.
Selanjutnya, barulah acara teater tradisional ini mulai diadakan di panggung hajatan semisal resepsi pernikahan. Memasuki awal Indonesia merdeka, lenong menjelma menjadi tontonan panggung.
Berbeda dengan teater jenis lain, lenong tidak menggunakan naskah atau plot lho. Jadi, jangan heran bila acara ini sering dimainkan semalaman suntuk. Adapun jumlah pemainnya tidak terbatas, tergantung kebutuhan ceritanya. Umumnya, setiap pertunjukkan biasanya bisa sampai melibatkan lebih dari 10 pemain.
Keunikan Panggung Teater Lenong
Dalam praktiknya, lenong memiliki ciri khas nan unik yaitu panggung berbentuk tapal kuda. Panggung ini ditata sedemikian rupa dengan dekorasi yang disebut seben.
Seben terdiri dari beberapa layer selebar 3×5 meter yang menyajikan berbagai macam corak.
Artikel terkait: 5 Fakta dan Sejarah Baju Cheongsam, Warisan Budaya China yang Mendunia
Sumber: Good News From Indonesia
Pemain Lenong disebut panjak untuk pemain laki-laki dan ronggeng untuk pemain perempuan. Dikarenakan berasal dari Betawi, penonton akan digelitik oleh logat asli Betawi yang identik dengan ucapan kata terakhir berimbuhan e.
Sebut saja kenape, ape, atau sering diucapkan nape atau ngapa, siape yang juga lebih sering diucapkan sape, aje, dan lain sebagainya.
Oh ya, Parents jangan membayangkan pertunjukkan ini bakalan kaku ya. Saat sedang bersandiwara, para pemain aktif berinteraksi dengan penonton. Pemain tak sungkan bercanda demi mencairkan suasana. Tujuannya jelas, yaitu agar suasana meriah dan pesan moral tersampaikan kepada penonton.
Jenis Lenong
Sebagai informasi, lenong terbagi menjadi dua jenis yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman dengan perbedaan dan ciri khasnya masing-masing.
Lenong Denes diperuntukkan untuk kalangan menengah ke atas dan genre ini biasanya bercerita mengenai kisah bangsawan atau kerajaan, hikayat lama yang berlangsung di istana dengan tokoh raja, putri, dan jin-jin.
Karena itulah, pakaian yang dikenakan para pemain rapi dan bahasa melayu diucapkan dengan intonasi halus. Selain itu, jenis ini biasanya dimainkan di gedung pertunjukan yang mumpuni.
Berbeda dengan Lenong Preman, genre ini ditujukan untuk kelas menengah ke bawah yang ingin menikmati hiburan. Sesuai namanya, genre lenong ini tergolong santai dan menggunakan pakaian sehari-hari masyarakat Betawi. Para pemain menggunakan bahasa Betawi pinggiran dan membawakannya dari kampung ke kampung.
Artikel terkait: Indahnya Alat Musik Gambus Khas Riau, Akulturasi Budaya Indonesia dan Timur Tengah
Humor Sebagai Kritik Sosial
Sumber: laman Situ Babakan Betawi
Layaknya sebuah acara, Lenong khas Betawi juga memiliki susunan acara tersendiri. Sebelum sandiwara dimulai, dilakukan upacara khusus yang disebut ungkup berisikan pembacaan doa dan sesaji.
Setelah itu, dilakukan upacara sambutan yaitu sepik yang merupakan penjelasan lakon yang akan dipentaskan. Upacara sambutan ini diawali dengan nyanyian tradisional lagu persi untuk memperkenalkan perkumpulan lenong beserta personil yang akan pentas.
Tak lupa, para pemain juga memberikan ungkapan terima kasih kepada tuan rumah yang mengundang mereka. Barulah acara memasuki inti sandiwara yang dimainkan babak demi babak disisipi hal-hal yang bersifat humor dan diiringi musik.
Lawakan dan musik ini penanda pentas resmi dimulai. Para pemain masuk ke arena pertunjukan dari sebelah kiri lalu keluar dari sebelah kanan, sementara penonton melihat hanya dari bagian depan.
Humor Sindiran pada Penjajah
Adapun humor merupakan ciri khas yang sebenarnya sarat makna mendalam. Konon, kala itu masyarakat Betawi merasa sangat tertekan dengan penerapan sistem tanah partikelir yang berlaku pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Keberadaan tanah partikelir berawal tahun 1620 saat VOC menghadiahkan tanah di pedalaman Jakarta kepada para abdi, sahabat, dan peran pendukungnya. Namun, pada 1942 Jepang masuk dan tanah itu masih saja dicengkeram saudagar Eropa dan Tiongkok. Hal ini membuat masyarakat Betawi berang.
Pemberontakan pun muncul dan tetap tidak mengubah kondisi menjadi lebih baik. Masyarakat mulai tertekan, sehingga mereka melampiaskannya dalam wujud humor atau sindiran terhadap kondisi ekonomi dan sosial politik yang ada.
Apakah Parents pernah menyaksikan pertunjukkan lenong? Semoga informasi ini semakin menumbuhkan kecintaan Anda terhadap budaya Nusantara.
Baca juga:
Mengenal Gambang Kromong, Seni Orkes Betawi yang Dipengaruhi Budaya Tionghoa
7 Fakta Pulau Samosir dan Danau Toba, Pesona Alam dan Budayanya yang Memukau!
Sejarah, Filosofi hingga Makna Gerakan Tari Kecak Khas Bali
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.