Emosi anak berlebihan sering membuat kita jengkel.
Parents, pernahkah mendengar istilah ‘Queen/ King of Drama’? Julukan ini biasa digunakan untuk menyebut seseorang yang senang melebih-lebihkan kejadian yang menimpanya. Bila ini terjadi pada anak kecil, maka biasanya emosi anak tersebut berlebihan saat ada kejadian tidak mengenakkan yang menimpanya.
Misalnya, ketika tangannya tergores, makanan kecilnya direbut adik yang masih bayi atau malah ketika teman mainnya pulang ke rumah. Perilaku emosi anak yang berlebih ini biasanya juga disertai dengan perilaku mengamuk (tantrum).
Faktor penyebab emosi anak yang berlebihan
Ada banyak hal yang menjadikan anak berperilaku demikian. Dan faktor pemicunya pun bisa dari diri anak sendiri atau malah dari lingkungan. Beberapa penyebab tersebut di antaranya adalah:
1. Emosi si Kecil yang belum stabil
Pada usia balita, perkembangan emosi si kecil belumlah optimal. Ia masih berada pada tahap autonomy vs ashamed di mana egosentrisnya masih dibilang cukup besar. Ia pun masih mencari cara yang tepat untuk menyalurkan atau mengungkapkan emosinya.
Jadi, ketika ia bersikap demkian, ia mencoba mencari tahu bagaimana reaksi orang-orang di sekitarnya.
2. Mencari perhatian
Bila sebagai orang tua kita terbiasa memberi reaksi berbeda saat si Kecil mengeluarkan emosi berlebih, maka di lain waktu saat ia hendak diperlakukan sama, ia pun akan mendramatisir ekspresi emosinya.
Terlebih ketika ia ingin diperhatikan, “senjata” emosi berlebihnya ini akan ia keluarkan. Karena ia tahu bahwa cara ini akan membuat semua orang kembali memperhatikannya.
3. Meniru lingkungannya
Balita adalah peniru ulung. Bisa jadi ketika melihat ayah atau ibunya bereaksi heboh terhadap hal-hal kecil yang terjadi, maka anak pun akan bereaksi yang sama.
Anak pun juga bisa belajar mendramatisir emosinya dari tontonan yang ia lihat. Karena itu pandai-pandailah memilihkan tontonan untuk anak.
Artikel terkait: Film yang Tidak baik untuk Anak
4. Orang tua yang overprotektif
Sikap orang tua yang terlalu melindungi anaknya dari rasa sakit atau situasi yang tidak nyaman, justru akan mengakibatkan batas toleransi emosi anak yang rendah. Akibatnya, ketika anak mengalami situasi di luar kendalinya ia akan merasa stres dan mengeluarkan emosi yang berlebih.
Coba kenali gejala Parents apakah overprotektif atau tidak dari artikel pada link berikut.
Apa yang harus dilakukan ketika si Kecil memiliki emosi berlebih
Emosi anak yang berlebih bahkan cenderung meledak-ledak tentu akan menghambat perkembangan emosi sosialnya kelak. Tentu kita tidak ingin ia tumbuh menjadi si Drama Queen/ King, bukan?
Dan berikut adalah beberapa hal yang bisa kita lakukan saat menghadapi si kecil yang meluapkan emosi berlebih.
1. Cari tahu apa penyebab emosi anak berlebihan
Sebagai orang tua kita tentu mengetahui apakah tangisan anak adalah manupulasi atau karena ia benar-benar merasa tak nyaman dan sakit. Bila ia menangis menjadi-jadi hanya karena goresan kecil maka tunjukkan sikap yang wajar.
Gunakan kata-kata yang tepat untuk menenangkannya. Misalkan, “Oh, kakak hanya kurang hati-hati sedikit, mari, Ibu bantu bersihkan lukanya.”
Beberapa anak kadang juga mudah tantrum atau mengamuk saat merasa mengantuk dan lelah. Untuk itu, perlu juga diamati apakah si Kecil mudah mengeluarkan emosi berlebihan di waktu-waktui tertentu. Jika ya, maka cobalah untuk selalu konsisten dengan jadwal si Kecil. Baca juga artikel terkait: Mengenalkan Waktu untuk Anak
2. Ajak anak bicara
Cobalah gunakan waktu santai atau beberapa menit sebelum tidur untuk ngobrol dengan anak. Bicarakan tentang aktivitasnya, perasaannya pada hari itu atau apa saja yang sudah dan belum si kecil lakukan.
Kita juga dapat menggunakan saat itu untuk mengoreksi perilaku negatif si Kecil. Jika belum terbiasa ngobrol dengan si Kecil, buku dongeng yang penuh pesan moral bisa sebagai alternatif untuk memberikan nasehat.
Biasakan pula untuk selalu mendengar pendapat si Kecil terkait dengan aktivitas dan keperluan pribadinya. Misalkan baju mana yang hendak dia pakai, jam berapa mandi, mainan mana yang ia pilih, dan lain sebagainya.
Selain mengajarinya untuk lebih mandiri dan disiplin, anak juga akan merasa lebih dihargai. Anak yang merasa dihargai akan lebih mudah mengembangkan emosi yang positif.
3. Bantu anak memahami emosinya
Ketika si kecil mulai mengungkapkan emosi berlebih, maka biarkan sejenak ia meluapkan seluruh peasaannya. Setelah itu cobalah ajak bicara dengan lembut apa yang membuat ia merasa tidak nyaman, atau apa yang ia rasakan.
Sebaiknya tahan diri untuk tidak memenuhi apa yang dia inginkan. Namun, giring anak untuk memahami emosinya.
Misalkan alih-alih menahan teman si Kecil pulang hanya agar si Kecil menghentikan tantrumnya, maka sebaiknya kita katakan “Ibu tahu kamu sedih temanmu pulang. Tidak perlu berguling begitu, besok kan masih bisa main lagi.”
Cara ini akan membantu anak untuk memahami emosinya dan bahwa ada cara lebih baik untuk mengungkapkan selain dengan mengamuk atau menangis.
Hindari reaksi seperti, “Oh, kasihan, teman-teman adik pulang, ya, mari sini kita main sendiri.” Cara seperti ini malah tidak akan menyelesaikan masalah. Anak akan bersikap berlebihan di lain waktu karena ia merasa keinginannya bisa selalu terpenuhi dengan cara meluapkan emosi berlebih.
4. Jelaskan bahwa perilakunya salah
Ketika sudah tenang, atau di waktu santai, koreksilah perilaku anak. Sampaikan baik-baik bahwa cara tersebut malah membuat ayah dan ibunya (atau orang lain di sekitarnya) tidak mengerti apa yang ia inginkan.
“Besok lagi, kalau tidak bisa ambil coklat di lemari, minta tolong ya. Jangan banting-banting mainan dan guling-guling. Ayah dan Ibu kan jadi bingung apa mau adik”.
5. Tahan diri untuk marah dan melabeli anak
Tidak semua anak mudah untuk ditenangkan. Seperti putri kecil saya yang jika sudah ngambek, tangisnya pun akan sangat lama.
Dulu saat belum memahami bagaimana seharusnya menenangkannya, biasanya kami, orang tuanya malah ikut-ikutan marah dan memaksanya untuk segera diam. Dan karena perilaku emosi anak yang berlebihan ini sering terjadi, maka kami melabelinya si Tukang Tantrum.
Kini ketika kami telah banyak belajar dan memperbaiki diri, kini kami mengerti bahwa cara terbaik adalah membiarkan ia sejenak meluapkan emosinya dan baru mengajaknya bicara.
Jadi, ketika teriakannya mulai reda, biasanya kami hanya mengatakan, “Adik nangis karena sedih ya, tante ngak mau lihat foto adik dan malah pulang? Oke, apa sekarang masih mau nangis? Nangisnya lima menit cukup ngak?”
Dengan cara ini ternyata lambat laun si Kecil malah jadi jarang menangis. Dan bila mengalami hal yang tak menyenangkan biasanya ia pun akan langsung menyampaikan.
Usia balita memang usia pembentukan karakter anak. Untuk itu wajib bagi kita untuk memberikan lebih banyak pengalaman emosi yang positif serta menjadi contoh yang lebih baik.
Memberikan pengalaman emosi yang buruk padanya hanya akan memupuk dan membuat si kecil semakin rapuh.
Parents, semoga ulasan di atas bermanfaat.
Baca juga artikel menarik lainnya:
Menghadapi Anak Tantrum
Mengatasi Anak Pemarah
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.