Untuk meringankan gejala pada anak dengan autisme, biasanya akan diberikan sejumlah terapi. Nah, salah satu terapi yang sedang ramai dibicarakan adalah diet GAPS. Seperti apa sih diet ini?
Berbicara tentang diet, mungkin masih banyak yang salah kaprah mengartikan diet hanya untuk mereka yang ingin ‘kurus’. Padahal, cakupan diet jauh lebih luas.
Pada intinya, diet adalah pengaturan pola makan yang dilakukan untuk berbagai tujuan, baik untuk menunjang penampilan hingga mengatasi penyakit tertentu. Kali ini theAsianparent akan mengulas suatu diet yang sedang populer. Namanya dìet GAPS.
Apa Itu Diet GAPS dan Bagaimana Cara Kerjanya?
Diet GAPS adalah diet ketat yang mengharuskan untuk menghentikan konsumsi makanan tertentu. Di antaranya biji-bijian seperti gandum, susu pasteurisasi, sayuran bertepung (seperti kentang, jagung, kacang-kacangan), hingga karbohidrat olahan. Diet ini dipromosikan sebagai pengobatan alami untuk orang-orang dengan kondisi yang mempengaruhi otak, seperti autisme.
GAPS sendiri adalah singkatan dari Gut and Psychology Syndrome. Ini adalah istilah yang ditemukan oleh Dr. Natasha Campbell-McBride, yang juga merancang diet GAPS.
Diet ini didasarkan pada teori bahwa sindrom usus bocor akan mempengaruhi kondisi otak seseorang. Teorinya adalah bahwa usus yang bocor menyebabkan banyak kondisi yang mempengaruhi kesehatan mental dan otak.
Sindrom usus bocor adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan peningkatan permeabilitas dinding usus. Akibatnya, bahan kimia dan bakteri dari makanan dan lingkungan dapat masuk ke aliran darah.
Menurut teori tersebut, begitu zat asing ini memasuki darah, fungsi dan perkembangan otak terganggu dan menyebabkan kondisi seperti autisme.
Protokol GAPS dirancang untuk menyembuhkan usus bocor. Meski sejauh ini, masih tidak jelas bagaimana usus bocor berperan dalam perkembangan penyakit.
Artikel terkait: Benarkah makanan organik bisa mencegah anak autis? Ini penjelasannya
Siapa saja yang Dianjurkan Menjalankan Diet?
Dr. Campbell-McBride kini secara luas mempromosikan diet ini sebagai obat alami untuk banyak kondisi kejiwaan dan neurologis, di antaranya:
- Autisme
- ADD dan ADH
- Dyspraxia
- Disleksia
- Depresi
- Skizofrenia
- Sindrom Tourette
- Bipolar
- Gangguan obsesif-kompulsif (OCD)
- Gangguan makan
- Encok
- Anak sering ‘ngompol’
Artikel terkait: Perlukah anak autis mengonsumsi makanan khusus? Ini jawabannya!
3 Fase yang Harus Dilalui dalam Diet GAPS
Protokol GAPS terdiri dari tiga tahap utama:
- Fase pengenalan diet GAPS
- Fase lengkap
- Pengenalan kembali
Fase pengenalan adalah bagian paling intens dari diet karena menghilangkan sebagian besar makanan. Ini disebut “fase penyembuhan usus” dan dapat berlangsung dari tiga minggu hingga satu tahun, tergantung pada gejala.
- Dalam fase pengenalan, dianjurkan konsumsi kaldu tulang, lalu kuning telur mentah organik, hingga lebih banyak konsumsi buah dan sayur mentah.
- Selanjutnya, fase lengkap diet GAPS dianggap sebagai fase pemeliharaan diet dan berlangsung antara 1,5 hingga 2 tahun. Pada fase ini seseorang dianjurkan mengonsumsi lemak hewani, daging, ikan, telur, sayuran, dan makanan probiotik.
- Terakhir, fase pengenalan kembali. Tahap ini memperkenalkan kembali makanan yang tidak termasuk dalam diet GAPS lengkap. Namun Anda disarankan untuk tetap menghindari makanan tinggi karbohidrat olahan serta makanan bergluten.
Selain itu, dalam diet GAPS dianjurkan menyertakan beberapa suplemen, yaitu suplemen probiotik, asam lemak esensial, enzim pencernaan, dan minyak hati ikan kod.
Kontroversi Seputar Diet GAPS
Hingga saat ini, belum ada penelitian yang meneliti efek dari diet GAPS pada gejala dan perilaku yang terkait dengan autisme. Karenanya, sulit menilai apakah diet ini merupakan pengobatan yang efektif.
Di sisi lain, sejumlah diet yang telah diuji pada orang dengan autisme, seperti diet ketogenik dan diet bebas gluten, bebas kasein, telah menunjukkan potensi untuk membantu memperbaiki beberapa perilaku yang terkait dengan autisme.
Diet GAPS sendiri banyak dikritisi ahli kesehatan. Risiko paling nyata dari menjalani diet ketat satu ini adalah malnutrisi. Ini terutama berlaku untuk anak-anak yang sedang tumbuh dengan cepat dan membutuhkan zat gizi lengkap.
Beberapa ahli bahkan menyatakan, konsumsi kaldu tulang dalam jumlah besar dapat meningkatkan asupan timbal dan bisa menimbulkan efek keracunan.
Pada akhirnya, para ahli tidak merekomendasikan diet GAPS. Selain karena aturannya sangat ketat dan sulit dipatuhi dalam jangka waktu yang lama, beberapa risiko kesehatan berbahaya dapat mengintai. Apalagi diet ini tidak didukung bukti ilmiah yang memadai.
Jika Parents tertarik untuk mencobanya, bicarakan terlebih dulu dengan penyedia layanan kesehatan yang dapat memastikan kebutuhan gizi Anda.
Semoga informasi ini bermanfaat, ya!
Baca juga:
Anak autis cenderung lebih pintar, penelitian ini membuktikannya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.