Mungkin, sama dengan para orang tua lainnya, salah satu peran ibu dampingi anak di masa pandemi adalah mendampinginya saat belajar.
Suatu hari, saat menemani si kecil belajar terjadi percakapan seperti di bawah ini.
“Hate itu apa bang?” saya bertanya saat mendampingi anak yang sedang belajar Bahasa Inggris.
“Topi,” jawabnya dengan begitu percaya diri.
“Bukan bang, kalau topi itu Hat, tapi kalau Hate itu benci,” tukas saya mencoba membenarkan dengan sabar.
“Benci itu apa, Ma?” jawab si anak umur 6 tahun sambil balik bertanya.
Peran Ibu Dampingi Anak di Masa Pandemi
Pertanyaan ini pun akhirnya mengingatkan saya pada suatu hal hingga berpikir, ‘Oh iya, ya… nih anak masih belum banyak kosa kata di memorinya, apalagi yang terkait dengan negatif.”
Sebagai ibu, jelas saja saya berusaha membangun situasi yang positif dan kondusif di dalam keluarga terutama pada anak-anak. Jujur, ketika itu saya sempat bingung juga mau jawab apa.
Saat kejadian, akhirnya hanya bisa diam dan bilang ke anak, “Nanti suatu saat dijelaskan, ya.”
Terus terang saja, saya cuma khawatir salah menjelaskan saja, yang pada akhirnya nanti hanya menambahkan pengetahuan kata negatif ke anak. Saya sadar keterbatasan dalam transfer ilmu pelajaran karena sama sekali tidak punya bekal formal. Cuma dari improvisasi karena kebetulan berstatus sebagai orang tua saja.
Tapi, cukup sebal juga, bertanya-tanya, ini kenapa ada di buku pelajaran sih kosa kata negatif seperti ini? Bukankah saat anak masih di periode golden age lebih baik menanamkan yang positif-positif saja? Termasuk mengenalkan dalam kosa kata?
Tapi malah kenapa buku pelajaran juga menyumbangkan yang kata hate seperti ini? Saya jadi menduga, mungkin selain kata benci masih ada kata lainnya pikir saya sambil mencoba untuk mencari tahu.
Akhirnya saya pun memutuskan untuk bertanya ke teman-teman lewat Facebook. Apa yang harus dilakukan bila anak bertanya kata-kata negatif seperti ini?
Mungkin, sama seperti orang tua lain, saya sebenarnya berusaha untuk membangun kosa kata positif saja ke anak, supaya terbiasa dalam kehidupan aura yang damai sejahtera.
Rupanya itu salah saudara – saudara. Beberapa kawan yang latar belakangnya guru atau berilmu Pendidikan saat kuliah justru memberikan penjelasan panjang kali lebar di mana banyak cara menjelaskan kata negatif ke anak, misalnya benci itu sama seperti tidak suka.
Contohnya, “Saya tidak suka makanan pedas,” ini sama seperti membenci makanan pedas jadi tidak mau makan yang pedas-pedas. Kalau tidak diajarkan sekarang mana yang positif dan mana yang negatif, justru nantinya anak tidak ada bekal untuk membentengi dirinya karena belum paham bagaimana memilah kata baru dan pengaplikasiannya.
Orang Tua Juga Ikut Belajar
Kadang, sebagai orang tua memang sudah berpikir terlalu jauh, ya. Saya kadang lupa, konsep berpikir anak tentu jauh berbeda dengan kita, para orang tua. Itulah mengapa, tidak sedikit yang akhirnya malah jadi serba khawatir.
Wah, dapat pencerahan baru dalam pola pengasuhan anak. Teringat di situasi pandemi ini, saat kita dampingi anak di masa pandemi. Nyatanya memang jadi proses pembelajaran yang penting. Bagi orang tua dan anak-anak.
Di mana anak-anak masih sebagian besar sekolah di rumah, dan hanya ada orang tua yang mendampingi saat anak sekolah atau bahkan hanya pengasuh saja apabila orang tua si anak bekerja.
Bagaimanalah perkembangan anak-anak kalau masih harus sekolah di rumah dan terus didampingi orang dewasa yang tidak punya kapasitas dalam mengajar? Belum lagi perkembangan emosi dan empati, dan juga langkanya interaksi nyata dengan teman sebaya.
Ah, sungguh kasihan.
Tidak cuma ke anak yang tidak menerima transfer ilmu yang layak, tapi juga ke orang tua yang sudah bekerja mati-matian demi memberikan pendidikan yang mumpuni, tapi ujung–ujungnya bukan yang berkompeten yang mengajar. Misalnya, nih, anak malah hanya belajar dan didampingi pengasuh saja, atau siapa pun yang pada saat itu sedang di rumah.
Mungkin masih sedikit beruntung apabila orang tua yang bekerja di rumah yang mendampingi. Tapi jangan salah, justru sepertinya lebih kasihan kalau si anak didampingi orang tua yang di satu sisi berjuang untuk menyediakan segala perbekalan, tapi harus menyiapkan sisi lain kapasitasnya untuk mengajar. Yang ada anak sepertinya lebih stress karena orang tua lebih banyak emosinya daripada sabarnya.
Hahaha… ayo ngaku, siapa yang sering merasakan situasi seperti ini?
Bersyukur dari pemerintah sudah mulai menggalakkan untuk PTM (Pembelajaran Tatap Muka) dengan protokol kesehatan yang ketat tentunya. Pencapaian target vaksin yang sungguh pesat, penurunan angka penderita COVID-19 yang juga sudah terjun bebas.
Poinnya, peran ibu dampingi anak di masa pandemi agar anak anak bisa “survive” di segala situasi dan kondisi. Apalagi saat pandemi. Untunglah… zaman pandemi Corona terjadinya saat ini (mengacu ke kebiasaan orang Indonesia asli yang selalu bersyukur di segala situasi) saat di mana teknologi sudah semakin canggih, apa-apa digitalisasi, bisa manfaatkan media sosial buat tanya–tanya.
Informasi apa pun juga mudah didapatkan lewat mbah Google juga selalu “standby” untuk diobservasi, ada juga Youtube juga yang bisa membantu. Bahkan bisa sharing dengan orang tua lainnya lewat berbagai komunitas yang sudah mudah diakses untuk menambah wacana.
Memang di balik beragam tantangan yang ada, menjadi orang tua masa kini juga lebih dimudahkan dengan perkembangan teknologi. Termasuk peran ibu dampingi anak di masa pandemi. Jangan lupa perluas jaringan ya dan jangan pasrah dengan hanya mengandalkan pikiran semata. Bukalah mata dan lihat dunia, lalu bagikan ke calon generasi penerus bangsa.
Baca Juga:
4 Alasan Para Bunda Menyukai Drakor Romcom dengan "Happy Ending"
Ternyata Simpel! Cara untuk Bahagia di 3 Latar Kehidupan Manusia
Pentingnya Peran Saudara Kandung Terhadap Perkembangan Anak Autis
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.