Sekitar medio Maret 2021, World Happiness Report merilis laporan urutan 149 negara terbahagia. Finlandia masih bertengger di nomor wahid negara yang paling bahagia disusul oleh Islandia dan Denmark. Sementara itu, Indonesia berada pada urutan 82. Ternyata Indonesia masih jauh dari kriteria bahagia jika dibandingkan dengan Negara-negara skandinavia. Apakah serumit itu cara untuk bahagia, hingga Indonesia mencapai sepuluh besar saja belum mampu?
Perkara kebahagiaan, tentu semua orang akan mengupayakannya. Terlebih kondisi pandemi ini yang bagi sebagian orang telah merobek-robek urat nadi kebahagiaannya. Namun, berapa banyak orang yang terlalu mencari cara untuk bahagia justru malah tidak bahagia, Kemudian saya berfikir, sebenarnya mengejar kebahagiaan itu boleh tidak sih? Setelah merenunginya, saya kemudian ingin mengulik tentang kebahagiaan itu, dengan tiga latar situasi.
Latar Kehidupan Sehari-hari
Pertama dengan latar kehidupan sehari-hari. Ada soal-soal yang butuh diperumit dan ada soal-soal yang butuh disederhanakan. Kebahagiaan itu berada di dalam dua kutub yang saling bertali-temali itu.. Ada soal-soal rumit yang disederhanakan ia akan mengurangi jatah kebahagiaan itu. Dan ada soal-soal yang mestinya sederhana tetapi diperumit ia juga akan mengurangi kadar kebahagiaan itu.
Misalkan anda diundang dalam sebuah acara tasakuran tetangga untuk merayakan anaknya menjadi tentara. Seharusnya cukup memakai celana panjang dan berbaju batik, tetapi anda perumit itu dengan mengupayakan memakai setelan jas lengkap, maka anda akan merasa risih dan bisa jadi sesama tamu undangan akan berkomentar,”mau tasakuran saja memakai setelan jas lengkap, kayak mau menghadap presiden saja“. Dengan kerumitan yang anda lakukan sedangkan harusnya bisa disederhanakan itu akan mengurangi kadar kebahagiaan anda.
Artikel terkait: 3 Aspek untuk Meraih Kebahagiaan Menurut Psikolog, Berawal dari Self Love
Begitu sebaliknya, misalkan seorang trainer yang ingin tampil keren di depan audiensnya ia harus menempuh kerumitan untuk sekedar tampil. Ia harus memakai setelan jas lengkap dengan dasi, sepatunya harus licin mengkilat, dan tatanan rambut harus rapi dengan model terkini. Tiba-tiba kerumitan ini harus disederhanakan dengan berbusana ala kadarnya seperti memakai sarung, berkaos dengan tatanan rambut yang acakadut persis seperti orang yang baru bangun tidur, maka penyederhanaan inilah yang akan mengurangi kadar kebahagiaan sebagai seorang trainer.
Jika kondisi sederhana ini diteruskan, minimal sang trainer akan merasakan krisis kepercayaan diri dan ini sungguh menyusahkan. Bisa jadi kesusahan itu diperkuat lagi dengan ungkapan audiensnya, seminar mahal kok trainernya seperti itu sih? Jelas hal itu sangat mengurangi kadar kebahagiaan.
Tetapi dengan memperumit itu anda akan merasa bahagia, minimal comfort feeling. Dan sebetulnya bibit bahagia itu muncul dari comfort feeling ini. Walaupun ia masih pada tingkatan elementary tetapi ini memang pintu awalnya. Kita tidak bisa menisbikan itu. Artinya ada soal-soal yang harus diperumit jika dibutuhkan, dan ada soal-soal yang harus disederhanakan jika dibutuhkan. Dalam kehidupanpun seperti itu, bahagia dan susah itu adalah soal-soal yang kebalik-balik itu.
Cara untuk Bahagia di Latar Pekerjaan
Kedua, dengan latar pekerjaan. Berapa banyak kita temukan kasus-kasus seperti orang kesulitan mencari pekerjaan kemudian giliran ada yang memberikan pekerjaan, ia tolak dengan alasan tidak sesuai passion. Kemudian ia merasa tidak bahagia, termenung menyendiri di pojokan ruangan dan menjadi pengangguran.
Menurut saya, alasan tersebut tidak realistis. Sebenarnya yang terjadi adalah ketidakcocokan itu bukan dengan passion-nya melainkan justru dengan kemalasannya. Banyak sekali saya menemui soal-soal seperti itu. Jadi sebenarnya dia merasa sulit mencari pekerjaan tidak lebih karena kemalasan dirinya sendiri yang menjadi kontributor utamanya.
Sebenarnya kerja itu tidak usah dicari karena manusia tidak bisa jika tidak bekerja. Analoginya seperti ini anda bergerak menengadahkan tangan seraya tetap pada posisi itu selama satu jam saja, saya pastikan anda tidak akan kuat. Jadi manusia itu harus terus bergerak.
Jadi, pergerakan itu fitrah bagi manusia. Sementara kerja itu harus melalui tahapan bergerak, sehingga sebenarnya pekerjaan itu adalah fitrah bagi manusia. Jadi kalau ada orang kesulitan mencari pekerjaan berarti ia setara dengan orang yang mengingkari fitrah itu sendiri.
Artikel terkait: Tips untuk Parents: 4 Rahasia Menjadi Orang yang Lebih Bahagia
Hanya saja kita mempunyai egosentrisme kepada pekerjaan. Pekerjaan itu harus jadi inilah, harus jadi itulah dan seterusnya. Pekerjaan itu tidak bisa didekte dengan ego-ego yang kurang penting seperti itu. Jelas pekerjaan pasti akan menolaknya. Jadi kalau orang berfikir bahwa fitrahku bergerak dan bekerja, ia tidak akan terlalu tersiksa menjadi tidak bahagia. Poinnya di sini.
Dan ketika anda mengatakan pekerjaanku cuman ini kok? Cuman itu kok? Maka pada waktu yang sama anda telah berada pada strata yang paling menghina terhadap pekerjaan anda. Semua pekerjaan itu adalah tugas suci bahkan nguras WC sekalipun merupakan tugas suci yang harus ditunaikan dengan sungguh-sungguh.
Bahkan Ia menjadi sebuah multi position di mana satu bidang semakin bernilai maka ia akan memberikan kontribusi terhadap banyak sekali pertumbuhan nilai. Di sana ada kerendah hatian, ada rasa syukur, ada perasaan bermakna, sekaligus dignity muncul di dalamnya. Kebahagiaan itu terletak pada pemaknaan ulang pada variable tersebut.
Latar Keharmonisan Rumah Tangga
Ketiga, dengan latar keharmonisan rumah tangga. Pernah suatu ketika seorang bapak mengatakan kepada saya tentang retaknya rumah tangga serta ketidakcocokannya dengan istri. Beliau juga menceritakan kasus ini kepada temannya.
Bahkan temannya memberikan advis,”kalau sudah tidak cocok kenapa harus dipertahankan? Cerainkan saja! Kamu berhak bahagia bro!” Maka saya timpali, ”Pak, kenapa ketidakcocokkan itu baru terungkap setelah mempunyai anak tiga? Kenapa ia tidak muncul ketika usia pernikahan bapak baru sebulan atau dua bulan? Harusnya kalau ada ketidakcocokan sudah terlihat di awal pernikahan dong? Pasti ada yang salah deh?“
Kebahagiaan itu jika dibayangkan sebagai sebuah karier yang harus dikejar, maka sebenarnya pada tingkatan prosedur ia sudah lemah. Seolah-olah kebahagiaan itu terletak nun jauh di sana di mana kita harus berjerih payah untuk menuju tujuan tersebut.
Kebahagiaan sebenarnya tidak serumit itu. Ketika seseorang itu taat azas saja dia akan mengorbit di dalam skala kebahagiaan itu. Setiap kita mempunyai azas kontekstual. Misalnya kita sebagai penulis pasti mempunya azas kepenulisan, Sebagai tetangga kita juga mempunyai azas ketetanggaan. Jika itu diingkari pasti akan tidak bahagia.
Artikel terkait: 9 Cara Bahagia Setelah Bercerai, Jangan Berlarut dalam Kesedihan
Begitupun dalam konteks keharmonisan rumah tangga. Ia juga mempunyai azas kerumahtanggaan yang harus ditaati. Dalam konteks kasus di atas, coba kita mulai tracking dari suami, apakah ketaatan atas azas kesuamian tertunaikan?
Tetapi masalahnya adalah bahwa azas kesuamian itu ribuan opsi. Namun, dengan memenuhi variabel keumumannya saja atas azas kesuamian itu sudah cukup untuk membahagiakan istri dan anak-anaknya.. Maka hal tersebut berlaku juga dengan istri. Apakah istri juga sudah menunaikan seluruh azas keistriannya belum? Jangan-jangan keduanya belum menunaikannya? Tunaikan dulu azas-azas itu baru anda berdua layak bahagia. So, as simple as that cara untuk bahagia itu.
Ditulis oleh Asis Muslimin, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC Contributor lainnya:
id.theasianparent.com/mengelola-konflik-dengan-anak
"Sering Memeluk Anak, Saya Sangat Rasakan Manfaatnya"
10 Cara Mendidik Anak Keras Kepala, Mulai dengan Mendengarkan Si Kecil
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.