Boleh Marah ke Anak, Tapi Tak Perlu Perlu Membentaknya

Yuk, sama-sama belajar untuk tidak membentak anak.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

"Boleh marah, tapi tidak boleh membentak anak? Loh, bukannya dampak membentak anak dan memarahi akan sama saja, ya?"

Pertanyaan seperti ini mungkin akan terbersit di benak Parents. Setidaknya saya pernah mempertanyakan hal ini. Bingung, karena semula berpikir kalau marah dan membentak anak merupakan hal yang sama.  Tapi nyatanya keduanya merupakan dua hal yang berbeda. 

Marah dan Membentak Anak, Apa Bedanya?

Sudah menjadi orang tua selama 11 tahun, urusan meregulasi emosi itu memang tantangan besar bagi saya. Bahkan, sampai detik ini saya pun masih terus mempelajarinya. 

Saya masih ingat, suatu hari anak saya pernah bertanya, "Kenapa, sih, ibu marah-marah terus?"

Ketika itu saya merasa tertampar. Benar juga, ya? Kenapa saya harus marah-marah? Apa yang membuat saya sampai marah? Bukankah anak sedang belajar, lalu kenapa harus memberikan respon yang berlebihan.

Ah, kalau sudah begini seringnya jadi menyesal. Apalagi kalau marahnya sampai membentak. "Dasar si sumbu pendek!" begitu sesal saya. 

Kemudian, beragam pertanyaan muncul di benak. "Kenapa saya mudah marah pada hal-hal yang sepele? Sebenarnya, apa, sih yang membuat saya kesal? Apakah karena sedang banyak pekerjaan kantor yang belum diselesaikan? Atau kerena saya sedang lapar?" 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Hahahhaa... iya, terus terang saja, kalau saya lapar, jadi lebih mudah emosi. Ada yang seperti saya juga? *cari temen*

Pahami Apa yang Membuat Kita Marah

 

Membahas soal emosi marah, saya jadi ingat dengan penjelasan dr. Santi Yuliani, Sp.KJ, M.Sc, ia mengatakan kalau marah merupakan salah satu bentuk emosi yang tampak dan wajar dirasakan oleh siapa pun juga. Tetapi, yang sering kali tidak disadari adalah kondisi yang tidak tampak di bawahnya. Nah, kondisi yang tidak tampak inilah yang sebenarnya menjadi penyebab munculnya rasa marah. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Artikel Terkait: Bukan Berteriak! Ini Cara Marah yang Sehat pada Anak Tanpa Menimbulkan Trauma

"Orang marah itu banyak sekali latar belakangnya, jadi sebenarnya tidak perlu membandingkan marah kita dengan orang lain. Hal yang paling penting dilakukan justru adalah memahami apa yang melatarbelakangi kemarahan kita. Dengan cara itu, kita bisa lebih aware dengan diri kita sendiri dan orang yang kita sayangi. Dengan begitu marah bisa terkendali dan tidak berakibat merugikan diri sendiri dan orang lain."

Lebih lanjut, dr. Santi mengatakan bahwa rasa marah yang kita rasakan dan dilihat oleh orang lain sebenarnya merupakan luapan beragam emosi yang tidak terlihat. Emosi apa saja, sih?

  • perasaan malu
  • perasaaan diabaikan
  • cemburu
  • khawatir
  • sedih
  • merasa tidak nyaman
  • stres
  • takut
  • kecewa
  • lelah
  • mengingkari
  • merasa banyak ketidakpastian
  • atau perasaan yang lainnya.

Kecewa merupakan salah satu latar belakang marah yang cukup sering terjadi. Kecewa terhadap diri sendiri,  kecewa dengan keadaan, dan kecewa pada orang lain, dalam hal ini bisa pada pasangan dan anak. Untuk itulah penting untuk kita mulai belajar untuk tidak memiliki ekspektasi terlalu tinggi pada orang lain.

Faktor lain yang juga sangat memengaruhi seseorang marah dikarenakan rasa lelah yang luar biasa. Lelah fisik sangat berpengaruh pada kondisi emosional kita. Namun, sering kali kita tidak sadar bahwa kita butuh istrirahat. Padahal, pada kondisi demikian kita akan menjadi lebih mudah tersinggung, seba salah, merasa tidak berdaya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Boleh Marah, Tapi Tidak Perlu Membentak

Artikel Terkait: Gampang Emosi dan Marah pada Anak? Ini Langkah untuk Mengatasinya

Senada dengan dr. Santi, Devi Raissa selaku psikolog anak dan keluarga, dalam akun Instagram Rabbit Hole ID juga menerangkan bahwa marah merupakan emosi yang sudah tertanam dalam diri manusia. Jadi, wajar saja ketika merasakannya. Sama wajarnya ketika sedang merasa sedih dan senang.

Tak hanya pada diri sendiri, sebagai individu tentu kita pernah merasa marah. Terhadap orang tua, terhadap teman, terhadap suami, termasuk terhadap anak. Maka, wajar sakali jika kita, sebagai orang tua mengatakan, "Ibu marah kalau setelah bermain kamu tidak membereskannya" atau, "Bapak nggak suka kalau kamu main gadget terus".

Lewat akun Instagram RabitholeID, ia menjelaskan, "Yang tidak wajar adalah jika kita mengomunikasikan perasaan marah dengan tidak tepat dan dengan cara berlebihan"

Berlebihan yang dimaksud adalah pada saat marah dengan suara keras, disertai hukumnan fisik seperti mencubit atau memukul. Sementara itu, marah yang tidak tepat adalah apabila kita marah pada salah satu perilaku anak, tetapi langsung memberikan label negatif secara keseluruhan. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

"Kamu nakal sekali, sih!"

"Jadi anak, kok, bandel banget!"

Atau yang lebih buruk lagi, pada saat kita marah terhadap sesuatu namun justru dilampiaskan pada orang lain, termasuk anak sendiri. 

Dampak Membentak Anak Berisiko Terhadap Kesehatan Mental 

Tidak bisa dipungkuri, dampak membentak anak bisa berisiko menimbulkan inner child yang sulit disembuhkan. Misalnya, menimbulkan anak merasa tidak dihargai, dan merusak rasa percaya diri. Itulah mengapa membentak anak perlu dihindari.

Apa yang bisa dilakukan?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

1. Akui dan Sadari

Selanjutnya, kita sebagai orangtua ternyata perlu mengakui dan menyadari lebih dulu bahwa kita sedang merasakan emosi marah. Kemudian cari tahu, apa yang menyebabkan kita marah? 

"Jangan malah berkutat dengan mengatakan sulit mengendalikan rasa marah, atau malah justru mencari pembenaran."

Dengan demikian, kita bisa meminimalisir marah yang tidak tepat.

2. Berempati pada Anak

"Jangan nangis terus, dong!", "Kok, begini saja tidak bisa, sih?", "Baru begitu saja, kok, kamu sudah kesel dan marah-marah"

Eh, tunggu dulu... yakin kalimat tersebut sudah tepat? Bagaimanapun juga, kita sebagai orang tua saja masih perlu belajar meregulasi emosi dengan baik, kok, sudah menutut anak yang baru hidup dan mempunyai kesempatan belajar beberapa tahun? 

Mbak Devi juga mengingatkan, "Bagaimana kita bisa berharap anak bisa bersikap tenang dan bahagia, sedangkan ia masih baru berada di dunia ini. Ia masih belajar untuk mematangkan otaknya dan justru membutuhkan kita, orang tuanya untuk menjadi contoh. Bukan untuk disalahkan atas hal yang belum dia pahami."

3. Time Out!

Saya masih ingat, dulu sempat ngobrol  dengan Mba Devi Sanni. Ketika itu, psikolog anak sekaligus co-founder @rainboecastleID ini menyarankan pada saat sudah timbul emosi marah, jangan lupa untuk memberikan time out untuk diri sendiri.

Katanya, “Kita perlu menangkan diri, tapi bukan untuk memikirkan betapa benarnya kita, karena kita perlu sadar kalau orangtua tidak selamanya benar dan tahu yang terbaik untuk anaknya. Selanjutnya adalah penting bagi kita untuk mengubah pikiran sehingga perasaan pun ikut berubah.

Coba pikirkan, anak berperilaku seperti itu karena memang dia masih anak-anak. Perilaku yang kita anggap nakal itu justru jadi pertanda ada sesuatu yang ia butuhkan. Listen your anger, rather than act on it".

4. Utarakan Perasaan dengan I Message

"Kamu, tuh, selalu deh mengulang lagi kesalahan ini!"

Coba bayangkan jika kalimat ini diajukan orang lain ke diri kita sendiri. Rasanya menyebalkan dan merasa disalahkan sekali ya?

Bagaimana cara berkomunikasi yang tepat memang bukan perkara yang mudah. Hal ini perlu dilatih terus menerus agar marahnya tidak kebablasan hingga berujung membentak anak atau malah menggunkan kekerasan fisik.

Salah satu upaya untuk mencegah emosi yang meledak-ledak, coba deh, mulai berlatih menggunakan I message.  Mudahnya pesan ini didefinisikan sebagai bagaimana cara kita mengekspresikan pikiran dan perasaaan kita tentang suatu pengalaman atau interaksi.

Dimulai menggunakan  ‘saya’ bukan 'kamu' atau lawan bicara, sehingga tidak menimbukan lawan bicara  merasa 'diserang". Kemudian, lanjutkan dengan mengutarakan perasaan dan harapan kita. "Saya merasa terganggu kalau kamu main game terus-terusan, ibu berharap kamu bisa ingat dengan kesepakatan kita kalau main game hanya 30 menit."

Kenyataannya, mempraktikan semua ini memang nggak mudah. Saya yang sudah menjadi ibu selama sebelas tahun pun masih terus belajar. Mengingat, dampak membentak anak itu memang tidak baik untuk perkembangan anak di kemudian hari. Tapi, bukankah menjadi orang tua merupakan proses belajar yang tidak pernah berhenti sepanjang hayat? Jadi, yuk, kita sama-sama belajar!

Baca Juga:

id.theasianparent.com/i-message

id.theasianparent.com/anak-durhaka-pada-orang-tua

id.theasianparent.com/oppositional-defiant-disorder