Meskipun konflik di dalam keluarga sulit dihindari, bukan berarti tidak bisa diselesaikan dengan baik, lho! Kuncinya, jangan lupa gunakan kalimat ‘I message‘, bukan ‘You message‘ yang cenderung menyudutkan lawan bicara.
Tidak percaya jika selama ini kalimat yang cenderung dilontarakan merupakan kalimat ‘you message‘? Coba perhatikan, saat sedang berdiskusi atau kesal dengan lawan bicara, apa yang sering Anda katakan?
“Kamu selalu berbuat kesalahan yang sama terus, deh,” atau justru kalimat seperti, “Kenapa sih, kamu seperti itu? Apa memang tidak paham dengan apa yang saya bilang?”.
Apakah kalimat di atas kerap dilontarkan pada pasangan atau anak Anda? Jika ya, hati-hati bisa memunculkan kesalahpahaman yang lebih besar lagi. Oleh karena itulah mengapa perlu memahami dan belajar menggunakan ‘I message‘.
I Message: Komunikasi tanpa menyalahkan yang berfokus pada perasaan
Secara umum, ‘I Message‘ merupakan gaya atau teknik komunikasi yang berfokus pada perasaan daripada pemikiran pembicara kepada lawan bicaranya.
Konsep komunikasi pertama kali dikembangkan oleh seorang psikolog bernama Thomas Gordon pada tahun 1960-an. Teknik komunikasi ini tentunya berbeda dengan ‘You Message‘ yang cenderung menyerang lawan bicara.
‘I Message‘ atau kalimat pesan yang menggunakan ‘Aku’ memungkinkan pembicara mengungkap perasaan sekaligus bersikap tegas tanpa menyalahkan lawan bicara.
Sebagai contoh kasus, misalnya suami sering pulang malam tanpa memberitahu terlebih dahulu sehingga membuat Bunda khawatir dan menimbulkan salah paham. Untuk memberitahu suami bahwa Bunda sudah tidak nyaman dengan hal tersebut, kira-kira ada dua pilihan kalimat yang mungkin akan dilontarkan.
Kalimat ‘you message‘, misalnya, “Kamu tuh, ya, selalu pulang malam terus tanpa kabar apa-apa. Ke mana aja kamu? Selingkuh, ya?“. Sedangkan kalimat ‘I message’ akan diungkapkan dengan mendahulukan ungkapan perasaan Anda. Contohnya, “Aku sedih kamu selalu pulang malam tanpa mengabariku dulu. Aku jadi khawatir dan mikir yang enggak-enggak jadinya.“
Kedua kalimat tersebut tentunya memiliki makna dan gaya penyampaian berbeda.
Kalimat pertama termasuk ke dalam ‘You Message‘, merupakan cara penyampaian yang cenderung menyerang lawan bicara dan memojokkan seseorang. Cara berkomunikasi ini tentunya tidak efektif dan akan merusak hubungan secara perlahan.
Mengapa ‘You Message’ bisa merusak hubungan?
Dalam tulisannya, Psikolog Keluarga bernama Anna Surti Ariani menjelaskan, bahwa pesan yang berfokus pada kata “kamu” cenderung merendahkan dan pada akhirnya akan direspon dengan defensif oleh lawan bicara atau pasangan.
Karena faktanya, penggunaan ‘You Message‘ seperti kalimat pertama tersebut akan membuat pasangan merasa dituduh, disalahkan, dianggap bodoh, serta merasa dihakimi.
Apalagi, jika kalimat tersebut disertai juga dengan tuduhan lain yang belum tentu kebenarannya seperti ‘kamu selingkuh, ya?’.
Lalu, bahasa tubuh yang digunakan saat berbicara juga bisa menyinggung perasaan pasangan. Misalnya, sambil berkacak pinggang, menunjuk, hingga melotot.
“Nah, menerima pesan negatif tersebut akan membuat lawan bicara jadi defensif. Ia berusaha membela diri. Tidak menuntup kemungkinan juga dia jadi lebih marah dan kemudian berusaha menyalahkan Anda juga. Kalian akhirnya jadi saling menyalahkan. Permasalahan pun jadi semakin sulit dibicarakan,” tulis Psikolog yang akrab disapa Nina tersebut.
Cara penyampaian yang sebaiknya digunakan
Berbeda dengan kalimat pertama, kalimat kedua merupakan teknik berkomunikasi pada pasangan yang disarankan oleh banyak ahli. Pasalnya, pesan pada kalimat tersebut berfokus pada ‘Aku’, sehingga dinilai tidak menyinggung atau pun menyalahkan lawan bicara yang berujung menyakiti hatinya.
Itulah yang disebut dengan teknik komunikasi ‘I Message‘. Jenis komunikasi ini tidaklah membicarakan fakta, melainkan pengalaman pribadi seseorang terhadap suatu hal.
Sederhananya, dengan pesan yang berfokus pada ‘Aku’, maka Parents sudah mengurangi serangan terhadap pasangan. Kalimat tersebut tidak bersifat menyalahkan, melainkan hanya mengungkap apa yang dirasakan oleh seseorang.
Tentunya bukan hanya bentuk kalimat yang digunakan. Parents juga perlu menggunakan intonasi yang tenang dan gestur tubuh yang tidak menyinggung saat menyampaikan pesan ini.
Nah, saat mendengar dan paham dengan apa yang kita rasakan, pada akhirnya pasangan akan mengerti dan mungkin akan merasa bersalah karena telah membuat kita bersedih. Dengan demikian, penyampaian pesan juga akan lebih efektif dan salah paham pun jadi bisa lebih mudah diperbaiki.
Pentingnya mengungkap perasaan
Menyampaikan apa yang kita rasakan merupakan hal yang penting dalam suatu hubungan. Pasangan jadi bisa tahu apa yang kita rasakan dan apa yang kita butuhkan darinya.
Sebagai seorang individu pun, merupakan hal yang penting untuk kita memahami apa yang dirasakan. Pasalnya, memahami bagaimana perasaan sendiri terhadap suatu hal juga dapat berpengaruh pada cara yang diambil dalam mengendalikan emosi pada lawan bicara, misalnya pasangan atau anak.
Hal ini selaras dengan yang dijelaskan oleh Yulia Indriati, Director komunitas Keluarga Kita. Ia menjelaskan, kita sebagai individu berhak merasakan emosi, tetapi kita juga perlu memahami dan mengelola emosi tersebut dengan baik.
“Kita harus kenal dan paham apa yang kita rasakan. Kalau pemahaman atas diri kita sendiri saja kurang, maka pada akhirnya akan timbul konflik atau ketidakmampuan kita dalam mengelola emosi itu sendiri.
Jika tidak paham, maka tidak menutup kemungkinan ini akan berujung menyakiti perasaan orang lain juga,” ungkap Yulia ditemui dalam acara community gathering manTAP ‘Bertemu dengan Teman-Teman theAsianparent’ yang dilangsungkan belum lama ini.
Pada akhirnya, penyampaian perasaan ini juga akan tersalurkan dengan baik melalui teknik pesan ‘Aku’ atau I Message. Saat dilakukan dengan benar, maka cara ini akan membangun komunikasi yang lebih positif.
Tidak hanya itu, hubungan dengan pasangan atau pun anak juga cenderung akan semakin kuat. Pasalnya, cara penyampaian pesan ini bisa membuat pasangan saling berbagi perasaan satu sama lain sehingga mereka bersikap lebih terbuka dan lebih dekat secara emosional.
“Mungkin Anda merasa sulit atau aneh melakukannya ketika belum terbiasa. Pasangan juga mungkin belum terbiasa, sehingga responnya bisa jadi tidak sesuai harapan. Namun, kalau jaminannya adalah hubungan yang lebih baik lagi, masa sih, Anda nggak mau mengusahakannya?” tutup Nina Teguh.
***
Baca juga:
Hati-Hati, Komunikasi Seksual Berisiko Turunkan Kepuasan Bercinta
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.