“Kenapa, sih, kamu tidak pernah mau mendengar apa yang Mama bilang? Mama ini tahu apa yang terbaik untuk kamu. Kenapa kamu melawan? Dasar kamu itu memang anak durhaka pada orang tua!”
Familar dengan kalimat di atas?
Saat seorang anak berani mengungkapnya ketidaksetujuan atau protes, tidak sedikit orangtua yang sulit untuk menerimanya. Alih-alih memahami keinginan anak, kalimat yang dilontarkan anak justru dianggap sebagai ciri-ciri anak durhaka pada orang tua.
Benarkah demikian?
Ungkapkan Emosi, Tanda Anak Durhaka pada Orang Tua?
Kamis, 11 Juni kemarin saya sempat mengikuti sesi Instagram live yang sangat menarik. Temanya, “Kesal Sama Orangtua = Durhaka? Memahami Proses Emosi di Diri Anak Sebagai Orang Dewasa”.
Bincang santai ini menghadirkan seorang psikolog klinis anak, Anastasia Satriyo M.Psi., Psikolog dan Adriana Amalia M.Psi., Psikolog selaku psikolog klinis dewasa.
Di awal IGlive berlanglang, Mbak Anas dan Mbak Amal, saapan akrab mereka, menjelaskan bahwa tidak ada yang salah jika seorang anak memiliki mixed emotion yang berkecamuk kepada orangtua.
Keduanya pun berbagi pengalaman, saat mereka merasa kesal kepada orangtua dan bagaimana menyampaikan kekesalan itu tersebut tanpa mengakibatkan ‘perang dunia’.
“Hubunganku dengan orangtua, tuh, ibaratnya love and hate relationship, deh. Baik aku maupun orangtuaku polanya sama, nggal ada yang bisa dikerasin. Saat itu, goal utama yang menancap dalam otakku cuma satu, pokoknya aku harus mengubah orangtuaku entah apapun caranya. Setiap hari, ada aja, deh, tools aku untuk meributkan hal kecil gak ada ujung,” tutur Amal.
Hingga akhirnya pada suatu titik, Amal menyadari jika perspektif tersebut tidak tepat. Adalah hal yang mustahil untuk membuat orang lain berubah sesuai keinginan kita.
Co-founder @asa.berdaya itu pun memutuskan untuk belajar mengelola ekspektasi dan tersadar bahwa mengejar kesempurnaan semata bukanlah segalanya.
Tak berbeda dengan Amal, dalam kesempatan sama Anas pun berbagi cerita. Ia mengaku kalau hubungannya dengan ibunda terasa amat berat sejak Anastasia beranjak remaja. Ketika itu, Anas mengaku ingin mengekspresikan diri melalui pakaian.
Sayangnya, kultur Tionghoa membuatnya sulit untuk bebas berekspresi dalam hal penampilan. Anas menandaskan kalau dirinya kerap disorot dalam hal berat badan, penampilan, bahkan status pernikahan.
“Akhirnya aku mengalah walaupun kesal juga, kupikir dengan belajar psikologi aku bisa mengubah orang di rumah. Nyatanya, yang seharusnya diubah pertama kali itu justru diri sendiri. Kitalah yang harus mengambil alih kontrol diri menjadi versi yang lebih baik,” tukas Anas.
Baik Anas dan Amal mengatakan, bawa orangtua memang sering kali memiliki impian terpendam yang belum ia dapatkan. Hal inilah yang kemudian akhirnya menajadikan anak sebagai ‘perpanjangan’ orangtua. Orang yang yang bisa membantu mewujudkan impian. Padahal, hal inilah yang perlu disadari dan diubah.
Salah satu kunci yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi agar konflik antara anak dan orangtua tidak kian meruncing tentu saja komunikasi.
“Pola komunikasi dan emosi ibarat lingkaran setan yang kalau nggak dihentikan, akhirnya bisa terulang dan nantinya diwariskan. Apalagi kita sudah ditanamkan sejak kecil untuk sebisa mungkin menyenangkan orang dewasa. Padahal kita bukan selai Nutella yang bisa bikin semua orang bahagia. Jadi Parents, jangan lupa selesaikan dulu semua bagasi masa lalu agar gak kita lanjutkan pada anak kita nanti,” pungkas Anas.
Selama sesi Instagram Live, Anas dan Amal pun menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan. Berikut beberapa pertanyaan terkait anak durhaka pada orang tua.
Q: Bagaimana cara memahami emosi anak pada orangtua, mungkinkah dilakukan?
Menjadi dambaan semua orang, kesempurnaan dan kebahagiaan faktanya sulit dicapai. Untuk itu, cobalah menambah proteksi diri dengan mengikuti aneka workshop atau konseling agar kita tak mudah terpicu trigger saat terlibat konflik dengan orangtua kita. Saat kita sebagai anak sudah mampu berdaya, ketika itulah imunitas tubuh meningkat sehingga kita tak mudah terpicu dengan lontaran kata atau tindakan orangtua yang tidak menyenangkan.
Amal pun mendorong agar sebagai anak, cobalah mengubah target. Jika awalnya Parents ingin mengubah orangtua menjadi lebih baik, ubahlah menjadi mengubah diri sendiri lebih dulu. Sebelum mencapai proses ini, pastikan tiga hal berikut sudah ada dalam diri kita:
- Willing (seberapa besar ingin mengubah hal ini, apakah semata ingin menghindari rasa sakit yang ada atau memang ingin mengubah kondisi yang ada);
- Able (kesiapan mengubah kondisi yang ada); dan
- Readiness (Kesiapan kita untuk mengomunikasikan apa yang ingin diubah, perhatikan juga kesiapan orangtua untuk mendengarkan penyampaian kita sebagai anak)
Jika langkah sebelumnya sudah dilakukan tetapi tidak menemukan titik temu, inilah saatnya melibatkan konselor yang bisa membantu mencapai kedalaman masalah yang ada.
“Membiasakan diri untuk konseling akan membuat semua hal berbeda karena solusi yang didapat tentu berbeda. Dengarkan juga apa yang dibutuhkan orangtua dan belum terpenuhi. Menyadari seberapa dalam masalah yang ada akan mencegah mewariskan pattern serupa generasi di masa depan,” tambah Anas.
Q: Mbak, bagaimana ya kalau sedang berkonflik, orangtua melakukan solusi yang membuat kita menyalahkan diri sendiri?
Pelajari pattern dengan baik; selain konseling juga memroses diri sendiri. Proses meliputi satu pertanyaan besar: kenapa sih kita hanya menyalahkan diri sendiri hanya karena gak menuruti apa yang diminta orangtua?
Ibarat pengadilan, tanpa sadar sebagai anak kita lebih gemar memposisikan diri menjadi hakim atau korban bagi diri sendiri. Kita justru lupa menghadirkan peran sebagai pembela.
Berhentilah menganggap diri kita tidak berharga hanya karena menganggap orangtua terlalu menuntut, yakinkan diri kalau belief yang kita yakini belum tentu sepenuhnya salah. Ingat lho marah bukan sesuatu yang fatal kok, itu bentuk emosi yang baik jika disalurkan dengan benar.
Q: Tapi gimana ya Mbak, kalau kita nih sebagai anak udah merasa trauma karena jadi limpahan samsak emosi? Apakah mungkin memperbaiki hubungan dengan orangtua kalau sudah berjarak walaupun tinggal serumah?
Kuncinya proteksi diri, berikan keamanan untuk diri sendiri. Apalagi era seperti sekarang mengharuskan kita harus tinggal lama di rumah. Ingat self care itu nomor satu, gimana mau mendalami masa lalu kalau kesehatan mental belum sepenuhnya beres.
Misalnya; latihan relaksasi pernapasan, syukuri hal baik yang terjadi dalam satu hari, dan jangan lupa afirmasi diri. Katakan pada diri sendiri ‘saya menerima diri sendiri hari ini’ atau ‘saya mau belajar menerima diri saya sendiri dan mencari intensi’. Kalau dirasa udah mentok, jangan ragu untuk meminta bantuan pakar.
Terus gimana kalau udah berjarak? It’s oke kok, karena intimacy dengan orangtua itu gak harus kok bisa intim atau foto bareng romantis di media sosial. Intinya fokus mengubah diri sendiri dulu. Tanamkan mindset bahwa sepanjang hidup, yang bisa menyelamatkan diri adalah kita sendiri.
Latihlah relasi yang sehat dengan orangtua karena tanpa disadari pola yang didapatkan anak bisa berulang ketika ia tumbuh dewasa dan mulai menjalani peran sebagai orangtua. Jadikan rumah sebagai sarang utama mendapatkan cinta dan kehangatan, salah satunya bisa dimulai dengan tidak mudah mengatakan jika buah hati kita merupakan anak durhaka pada orang tua.
Baca juga :
Takut Berkomitmen dan Menikah? Jenis Fobia Ini Bisa Jadi Penyebabnya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.