Munculnya berita hoaks seputar COVID-19 menambah luka dan duka di tengah situasi pandemi ini. Pihak-pihak yang tak bertanggung jawab membuat pandemi semakin kacau dengan menyebarkan berita yang tidak bisa dipercaya kebenarannya.
Parahnya, berita hoaks tersebut berhasil membuat sejumlah masyarakat kehilangan keluarga dan kerabat dekatnya. Sebagai contoh yang baru-baru ini dialami warganet bernama Helmi Indra. Ayahnya meninggal karena percaya hoax Corona.
“Setelah pertarungan beberapa hari, akhirnya Papah kalah perang melawan COVID-19. Lalu apa yang menyebabkan Papah kalah? Hoax berperan besar dalam hal ini, di luar komorbid,” ujarnya lewat akun Twitter @@HelmiIndraRP.
Artikel terkait: 8 Fakta dan Hoax Vaksin COVID-19, Jangan Sampai Salah Informasi!
Ada pula korban hoax Corona dari yang disebarkan dr Lois Owien. “Astagfirullahaladzim. Saudara saya 3 orang wafat dalam waktu 2 minggu terakhir, 1 di Mojokerto, 2 di Sidoarjo, karena percaya dengan pernyataan dr. Lois,” kata seorang warganet, mengutip dari unggahan Instagram milik RA Adaningrat,dr,SpPD.
Lantas, apa, sih, penyebab masih ada orang-orang yang percaya dengan berita hoaks?
Alasan Masih Ada Orang Percaya Berita Hoaks COVID-19
Mengutip dari Instagram dr. Santi Yulianti, Sp.KJ, Msc, menebar kata-kata hoax tentang COVID-19, memberikan informasi tanpa data yang valid, ini tak kalah bahaya dengan si virus itu sendiri. Kenapa begitu?
“Kata-kata bisa memengaruhi pikiran, pikiran bisa memengaruhi perilaku. Saat orang isi pikirannya berubah, dan perilakunya ikut berubah, maka akan sulit mengembalikan dia kembali ke pikiran awalnya,” jelas @santi_psychiatrist.
“Di saat seseorang sudah berada di jalur yang benar, dan secara bertubi-tubi mendapatkan kata-kata yang salah, pikirannya akan terkoyak meragukan kebenarannya,” sambungnya.
Menurut Santi, kondisi seperti ini yang dijelaskan dalam teori perilaku kolektif. Yakni bagaimana kerumunan dapat menyebabkan dampak kepada perilaku atau emosi individu.
“Perilaku sekelompok orang yang salah, bisa membuat ragu-ragu pikiran seseorang yang benar, mengubah pikirannya menjadi perilaku yang salah. Perilaku yang salah bisa mengakibatkan kematian seseorang,” papar Santi.
“Orang yang sudah menerapkan protokol kesehatan dengan benar, menjadi meragukan pikirannya dan akhirnya goyah diakibatkan banyaknya orang yang dengan leluasa tidak menerapkan protokol dan tidak mendapatkan sanksi sebagaimana seharusnya,” lanjut psikiater Santi menjelaskan.
Artikel terkait: 6 Fakta Sarah Gilbert, Pembuat Vaksin Astra Zeneca yang Keputusannya Mengejutkan Dunia
Ada Juga Pengaruh Tekanan Sosial
Dalam hal ini, psikiater Santi menjelaskan kalau tekanan sosial pun turut andil. Sebab, tidak hanya melihat sekelilingnya yang abai, tetapi juga tekanan ‘terlihat aneh’ menjadi satu-satunya yang patuh.
“Yang lain gini juga sehat, kok, kamu parno amat. Kalau cuman sama tetangga, kan, aman. Masa sama keluarga sendiri pakai masker, sih.”
“Belum lagi undangan seremonial yang membuat kita terpaksa datang dan akhirnya melanggar protokol kesehatan dan menggadaikan keselamatan kita, demi tidak dianggap enggak lumrah.”
Maka dari itu, psikiater Santi menegaskan kalau bukan hanya virusnya yang berbahaya, tetapi juga berita hoax dan kata-kata yang tidak berdasar yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. “Cross check, sebelum meyakini suatu berita,” pesannya.
Artikel terkait: Kabar Baik, Peneliti Temukan Antibodi Super yang Bisa Melawan Varian Virus Corona
Jangan Sampai Percaya Berita Hoaks Membuat Kita Menyesal
Di samping itu, dokter Reisa Broto Asmoro pun sangat menyayangkan masih ada masyarakat yang percaya dengan berita hoaks, bahkan sampai memakan korban meninggal.
“Memang hoax itu sangat kejam, hoax itu sangat berbahaya. Sudah sering saya berusaha mengingatkan agar semua orang berhati-hati dalam menyampaikan dan menyebarkan pesan sebelum memastikan beritanya benar atau tidak,” ujar dokter Reisa, mengutip dari situs Detik.com.
Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19 ini pun mengimbau agar masyarakat dapat memastikan sumber informasi yang mereka peroleh, jangan langsung percaya, apalagi jika sudah mengindikasikan hoax. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi korban-korban yang berjatuhan akibat berita hoaks tentang COVID-19.
“Jangan sampai hanya karena percaya dengan berita hoaks kemudian menyesal. Mari belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi dengan tidak menyebarkan berita bohong dan hoax. Mari stop penyebarannya dimulai dari jempol kita,” pesan dokter Reisa.
Baca juga:
Mungkinkah Manusia Terinfeksi Dua Varian COVID-19 Sekaligus? Ini Risetnya
Ketahui Gejala Setelah Sembuh dari COVID-19 dan Hal yang Harus Dilakukan
Sempat Ditunda, IDAI Imbau Imunisasi Anak Dilakukan secara Drive Thru Saat PPKM Darurat