Lombok kini telah menjadi perhatian dunia usai menggelar ajang MotoGP Mandalika 2022. Tak hanya sirkuit bertaraf internasional, Lombok juga punya potensi wisata alam dan tradisi budaya yang sangat luar biasa. Salah satunya adalah tradisi Bau Nyale, suatu atraksi budaya yang sudah menjadi peninggalan leluhur masyarakat Sasak Lombok.
Apa Itu Tradisi Bau Nyale?
Bau Nyale adalah sebuah tradisi suku terbesar di Lombok menjadi bagian penting dari Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam bahasa Sasak, bau artinya menangkap dan nyale adalah sebuah binatang laut sejenis cacing kecil yang hidup di karang dan lubang-lubang batu di bawah permukaan laut.
Bau Nyale adalah aktivitas masyarakat untuk menangkap cacing laut yang dilakukan setiap tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan tradisional Sasak (pranata mangsa) atau tepat 5 hari setelah bulan purnama. Umumnya, antara bulan Februari dan Maret setiap tahunnya.
Tradisi Bau Nyale yakni sebuah perayaan yang begitu melegenda dan memiliki nilai sakral yang sangat tinggi bagi suku asli Sasak. Perayaan ini berkaitan erat dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Lombok Selatan. khususnya masyarakat desa pujut.
Bau Nyale sendiri biasa diselenggarakan di pantai bagian selatan Lombok seperti pantai kaliantan, sungkin di kecamatan jerowaru Lombok timur. Ada juga daerah pantai di kawasan Lombok tengah seperti Pantai Seger dan Pantai Kuta, dan pantai wilayah selatan Lombok sekitarnya.
Asal-Usul Tradisi Bau Nyale
Melansir dari Republika, tradisi Bau Nyale ini memang tak lepas dari kepercayaan masyarakat setempat yang sudah diyakini sejak lama yaitu kisah tentang Putri Mandalika.
Masyarakat setempat percaya nyale adalah jelmaan Putri Mandalika. Ia adalah anak pasangan Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting dari Kerajaan Tonjang Beru dalam hikayat kuno Sasak.
Putri Mandalika diceritakan sebagai sosok cantik yang diperebutkan oleh banyak pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok seperti Kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan Beru.
Tak ingin terjadi kekacauan di kemudian hari jika ia memilih salah satu di antaranya, Putri Mandalika pun menolak semua pinangan itu dan memilih mengasingkan diri. Akhirnya Putri Mandalika memutuskan untuk mengundang seluruh pangeran beserta rakyat di Pantai Kuta, Lombok pada tanggal 20 bulan 10, tepatnya sebelum Subuh.
Artikel terkait: Bebaskan dari Marabahaya dan Kesialan, Begini Asal Usul Tradisi Ruwatan
Seluruh undangan berduyun-duyun menuju lokasi. Putri Mandalika yang dikawal ketat prajurit kerajaan muncul di lokasi. Kemudian dia berhenti dan berdiri pada sebuah batu di pinggir pantai. Tak lama, ia pun terjun ke dalam air laut dan menghilang tanpa jejak. Kemudian seluruh undangan sibuk mencari, namun mereka hanya menemukan kumpulan cacing laut yang kemudian mereka percayai sebagai jelmaan Putri Mandalika.
Nah, dari situlah masyarakat Lombok Tengah percaya bahwa nyale atau cacing laut yang keluar dari lautan adalah jelmaan rambut Putri Mandalika. Sebagai pelepas rindu, masyarakat Sasak ini melakukan upacara tradisional untuk mengumpulkan nyale.
Filosofi Tradisi Bau Nyale
Mengutip dari Kompasiana, makna filosofi dari legenda Puteri Mandalika yang terjun ke laut dan berubah atau menjelma menjadi nyale dapat kita petik berdasarkan nilai-nilai di dalam masyarakat sebagai berikut.
Nilai pertama yakni sikap rela berkorban. Dalam filosofinya putri mandalika rela berkorban demi rakyat bumi sasak untuk menghindari peperangan yang akan terjadi pada para pangeran yang memperebutkannya.
Jadi, untuk menjadi seorang pemimpin seseorang haruslah lebih peduli terhadap rakyatnya dan paling penting lagi harus rela berkorban untuk kepentingan banyak orang terutama rakyatnya. Sikap rela berkorban inilah yang harus ada pada setiap pemimpin yang akan menjadi tauladan bagi para rakyatnya.
Nilai filosofi kedua yakni terdapat juga Bau Nyale sebagai pesta ekonomi bagi semua orang atau siapa saja yang bisa ikut di dalamnya. Ini artinya tidak boleh siapa pun orang berhak memprivatisasi acara ini untuk kepentingan individu maupun golongan. Hal ini juga dipercaya sebagai rahmat dari Tuhan yang maha Esa yang bisa dinikmati oleh setiap orang. Maha kuasa Tuhan atas segala penciptaannya.
Kemudian, masyarakat setempat juga meyakini, nyale-nyale yang keluar tersebut berhubungan dengan kesejahteraan dan keselamatan. Mereka juga percaya bahwa nyale dapat menyuburkan tanah agar hasil panen memuaskan. Jika banyak cacing keluar dari laut, berarti hasil pertanian juga akan berhasil.
Artikel terkait: Sekura, Tradisi Idul Fitri Asal Lampung yang Pererat Persaudaraan
Kemeriahan Festival Bau Nyale Lombok yang Merupakan Acara Terbesar di Sana
Melansir dari Phinemo, selain memanggil cacing-cacing di laut, Festival Bau Nyale Lombok pun diramaikan dengan berbagai lomba tradisional seperti Bekayaq, Cilokaq, Peresean, Begambus, berbalas pantun, dan lomba mendayung perahu. Sebagai acara terbesar masyarakatnya, Festival Bau Nyale Lombok juga akan menampilkan berbagai pertunjukan kesenian, seperti wayang kulit, penginang robek, dan teater legenda Putri Nyale.
Festival Bau Nyale Lombok makin meriah dengan adanya peresean. Peresean ini merupakan pertarungan adu nyali antar suku Sasak. Mereka bersenjata tongkat dari rotan (penjalin) yang bagian ujungnya dilapisi balutan aspal dan pecahan beling halus. Peserta yang mengikuti Peresean ini mempertunjukkan adu keberanian, ketangkasan, dan ketangguhan laki-laki Sasak.
Artikel terkait: Metatah, Tradisi Jelang Dewasa Masyarakat Bali dengan Potong Gigi
Nyale Dijadikan Hidangan Istimewa Warga Lombok
Setelah melakukan tradisi bau nyale, biasanya nyale bisa dijadikan hidangan istimewa bagi warga Lombok. Hasil tangkapan nyale itu acap mereka jadikan pepes nyale yang dibakar dengan daun pisang. Nyale pepes seukuran 250 gram ini kerap dijual di tepi jalan Lombok seharga Rp 35 ribu-Rp 50 ribu dan tak pernah sepi peminat. Nyale juga bisa dijadikan bokosuwu, sejenis sambal pedas berbahan nyale mentah. Agar mengusir amis si cacing laut, sambal pedas ini ditabur perasan jeruk purut dan daun kemangi.
Tak hanya sambal, nyale juga diolah menjadi kuah santan nyale. Ada pula disangrai dengan campuran kelapa parut, bawang merah, bawang putih, jahe, daun kemangi, perasan jeruk limau dan cabai lombok. Kudapan nyale yang diolah dengan cara digoreng tanpa minyak tersebut namanya nyale pa’dongo.
Rupanya ia mengandung protein tinggi, hingga sebanyak 43,84 persen, mengalahkan telur ayam (12,2 persen) dan susu sapi (3,5 persen). Pun kadar fosfor dalam nyale sebesar 1,17 persen masih cukup tinggi dibandingkan dengan telur ayam (0,02 persen) atau susu sapi (0,10 persen).
Nah, Parents, itulah ulasan mengenai tradisi Bau Nyale, sebuah perayaan yang begitu melegenda dan memiliki nilai sakral yang sangat tinggi bagi suku asli Sasak, Lombok. Jadi, tertarik untuk mengikuti Festival Bau Nyale Lombok?
***
Baca juga:
https://id.theasianparent.com/padusan
https://id.theasianparent.com/passiliran
https://id.theasianparent.com/tradisi-potong-jari
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.