Tana Toraja menjadi sangat mendunia karena mempunyai beberapa tradisi pemakaman yang unik. Bagi masyarakat setempat kematian seseorang dianggap sebagai kesempatan terakhir untuk berbuat sesuatu hal yang baik. Salah satunya ialah passiliran, yakni ritual mengubur bayi di dalam pohon.
Masyarakat Tana Toraja sangat menghargai arwah dari leluhur dan kerabat yang sudah meninggal pergi mendahului mereka. Proses pemakaman biasanya dilakukan dengan prosesi adat yang megah. Selain itu, ada tempat khusus untuk menempatkan orang-orang yang sudah meninggal.
Bagi orang dewasa, biasanya jasad akan ditempatkan di sebuah pusara yang terdapat di tebing atau gua, sedangkan untuk jasad anak kecil akan ditempatkan dalam peti lalu digantungkan di sisi tebing. Sementara jenazah bayi disimpan pada batang pohon besar, yang dikenal dengan pohon Tarra, tradisi ini disebut Passiliran.
Asal Mula Tradisi Toraja Passiliran
Kambira adalah salah satu desa yang berlokasi di Kecamatan Sangalla, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Apabila ditempuh dari ibu kota Toraja Utara yakni Ranteppo tempat ini memang cukup jauh. Akan tetapi jika kalian ingin mengunjungi desa Kambira dengan waktu tempuh yang cepat bisa menempuhnya dari Makale, yaitu ibu kota Tana Toraja.
Di desa Kambira inilah dimana berasal dan pohon tarra tumbuh dan tradisi Passiliran Tana Toraja berasal.
Artikel Terkait: 9 Fakta Unik Rumah Adat Toraja, Bukan Asal Tempat Tinggal!
Lokasi desa Kambira yang menjadi asal tradisi Passiliran di Tana Toraja ini disekitarnya terdapat rerimbunan pohon bambu, sedang tak jauh dari itu terdapat keberadaan rumah adat asal Sulawesi Selatan yang bernama Tongkonan. Perpaduan keunikan yang lokasinya tak berjauhan ini tentu memberikan kemudahan bagi para wisatawan untuk menikmati pesonanya.
Pohon Tarra, Pohon Bagi jasad Para Bayi
Pohon Tarra yang menjadi lokasi pemakaman tidak dipilih secara sembarangan.
Selain memiliki diameter yang besar (sekitar 80-120 cm), masyarakat juga percaya bahwa getah pohon Tarra yang banyak serta berwarna putih dapat menjadi pengganti Air Susu Ibu atau ASI.
Karena itu menguburkan bayi di pohon ini dianggap sebagai proses pengembalian bayi ke dalam rahim ibunya. Setiap lubang kuburan yang telah digunakan akan menutup dengan sendirinya setelah 20 tahun.
Penempatan Jenazah saat Passiliran Menentukan Strata Sosial
Penempatan jenazah pada tradisi Passiliran di Tana Toraja menentukan strata sosial. Posisi lubang yang terdapat pada pohon tarra disesuaikan dengan strata sosialnya. Semakin tinggi posisi lubang pada pohon menandakan bahwa semakin tinggi juga strata keluarganya. Cara pemakaman seperti ini hanya dilakukan masyarakat Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur).
Artikel Terkait: Bayi 7 minggu meninggal saat menyusu, ini peringatan dari ibunya!
Terdapat hal yang paling unik pada tradisi Passiliran di Tana Toraja yakni tidak terdapat aroma busuk di sekitar pohon tarra, meskipun ada banyak bayi meninggal di sana. Bahkan sesuai penuturan masyarakat adat setempat, lubang kuburan pada pohon tarra akan menutup dengan sendirinya setelah 20 tahun masa pemakamannya.
Oleh karena itu, masyarakat tak pernah merasa khawatir kehabisan tempat pemakaman di pohon tarra ini.
Upacara pemakaman pada tradisi Passiliran di Tana Toraja ini dilakukan dengan sangat sederhana. Bayi yang meninggal dikuburkan dan tidak dibungkus dengan apapun, agar bayi merasa sama seperti berada di rahim ibunya. Sang ibu tidak diperbolehkan melihatnya sampai kurang lebih satu tahun, karena dipercaya bisa mengurangi kemungkinan sang ibu mendapatkan bayi sehat lagi di masa mendatang.
Dari kejauhan, pohon ini tampak seperti penuh dengan tambalan-tambalan berbentuk kotak berwarna hitam.
Dilarang Menebang Pohonnya, Bisa Mempersulit Perjalanan Bayi ke Alam Baka
Sumber: Instagram @krisbiantography
Lubang-lubang di pohon juga dibuat dengan memperhatikan arah tempat tinggal keluarganya. Jadi biasanya lubang akan menghadap ke arah tempat tinggal orang tua si bayi.
Uniknya lagi, posisi lubang kuburan dapat ditentukan oleh kasta keluarga mendiang bayinya. Ini artinya, semakin tinggi kasta keluarganya dalam masyarakat, maka akan semakin tinggi letak lubang kuburannya di batang pohon.
Akan tetapi, ibu kandung dari bayi yang meninggal tidak dapat melihat proses penyimpanan jenazah anaknya dan tidak diperbolehkan melihat kuburan anaknya selama kurang lebih satu tahun.
Artikel Terkait: 10 Destinasi Wisata di Makassar yang Wajib Dikunjungi
Sumber: Instagram @pamanridwan
Menurut kepercayaan nenek moyang masyarakat Toraja di masa lalu, melihat bayi yang sudah meninggal dapat menyebabkan sang ibu sedikit kesulitan mendapatkan bayi yang sehat di masa depan dan dianggap sebagai hal yang tidak pantas.
Dalam masyarakat Toraja juga terdapat larangan untuk menebang pohon Tarra. Jika sebuah pohon Tarra ditebang, maka si penebang dianggap telah memutus perjalanan si bayi menuju alam baka. Maka pohon Tarra yang dilubangi itu, tetap hidup seperti pohon yang lain sampai saat ini.
Menurut keterangan warga sekitar, semenjak masuknya agama, passiliran sudah mulai tak lagi digunakan untuk memakamkan bayi-bayi Toraja. Sejak sekitar tahun 1970-an, penguburan bayi ke dalam pohon tarra tak lagi dilakukan. Sekarang sudah dijadikan tempat destinasi wisata, tertarik kah ke sana?
Baca Juga:
https://id.theasianparent.com/bayi-meninggal-mendadak
https://id.theasianparent.com/resep-coto-makassar
https://id.theasianparent.com/artis-menikah-dengan-adat-bugis
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.