Mengenal Toxic Masculinity, Perilaku Maskulin yang Berdampak pada Kesehatan Mental

Berdampak negatif terhadap mental dan lingkungan sekitar, apa itu toxic masculinity?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Sejak kecil, kebanyakan anak laki-laki dididik untuk menjadi sosok pria yang kuat dan tangguh. Menangis seolah menjadi hal tabu untuk kaum adam. Tahukah Parents bahwa hal tersebut adalah contoh toxic masculinity?

Apa Itu Toxic Masculinity?

Toxic masculinity dapat didefinisikan sebagai pemikiran sempit perihal gender dan sifat laki-laki. Definisi maskulinitas sangat erat dan lekat dengan sifat pria yang identik akan kekerasan. Dengan kata lain, adalah hal wajar jika pria lebih dominan dan pantang mengekspresikan emosi.

Definisi senada dipaparkan dalam sebuah studi yang dimuat dalam Journal of Psychology. Dalam studi tersebut, toxic masculinity diakumulasikan sebagai kumpulan sifat maskulin dalam diri laki-laki yang digambarkan dominan, berkaitan dengan kekerasan, homophobia, dan cenderung merendahkan perempuan.

Melihat nama dan pengertiannya, tak heran jika maskulin jenis ini merupakan tipe maskulin yang beracun. Sederhananya, pria dengan toxic masculinity cenderung melebihkan standar maskulin yang seharusnya dimiliki laki-laki.

Artikel terkait: 5 Tanda Playing Victim, Salah Satunya Sering Menyalahkan Orang Lain

Contoh Perilaku Toxic Masculinity

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Agar lebih memahami, biasanya toxic masculinity merujuk pada beberapa contoh perilaku berikut ini:

  • Tidak boleh mengeluh dan menangis
  • Melakukan tindak kekerasan pada orang lain
  • Menunjukkan dominasi dan kekuasaan terhadap orang lain
  • Melakukan kekerasan dan agresivitas seksual terhadap pasangan dan orang lain
  • Merasa tidak perlu membela hak perempuan dan kaum marjinal lain
  • Mengagungkan tindakan berisiko, seperti menyetir kendaraan dengan kecepatan tinggi dan mengonsumsi obat terlarang
  • Enggan untuk melakukan aktivitas yang dianggap hanya milik perempuan, seperti memasak, menyapu rumah, berkebun, dan mengasuh anak.

Dampak Toxic Masculinity

Mirisnya, budaya ketimuran yang kental membuat perilaku semacam ini seolah hal yang lumrah di kalangan laki-laki. Padahal, perilaku seperti ini berbahaya karena membatasi sifat pria dalam lingkungan sosial dan mengekang sosialisasi dalam masyarakat.

Toxic masculinity secara tak langsung berdampak negatif pada laki-laki itu sendiri. Seorang anak yang dibesarkan dalam kungkungan mindset sempit khas toxic masculinity merasa ia hanya dapat diterima masyarakat sekitar jika menunjukkan perilaku toxic berlabel maskulin.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Sebagai contoh, larangan laki-laki untuk menangis karena dianggap bukan pria sejati. Menunjukkan kesedihan adalah hal terlarang, karena menunjukkannya di tempat umum dianggap sebagai karakteristik feminin dan hanya wajar bila dilakukan oleh perempuan.

Padahal, menumpuk emosi rentan mengakibatkan seseorang mengalami depresi. Terlebih, laki-laki terbilang jarang mencari pertolongan ahli seperti psikolog atau psikiater. Sekali lagi, langkah seperti ini seolah terlarang dilakukan oleh laki-laki. Laki-laki dituntut untuk menyelesaikan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Jika dibiarkan, lama kelamaan laki-laki tumbuh menjadi pribadi superior dan akhirnya tidak mau kalah dengan perempuan. Ketika memasuki bahtera rumah tangga, tak menutup kemungkinan laki-laki berani melakukan pelecehan sebagai bentuk power. Lebih buruknya lagi, perilaku maskulin beracun ini juga bisa memicu pelecehan seksual bahkan pemerkosaan.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Merujuk data lembaga non-profit Do Something, 85% dari korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi penyebab utama cedera pada perempuan. Lebih lanjut, toxic masculinity tak terkendali berefek seperti berikut:

  • Bullying atau perundungan
  • Kekerasan dalam rumah tangga terhadap pasangan dan anak
  • Kekerasan seksual terhadap pasangan
  • Penyalahgunaan obat-obatan terlarang
  • Bunuh diri
  • Trauma psikologis
  • Kurangnya persahabatan yang tulus

Artikel terkait: Dapat ganggu kesehatan mental, kenali tanda 8 ‘Toxic Family’ sekarang juga!

Lantas, mungkinkah toxic masculinity ini dicegah pada anak?

Jawabannya adalah sangat mungkin. Inilah peran penting orangtua agar mengajarkan anak, utamanya anak laki-laki sejak dini agar berani mengekspresikan dirinya hingga dewasa. Kiat berikut ini bisa Anda terapkan di rumah:

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan
  • Ajarkan anak bahwa ia boleh mengekspresikan emosi. Sampaikan kepada si kecil bahwa anak laki-laki juga boleh menangis dan mencurahkan apa yang ia rasakan. Contoh ini bisa Anda tunjukkan ketika anak menangis. Tahan diri untuk mengucapkan “anak laki-laki gak boleh cengeng”, namun berikan space untuk anak lelaki Anda mengeluarkan unek-uneknya. 
  • Hindari ujaran yang merendahkan perempuan. Langkah lain adalah hindari mengucapkan sesuatu yang merendahkan perempuan seperti “kamu kok bicaranya kayak perempuan ya?” atau “jalannya jangan kayak gitu, itu gayanya perempuan”.
  • Ajari konsep konsensual sejak dini yang sesuai dengan umur Si Kecil. Misalnya, sampaikan bahwa setiap orang memiliki batasan yang tidak bisa sembarangan dilewati. Anda juga bisa mengajarkan bahwa tubuh setiap orang adalah milik orang tersebut – sehingga ia tak bisa sembarangan menyentuh atau memeluk tanpa izin orang lain. Sedikit banyak, langkah ini efektif agar putra Anda kelak menghargai perempuan ketika dewasa.
  • Berhati-hati dalam memberikan media hiburan pada anak. Apabila Anda mendeteksi adanya elemen toxic masculinity di film atau buku kesukaannya, Anda bisa memberikan intervensi bahwa elemen tersebut tidak patut untuk dicontoh.
  • Libatkan anak dalam pekerjaan domestik. Salah satu maskulinitas beracun yang marak terjadi di Indonesia adalah anggapan bahwa tugas domestik rumah tangga adalah urusan perempuan. Hapuslah stigma ini dengan melibatkan si kecil dalam pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel, mencuci piring, juga memasak. Biasakan juga untuk tidak mengkotakkan pekerjaan rumah berdasarkan gender agar anak memiliki mindset yang luas.

Semoga informasi ini dapat membuka mata kita semua tentang toxic masculinity.

Baca juga:

Toxic Relationship: Bagaimana Hubungan Bisa Meracuni Diri Anda?

9 Ciri Orangtua yang Toxic, Hindari agar Tidak Jadi Salah Satunya!

Hati-hati, Berpikir Positif Secara Berlebihan Justru Bisa Jadi Toxic, Ini Tandanya!

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan