Tahu tidak, ternyata selalu berpikiran positif juga bisa berdampak negatif, lho ?Faktanya, jika terlalu menggeneralisasi perasaan bahagia, ujaran positif yang berlebihan dan selalu berpikir optimis di segala situasi bisa berujung pada toxic positivity.
Apa itu toxic positivity?
Mengutip Halodoc, Toxic positivity merupakan kondisi yang terjadi saat seseorang selalu beranggapan dengan berpikir positif, semua masalah dapat dilewati dengan baik. Orang ini percaya jika dengan selalu positif dapat menjadi cara yang tepat untuk mengatasi semua masalah. Pengidapnya kerap menolak perasaan emosi yang negatif dan akhirnya dapat bertumpuk dan menimbulkan gangguan saat kesulitan untuk dibendung.
Apapun yang berlebihan itu tidak baik, begitu pula dengan sikap positif. Di laman Psychology Today, terapis Samara Quintero, LMFT, CHT, menjelaskan, ketika sikap positif digunakan untuk menutupi atau membungkam pengalaman manusia, itu menjadi beracun.
Dengan menolak keberadaan perasaan tertentu, kita akan jatuh ke dalam keadaan penolakan dan emosi yang tertekan. Faktanya, manusia tidak sempurna. Kita mengalami rasa cemburu, marah, kesal, dan serakah. Hidup pun tidak selalu baik-baik saja. Dengan berpura-pura bahwa kita adalah “selalu positif sepanjang hari,” kita menyangkal validitas pengalaman manusia yang sejati.
Ekspresi umum toxic positivity
Di bawah ini adalah beberapa ekspresi umum dan pengalaman toxic positivity untuk membantu Anda mengenali bagaimana sikap itu muncul dalam kehidupan sehari-hari.
- Menyembunyikan/menutupi perasaan yang sebenarnya.
- Mencoba melanjutkan hidup dengan mengabaikan atau menghilangkan emosi negatif yang muncul.
- Merasa bersalah hanya karena merasakan emosi.
- Mengecilkan/meminimalisir pengalaman orang lain dengan pernyataan-pernyataan seolah baik. Misalnya kalimat, “Jangan menyerah, kamu pasti bisa” atau “Coba untuk melihat sisi positifnya.”
- Mencoba memberikan perspektif kepada seseorang alih-alih memvalidasi pengalaman emosional mereka. Misalnya dengan mengucapkan kalimat, “Kamu harus bisa lebih bersyukur, coba lihat penderitaan orang lain.”
- Mempermalukan atau menghukum orang lain karena mengekspresikan frustrasi atau apa pun selain ekspresi positif. Misalnya kalimat, “Ya ampun gitu aja sedih, dasar lemah.”
Dampak negatif pada diri sendiri dan orang lain
1. Kebingungan pada emosi sendiri
Seseorang yang terus fokus pada toxic positivity pada akhirnya dapat mengalami kebingungan oleh emosi yang timbul di dirinya. Gangguan tersebut dapat membuat pengidapnya tidak berpikir secara realistis.
Jika terus dibiarkan, rasa kebingungan akan sesuatu yang dihadapi dapat timbul, sehingga sulit untuk mencari solusi dari masalah tersebut. Pada akhirnya, rasa stres semakin bertambah dan menunggu untuk meledak.
2. Sulit menggambarkan perasaan
Pengidap toxic positivity akan sulit menggambarkan perasaan negatif pada dirinya. Oleh sebab itu, dia tidak dapat mengeluarkan rasa marah dan kesal terhadap suatu hal. Hal ini mengakibatkan orang di sekitarnya tidak tahu masalah yang dirasakan dan terus beranggapan jika semua baik-baik saja.
3. Merasa malu
Sebagian besar orang tidak ingin dilihat buruk. Jadi ketika pilihannya antara A) berani dan jujur atau B) berpura-pura seperti semuanya berjalan baik, kita mungkin tergoda untuk mengadopsi yang terakhir.
Rasa malu melumpuhkan semangat manusia dan salah satu perasaan paling tidak nyaman yang bisa kita rasakan. Seringkali, kita bahkan tidak menyadari bahwa kita merasa malu.
Untuk mengetahuinya, tanyakan pada diri sendiri, “Jika mereka tahu __________ tentang saya, apa yang akan mereka pikirkan?” atau “Sesuatu yang saya tidak ingin dunia tahu tentang saya adalah _______________.” Jika Anda bisa mengisinya dengan APA SAJA, entah itu situasi, perasaan, atau pengalaman, ada kemungkinan besar ada rasa malu di sekitar itu.
4. Isolasi diri & masalah relasional lainnya
Dengan menyangkal kenyataan, kita mulai hidup secara tidak otomatis dengan diri kita sendiri dan dengan dunia. Kita kehilangan koneksi dengan diri kita sendiri, sehingga sulit bagi orang lain untuk terhubung dan berhubungan dengan kita. Kita mungkin terlihat kuat dari luar, tetapi di dalam kita hanya anak kecil yang ketakutan dan merindukan pelukan.
Jika Anda tidak bisa jujur tentang perasaan Anda sendiri, bagaimana Anda bisa memberikan ruang bagi orang lain untuk mengungkapkan perasaan nyata di hadapan Anda? Dengan menciptakan dunia emosional palsu, kita menarik lebih banyak kepalsuan yang menghasilkan keintiman palsu dan persahabatan yang dangkal.
Bagaimana cara menghindarinya?
Ada kalanya kita perlu mengganti kalimat-kalimat bernada positif dengan penerimaan untuk mencegah toxic positivity. Ini bisa dilakukan pada diri sendiri dan orang lain terutama saat menerima curhat dari pasangan, teman atau keluarga.
- “Jangan pikirkan itu, tetap positif!” ganti dengan “Jelaskan apa yang kamu rasakan, aku siap mendengarkan.”
- “Don’t worry, be happy!” ganti dengan “Aku tahu kamu benar-benar stres, apa yang bisa kulakukan?”
- “Kamu tidak boleh gagal” ganti dengan “Kegagalan adalah bagian dari pertumbuhan dan kesuksesan.”
- “Positive vibes only!” ganti dengan “Aku di sini untukmu dalam keadaan baik maupun buruk.”
- “Kalau orang lain bisa, kenapa kamu enggak?” ganti dengan “Cerita hidup, kemampuan, batasan setiap orang berbeda, dan itu tidak apa-apa.”
- “Bersyukurlah, masih banyak yang lebih menderita dibanding kamu” ganti dengan “Oh, tampaknya itu buruk, saya ikut sedih kamu mengalaminya.”
Menjadi manusia yang sehat melibatkan kesadaran akan diri kita sendiri dan bagaimana kita hadir di dunia. Jika Anda menyadari diri Anda sebagai pemancar toxic positivity, saatnya untuk menghentikannya.
Jika Anda dipengaruhi oleh toxic positivity, ada baiknya untuk memutus rantai masalah tersebut. Apabila terus dibiarkan, masalah yang lebih besar akan terjadi dan Anda semakin tidak dapat mengendalikan diri. Saat Anda merasakan diri terlalu positif, ada baiknya untuk mendapatkan penanganan dari psikolog.
Baca juga:
Pernah cemas hingga berbulan-bulan? Waspada alami gangguan kesehatan mental ini!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.