Pernah terbayang tinggal terpisah dengan anak karena situasi tertentu? Aku mengalaminya. Tidak lama setelah dilahirkan, aku harus berpisah dengan anakku demi menggapai sebuah impian.
Inilah kisahku yang mencoba menjadi seorang ibu, istri, dan anak berbakti bagi kedua orangtua yang sempurna secara bersamaan.
Kisahku Sebagai Seorang Ibu yang Tinggal Terpisah dengan Anak
Sulitnya Menjalani Tiga Peran Sekaligus
Foto Ilustrasi
Bagi saya, menjadi seorang ibu, istri, dan anak secara bersamaan adalah hal yang paling sulit. Mungkin, itu salah satu alasan munculnya campaign ‘women support women’. Ada yang mengatakan bahwa kata-kata semangat itu enggak ada artinya. Tapi nyatanya, kata-kata semangat tersebut benar-benar berarti.
Cerita ini diawali dari impian kecil saya sebagai seorang perempuan yang ingin memiliki kehidupan rumah tangga sempurna. Menjadi istri, ibu, dan seorang anak yang baik secara bersamaan, dengan kondisi seimbang dan bahagia.
Ini mungkin bukan hanya impian saya, tetapi juga menjadi mimpi setiap perempuan. Tapi untuk menggapainya, ternyata semua itu harus kita lewati dengan pengorbanan dan kesabaran.
Saya adalah seorang istri dari laki-laki hebat, menjadi ibu dari anak laki-laki yang keren, sekaligus menjadi anak dari orangtua paling kuat. Kedengarannya mungkin bisa baik-baik saja seperti impian saya. Namun, kenyataan memberi fakta berkebalika. Tidak seperti di film, atau Instagram Story para selebgram yang kadang bikin iri.
Kewajiban saya untuk berbakti pada suami, mengurus dan membimbing anak, serta membahagiakan orangtua saya, menjadi hal yang harus saya capai dalam waktu bersamaan. Itu susah.
Sebagai seorang anak, saya dituntut membuat bangga orangtua dengan mengikuti harapan mereka.
Menjadi seorang istri, saya harus selalu berbakti kepada suami dan menyeimbangi serta menjembatani hubungan antara suami dan orangtua.
Sedangkan menjadi seorang ibu, saya memiliki tanggung jawab untuk merawat dan memberikan yang terbaik untuk anak.
Menjalani ketiga peran tersebut tidaklah mudah.
Tinggal Terpisah dengan Anak demi Membahagiaan Orangtua
Setelah menikah, orang tua saya menginginkan saya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Alhamdulillah, semua berjalan dengan baik. Saya lolos semua seleksi.
Namun, tentu ada yang dikorbankan. Suami mengikuti keputusan itu dan ikut tinggal di tempat di mana saya ditugaskan. Artinya, suami harus rela meninggalkan karirnya di luar Jawa.
Di saat bersamaan, kami juga dikaruniai putra pertama. Tentu saja, hal tersebut menjadi pelengkap sekaligus kebahagiaan bagi keluarga kami.
Akhirnya, semua harus kami mulai dari nol. Suami mulai pindah dan mencari pekerjaan baru, sedangkan saya harus mulai mengikuti masa orientasi. Tak hanya itu, kami juga harus merawat anak kami.
Awalnya baik-baik saja. Tapi tak lama kemudian timbul berbagai konflik. Orangtua saya menginginkan anak kami untuk tinggal sementara waktu bersama mereka. Karena mereka beranggapan, saya dan suami harus memulai kehidupan dari nol. Hidup kami belum stabil secara ekonomi, serta faktor lainnya.
Saat itu, hati saya sangat hancur. Tidak pernah terpikirkan saya akan tinggal terpisah dan berjauhan dari anak yang baru saya lahirkan.
Tidak pernah terbesit di impian saya, bahwa saya tidak akan merawat anak saya sendiri secara langsung. Berpisah dengan anak, saya jadi tidak merasakan pengalaman yang dialami seorang ibu pada umumnya. Seperti kelelahan karena begadang, bangun tengah malam untuk ganti popok dan meng-ASI-hi, dan sebagainya.
Sempat terlintas dalam pikiran saya untuk berhenti berkarier. Berpikir bahwa tumbuh kembang anak saya lebih penting daripada karier dan jabatan apa pun.
Namun, karena saya juga seorang anak, tentunya hal itu tidak bisa saya lakukan. Dengan hati yang hancur, suami terus memberikan dukungan dan meyakinkan saya bahwa kami akan segera membawa anak kami nantinya setelah semua bisa stabil.
Hati saya rasanya hancur, menerima kenyataan bahwa anak saya harus diberi susu formula, saya merasa gagal menjadi seorang ibu. Saya merasa menjadi ibu yang jahat bagi anak saya. Karena, untuk mengirimkan ASIP pada anak saya juga tidak memungkinkan. Penempatan kerja saya yang jauh dari tempat tinggal orangtua. Mereka berada di pedesaan dan aksesnya terbilang sulit.
Saat menjalani ini, setiap hari saya hanya bisa menangis dan berdoa. Berat sekali bagi saya harus jauh dari anak saya di umur yang sekecil itu.
Bahkan untuk mengikuti pertumbuhan dan melihat bagaimana pertama kali dia bisa melihat wajah saya pun, itu tidak bisa saya rasakan. Saya juga tidak bisa mengajari anak saya mengenal lingkungan sekitar atau bahkan mengajaknya ngobrol selepas bangun tidur.
Saya sangat ingin segera bertemu dengan anak saya. Tapi di sisi lain, saya juga tidak ingin membuat orangtua saya kecewa. Apalahi kalau harus terus-terusan berkonflik dengan mereka.
Tidak Ada yang Sempurna
Sampai akhirnya, berjalan dua bulan saya jauh dari anak, saya menyadari, semua peran ini tidak bisa dilakukan secara sempurna.
Saya tidak bisa menjadi istri, ibu, sekaligus seorang anak secara sempurna di waktu bersamaan. Bagaimana pun itu, ada salah satunya yang harus saya korbankan.
Mungkin saat ini, merupakan waktu bagi saya untuk melanjutkan impian orangtua dengan menjadi seorang PNS terlebih dulu. Juga, fokus mendampingi suami saya untuk mengejar karirnya.
Sementara itu, tugas saya menjadi seorang ibu bagi anak saya, kini bisa terwakilkan dulu oleh kakek dan neneknya. Namun, percayalah, semua yang saya lakukan saat ini juga semata-mata demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak saya di kemudian hari.
Saya yakin, meski tinggal berjauhan, anak saya tetap akan bangga pada orangtuanya nanti. Sebagai bentuk penyemangat diri, saya juga selalu mengatakan pada diri sendiri, bahwa saya adalah perempuan yang hebat.
Saya tidak bisa berdiam diri dan meratapi kesedihan juga keterpurukan bahwa saya harus berpisah dengan anak. Sebaliknya, saya harus terus berdiri tegak, tetap berusaha mengejar mimpi demi menjadi istri, ibu, sekaligus seorang anak dengan sebaik mungkin.
Bisa melihat senyum anak saya meski melalui video call saja, itu sudah sangat berarti bagi saya saat ini. Saya juga yakin, anak saya akan tumbuh menjadi anak yang kuat dan hebat nantinya.
Itulah kisah saya sebagai seorang ibu yang harus tinggal terpisah dengan anak demi menggapai impian. Percayalah, semua perempuan hebat dalam keadaan apa pun. Menjadi wanita karir maupun ibu rumah tangga, semua perempuan tetap akan tetap dipandang hebat di mata anak-anaknya.
***
Artikel ini ditulis oleh Bunda Rifqhatin Ulya.
Baca juga:
8 Tips Memberikan MPASI pada Bayi agar Lancar dan Bebas Drama
Tidak Semua Ibu Hamil Menjalani Masa Kehamilan Mulus
"Tinggalkan Tradisi Setelah Melahirkan yang Salah," Pesan Seorang Ibu
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.