Popularitas tari jaipongan adalah hal yang tidak perlu diragukan lagi. Namun banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah Tari Jaipong hingga terkenal seperti sekarang. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa tarian ini diciptakan oleh seorang seniman berbakat dari Bandung, Jawa Barat, bernama Gugum Gumbira.
Tarian ini tercipta dengan menggabungkan berbagai kesenian tradisional seperti Pencak Silat, Wayang Golek dan Ketuk Tilu. Itulah mengapa gerakan dalam tarian ini sangat energik sekaligus unik. Apalagi ada iringan alat musik khas sehingga tarian ini semakin semarak.
Sebenarnya bagaimana sejarah dan apa saja filosofi tari Jaipong yang melegenda ini? Berikut ini penjelasannya.
Artikel terkait: Tari Gandrung Banyuwangi, Tradisi Indonesia yang Bisa Diajarkan ke Anak
Sejarah Tari Jaipong
Tari Jaipongan lahir dari kreativitas seorang seniman bernama H. Suanda sekitar tahun 1976 di Karawang. Tarian ini adalah karya seni yang diciptakan dengan menggabungkan berbagai elemen seni tradisional Karawang seperti wayang golek, pencak silat, ketuk tilu dan sebagainya.
Di Karawang sendiri, tari jaipongan tumbuh pesat sejak tahun 1976. Perkembangan ini ditandai dengan kemunculan rekaman jaipongan Suanda Group menggunakan instrumen sederhana seperti kecrek, goong, rebab dan sinden atau gendang.
Tanpa diduga, kemunculan tari jaipongan ini disambut dengan antusias oleh masyarakat. Tari Jaipong mulai menjadi hiburan masyarakat karawang serta mendapatkan apresiasi yang cukup hangat dari berbagai lapisan masyarakat karawang. Ini pun menjadi fenomena baru dalam ruang seni budaya karawang, khususnya seni dalam pertunjukan hiburan rakyat.
Saat itu, posisi tari jaipong menjadi alternatif seni hiburan dan pertunjukan daripada seni tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang lebih dulu di karawang seperti topeng banjet, pencak silat, wayang golek dan ketuk tilu.
Artikel terkait: Mengulas Sejarah dan Makna di Balik Kesenian Reog Ponorogo untuk Diajarkan pada Anak
Jaipong yang asli Karawang sejak tahun 1979 aslinya berasal dari tarian tepang Topeng lalu dibawa ke Bandung oleh seniman di sana yaitu Gugum Gumilar. Kemudian, tarian ini dikemas dalam bentuk rekaman. Para seniman dari Karawang dibawa oleh Suanda ke Bandung. Setelah berhasil memperkenalkan tari Jaipong di Bandung dan mulai terkenal, jaipong yang bagus justru yang tampil di Bandung.
Sedangkan Karawang hanya dikenal dengan asal gendangnya atau nayaga (pemain musik). Awalnya, tarian Jaipong dibawa ke Kota Bandung oleh seniman bernama Gugum Gumbira tahun 1960-an. Tujuannya yaitu mengembangkan tarian dari Karawang di Kota Bandung dan menciptakan suatu jenis musik dan tarian pergaulan yang dipelajari dari kekayaan seni tradisi Nusantara.
Sekalipun tari Jaipong termasuk tari yang relatif baru namun tari jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sebelumnya sudah berkembang di tengah masyarakat yaitu Ronggeng atau Kliningan.
Filosofi Tari Jaipong
Sebelum tari Jaipong muncul, menggunakan tarian khususnya oleh kalangan perempuan bangsawan dan kalangan konservatif dianggap tabu. Ini karena citra penari yang disebut ronggeng sudah rusak. Lama-lama Tayuban yang lebih santun diizinkan asalkan si penari adalah laki-laki. Jikalau ada penari perempuan, maka penari tersebut harus berasal dari kalangan rakyat/somah.
Ketika tari jaipong muncul, penyampaiannya dalam masyarakat menjadi berbeda. Setiap gerakan memiliki filosofi tersendiri. Dalam tarian, kerap ditemukan ungkapan yang menggambarkan kondisi budaya dan masyarakat. Sang pencipta tarian biasanya memiliki pemikiran tersendiri dimana pemikiran tersebut diubah dalam bentuk gerakan tari.
Tarian menjadi media untuk menyampaikan aspirasi yang sulit diucapkan lewat kata-kata. Kalau perempuan sangat sulit menyatakan bahwa mereka ingin keluar dari kungkungan stereotip sosok perempuan yang ideal serta aturan mengikat yang membatasi ruang gerak maka bisa disampaikan aspirasinya melalui media tari. Dalam tataran Sunda, gerakan dalam tari Jaipong bisa menyampaikan keresahan ini.
Jaipong sejak penampilannya pertama kali sudah dianggap sebagai tarian modern yang bisa menggebrak gaya konservatif. Selain menyuarakan emansipasi, jaipong memperlihatkan simbol kebebasan dan pemberontakan melalui gerakan kepala, tubuh, tangan dan kaki yang tampak sangat leluasa.
Artikel terkait: Sejarah dan Filosofi Tari Tradisional Bali, Yuk Kenalkan pada Anak
Gerakan Gesit ala Pencak Silat
Gerakan pencak silat dalam tari Jaipong melambangkan kesetaraan gender. Sedangkan gerakan yang menunjukkan kejantanan bisa disesuaikan sehingga mampu memperlihatkan keindahan dan kelembutan perempuan namun menggunakan kekuatan yang tak berbeda dengan lelaki.
Gerakan Lembut
Gerak cingeus yang tergambar lewat kegesitan gerakan tubuh dan kepala menunjukkan keluwesan wanita dalam menghadapi tantangan hidup. Gerakan kaki dalam jaipong seperti sonteng, depok dan sebagainya yang menggambarkan kegesitan serta adaptasi perempuan Sunda masa kini. Gerakan liukan tubuh serta kelenturan anggota badan menunjukkan gambaran fleksibilitas perempuan dalam menghadapi perubahan dalam persoalan hidup.
Jika dilihat dari variasi tempo musik dan dinamika gerakan yang kadang cepat, sedang dan lambat bisa dilihat bahwa perempuan Sunda tidak monoton dan bisa menyelaraskan diri sehingga tampak tidak membosankan.
Secara umum, gerakan dalam tari Jaipong telah menggambarkan perempuan Sunda masa kini yang energik, penuh semangat dan tidak pantang menyerah, ramah, berani, genit, gesit dan lincah tetapi tetap dan kuat dan santun. Itulah filosofi tari Jaipong.
***
Itulah informasi sekilas mengenai sejarah dan filosofi tari jaipong. Semoga putra putri kita bisa ambil peran dalam melestarikan seni budaya asli Indonesia seperti tari jaipongan ini.
Baca juga:
Sejarah dan Teknik Masak Tradisional Ayam Betutu Khas Bali, Warisan Kerajaan Majapahit!