Ketika seorang ibu membuat kesalahan membuat status menghina di Facebook tentang anak autis, pantaskah kita sesama ibu justru membully-nya?
Beberapa hari lalu, jagad social media sempat ramai lantaran seorang ibu berinisial DW membuat status menghina di Facebook mengenai anak autis. Curhatannya dianggap kejam, dan tidak menggunakan hati karena dinilai merendahkan seorang anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Status menghina di Facebook tentang anak autis
Sontak saja hal ini memancing emosi para warganet, khususnya para orangtua. DW menilai anak autis terlalu ‘berisik’ dan sangat menggangu.
Berikut kutipan status yang dituliskan laman Facebook miliknya:
“Masih terbayang dikira itu org 1 pesawat sama kita, alhamdulillah ternyata ngga… Karna klo 1 pesawat pasti terganggu banget penumpang yang lainnya jg (terutama dgn anak sy)!!.
#Nauzubillahminzaliq
#AanakidiyotBerisikGaJelas
#AnakAutisBikinSakitKepala
#NGOCEH2GAJELAS!!
*AstaghfirullahHalAdzim (Khilaf),” tulisnya.
Kutipan status DW yang dikutip dari laman Tribun News jelas mengudang banyak respon, khususnya respon yang tidak kalah ‘menyeramkan’ karena berisi kalimat makian. Pertanyaannya, pantaskah status seorang ibu yang kita anggap begitu kasar dibalas dengan hal yang serupa?
Rasanya tidak. Kadangkala Parents lupa, selalu berusaha mengajarkan anak-anaknya untuk bisa berempati, namun tanpa disadari, diri sendiri belum mampu melakukannya. Bukankah Parents merupakan role model anak?
Walau banyak yang memberikan respon dengan kalimat negatif dalam status DW, Grace Melia, pendiri Rumah Rubella yang memiliki anak berkebutuhan ini justru memberikan pandangan berbeda. Parents perlu tahu cara Grace Melia merespon saat ada ibu membuat status menghina di Facebook tentang anak autis.
Bagaimana merespon saat ada Ibu yang membuat kesalahan membuat status menghina di Facebook ?
Berikut komentar Grace Melia, seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus tentang cara merespon dan memberikan komentar yang tepat saat seseorang salah membuat status menghina di Facebook .
Sedang ramai status ibu DW yang mengatakan anak autisme/ABK itu berisik bikin sakit kepala. Banyak banget yang colek aku, mengajak aku memviralkan agar ybs kapok.
Aku cek statusnya karena banyak yang kirim screenshot-nya. Oke, langsung gemes. Hape kutaroh, terus aku makan tempe gembus –> oke ini tidak penting.
Setelah kenyang dan ‘lupa’ sama gemes keselnya, aku buka lagi statusnya dan aku baca lagi. Ternyata jadi nggak sekesel sebelumnya.
Ibu yang nggak punya anak berkebutuhan khusus, (buatku) wajar kalau ngerasa ABK itu berisik. Aku loh yang punya anak berkebutuhan khusus (anakku sendiri – Ubii, 5 tahun 7 bulan) kalau Ubii lagi tantrum teriak-teriak padahal di rumah nggak ‘mengganggu’ orang lain, pun ngerasa Ubii berisik. Kadang sampai pening sendiri, terutama kalau aku lagi capek udah seharian berkegiatan. Padahal anak sendiri.
Aiden (adiknya Ubii, 2 tahun 4 bulan) kalau lagi nanya teruusss padahal udah dijawab tapi tetep nanya, aku kadang juga ngerasa dia berisik, kalau aku pas lagi capek-capeknya / aku lagi ada masalah.
Ada kah yang sama sekali tidak pernah membatin anaknya berisik saat sedang capek atau saat sedang menghadapi problem hidup? Kalau ada, hebat, aku salut.
Aku nggak membenarkan status ibu DW. Buatku, statusnya bikin sedih. Apalagi aku sendiri punya ABK. Jadi sedih bayangin Ubii yang masih belum bisa kontrol syaraf, otot, perilaku, dll nya sehingga dia mengungkapkan keinginannya dengan ‘berisik’ – suer sedih.
Tapi aku nggak ngeliat sih urgensi nya kenapa aku harus ‘bertindak’ terhadap ibu DW. Toh pihak keluarga sudah memohon maaf. Banyak yang protes kenapa bukan Ibu DW nya sendiri yang minta maaf, kenapa malah tutup akun. Yaa, ini serba salah sih.
Kasus begini, kalau ybs-nya langsung minta maaf, dikomen ‘cepet amat nyadarnya, beneran nggak udah sadar?’ atau ‘kok kayak nggak tulus’
There will always be judgments.
Suami Ibu DW membuat permohonan maaf di group RRR (Rumah Ramah Rubella). Ternyata banyak yang kasih komentar (buatku) kejam.
“ayo gerudug rumahnya, alamatnya di blablabla” (lalu kasih map – sudah kuhapus)
“semoga kamu merasakan punya ABK”
“si peak ini sombong banget blablabla”
“si goblok blablabla”
Buatku, status Ibu DW kurang baik, YA.
Buatku, ketika ada yang salah & khilaf, kita wajib mengingatkan, YA.
TAPI, ada adab dalam mengingatkan. Dan mengingatkan itu beda dengan mempermalukan dan mengutuk.
Berkata beliau tidak bisa menjaga lisan, tapi kita pun mengetikkan komen-komen seperti itu, lantas apa bedanya?
“biar kapok dsb”
Sekarang beliau viral di-bully sampai tutup akun. Apa itu belum cukup mendefinisikan tujuan biar kapok? Harus gimana lagi dong? Gusti yang punya dunia dan seisinya aja Maha Pengampun. Kita cuma rengginang di kaleng Khong Guan kok nggak mau memaafkan.
“Apa lantas kita tidak boleh marah dan tersinggung atas status Ibu DW yang membuat status di Facebook yang menghina anak autis?”
BOLEH! Manusiawi lah kalau kita marah dan kecewa, apalagi bagi kita yang punya ABK. Kita toh bukan malaikat yang berhati emas senantiasa.
Tapi dengan kemarahan membabibuta, mendoakan yang buruk untuk ybs, mengata-ngatai ybs dengan kata kasar, berencana menggerudug rumahnya, I guess that’s too much. Untungnya apa untuk kita? Buang-buang waktu dan energi, iya. Dapet manfaat positif, nggak sama sekali.
Kayaknya lebih bermanfaat yah kalau kita channel kemarahan kita biar outputnya lebih baik.
– Bagi yang punya ABK –> reminder untuk kita supaya kita lebih sabar menghadapi ABK kita, lebih ikhlas, lebih berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat mengenai ABK / kondisi yang dialami ABK kita.
– Bagi yang tidak punya ABK –> reminder untuk mengajarkan pada anak-anaknya kelak agar berempati dan tidak membully teman-temannya yang punya kebutuhan khusus.
Memiliki anak berkebutuhan khusus sering kali disebut sebagai ladang pahala, ladang iman dan kesabaran.
Di saat-saat seperti inilah ketika kita terusik karena orang lain membully ABK, waktu yang pas untuk mengeluarkan tabungan keikhlasan yang kita punya.
Ikhlas punya ABK itu luas. Bukan hanya saat harus mengantar anak terapi dan berobat. Bukan hanya saat menghadapi perilaku mereka yang sulit. Bukan hanya saat kita kebingungan mencari sekolah yang bisa menerima anak-anak istimewa kita. Tapi juga di saat seperti ini, saat menghadapi ada orang-orang yang mencibir ABK.
Memang nggak gampang.
Makanya, jauhkan sosmed ketika kita marah. Ngemil dulu, cuci muka dulu, ngopi dulu, cabut bulu ketek dulu, Istigfar dulu, etc. Jadi ketika kita buka lagi statusnya, kita bisa mengingatkan dengan adab yang baik.
Buatku, ini adalah motivasi untuk terus memberi edukasi tentang anak berkebutuhan khusus. Mari, terus edukasi. Masyarakat awam tidak akan paham tentang ABK kalau nggak dikasih informasi.
Mari rangkul mereka masyarakat awam untuk berempati pada ABK karena mereka betul sudah mengerti, bukan hanya karena mereka takut dengan kemarahan/ketidakterimaan kita sebagai orangtua ABK.
Perjalanan masih panjang. Let’s move on.
Opini pribadi, tidak mewakili komunitas
Love,
Grace Melia
Ibu dari seorang putri berkebutuhan khusus dengan ketulian, cerebral palsy, retardasi mental, dan global developmental delay.
Parents setuju dengan pandangan Grace Melia? Bagaimana cara yang tepat merespon jika ada seseorang yang membuat kesalahan membuat status di Facebook?
Seperti yang dikatakan oleh Vera Itabiliana Hadiwidjojo, psikolog anak dan remaja, “Share the news, but don’t let ourself be the bully. Watch your comments,”.
Baca juga: Empati Menjadikan Anak Sukses Di Masa Depan
Lagi pula, DW pun sudah megajukan permohonan maafnya di laman Facebook-nya.
Mengutip yang ditulis Grace Melia, kalau Gusti yang punya dunia dan seisinya saja Maha Pengampun, masa kita cuma rengginang di kaleng Khong Guan kok nggak mau memaafkan?
Baca juga:
Stop hakimi ibu depresi, ibu ini ajak kita berempati pada kasus ibu bunuh diri bersama anak
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.