Parents, masih ingat kasus Evy Suliastin, ibu yang bunuh diri bersama 3 anaknya yang kami tulis beberapa waktu lalu? Kasus ini ternyata mengundang empati sesama ibu yang mencoba memahami mengapa seorang ibu nekat mengajak anaknya bunuh diri.
Di antara hujatan dan penghakiman terhadap Evy, masih ada seorang ibu yang memberi pandangan berbeda. Raidah Athirah menuliskan dalam status Facebook-nya mengenai pengalamannya sendiri yang mirip dengan apa yang dialami oleh Evy.
Curahan hati sebagai bentuk empati sesama ibu.
Empati sesama ibu terhadap ibu yang bunuh diri
Evy Tak Jahat
Aku hampir seperti Evy. Umurku sama persis, dua puluh enam tahun kala itu.
Hampir saja aku membunuh. Hampir saja aku terbunuh.
Dalam puncak suhu dingin menusuk, dalam gelap hati dan pikiran menekan. Kegilaanku hampir menekanku bulat-bulat.
Aku menderita anemia akut. Aku mengalami sakit tulang punggung setelah operasi ceasar.
Kehamilanku berat dan berakhir pendarahan. Ketika aku sedikit ingin membagi rasa lelah kepada orang-orang terdekat, aku disebut kurang iman.
Aku disebut manja ketika kulit perutku masih luka menganga. Aku diejek ketika tidak bisa menggendong bayi merahku.
Aku ditertawakan ketika bayiku menangis dan air susuku tertahan dalam duka dada. Rumah sedikit berantakan, aku disebut pemalas.
Suamiku kena PHK, aku dibilang beban karena tak bekerja. Bayiku sakit lagi-lagi dianggap ibu yang tak becus merawat.
Saat keluar rumah, lagi-lagi aku mengalami cobaan. Lingkungan yang asing dan aku dilecehkan.
Tak sampai di situ, cinta suciku dipertanyakan. Kesetianku diragukan.
Aku dicabik dalam-dalam dengan kata dan tuduhan. Aku hampir seperti Evy.
Membunuh dan terbunuh karena sakit jiwaku tak kunjung sembuh.
Atas izin Tuhan, aku tertolong. Aku menemukan penawar dari semua gejolak batinku.
Kecewaku terobati. Sakit ini menjadi jalan keberkahan.
Aku membagi lukaku dalam doa dan aksara, sedangkan Evy yang malang dikhianati. Sedangkan Evy yang ranum, layu dalam lelah tanpa dukungan.
Sedangkan Evy yang penyayang, diam-diam menyimpan kemarahan berbisa.
***
Ibu ini berusaha memahami sudut pandang ibu yang depresi
Aku yakin Evy tak jahat. Jiwa Evy dijahati.
Dituduh tak setia. Rahimnya saja masih merah berdarah.
Lelahnya saja tak ada yang bisa membantu. Itulah mengapa putus asa datang menggoda.
Bisikan merayunya, ada satu jalan untuk bebas dari nestapa.
“Bunuh anak-anakmu…”
“Bunuh dirimu…”
“Tinggalkan manusia-manusia dzolim itu… tak ada yang sayang padamu. Hanya kematian yang bisa menyadarkan mereka.”
Aku yakin Evy tak jahat. Ia korban dari orang-orang yang tak takut Tuhan. Ayah anak-anaknya tak kunjung berkunjung.
Nafkah lahir dan batin kering tak ada yang bertanggung jawab. Suara-suara menyalahkan terngiang tiap hari.
Beban jiwanya sudah sangat bertambah. Ia menanggung beban yang amat banyak.
Pahit dari masa kecilnya. Ditinggalkan di panti asuhan karena ibu harus mencari nafkah ke luar, tiada sosok ayah karena kematian.
Ia bukan perempuan pertama ayah anak-anaknya. Ia sudah cukup mengalah seperti halnya sebagian perempuan-perempuan malang yang tak sanggup menahan rasa dijahati.
Ia disebut penjahat, membunuh anak-anak rahimnya. Ia disebut tersangka.
Hakikatnya, jiwa malangnya terbunuh dalam pernikahan, tapi tetap saja ia disebut penjahat. Sampai kapan kisah pilu Evy ini akan berakhir?
Sampai suami sadar akan tanggung jawabnya, sampai keluarga belajar menyayangi. Sampai masyarakat belajar berempati, sampai negara memberikan perlindungan kepada hak-hak berkeluarga.
Polandia, 21 Januari 2018
– Ibu yang pernah berjuang melewati sakitnya baby blues dan Post Partum Depression.
Mari belajar empati sesama ibu
*Curahan hati saya saya untuk saudariku Evy Suliastin Agustin yang berumur sama dengan saya 26 tahun ketika mengalami baby blues dan Post Partum Depression.
Ibu malang ini membunuh tiga anaknya: Sayid Mohammad Syaiful Alfaqih (7), Bara Viananda Umi Ayu Qurani (4), dan Umi Fauziah (4 bulan). Ia juga berupaya melakukan bunuh diri namun tak berhasil.
Ia berstatus istri kedua F. Ia masih dalam perawatan RSUD Jombang.
Ia kini dijadikan tersangka. Saya berharap tidak akan ada lagi muncul Evy-Evy lainnya.
Cukup sudah! Mari belajar empati sesama ibu.
Saya bukan membela Evy. Saya membela masa lalu saya yang menjadikan kaki saya hari ini atas izin Allah kuat berpijak.
Saya pernah dihina-hina kurang iman. Alhamdulillah saya menerimanya dan belajar lebih sabar.
Saya bolak-balik ke psikolog setelah jujur mengakui bahwa saya sakit dan butuh pertolongan. Masyarakat kita belum terlalu menyadari akan bahaya ibu yang mengalami baby blues dan menganggapnya sebagai hal biasa.
Bahkan ada yang sampai hati berkata judes dan nyinyir kepada ibu-ibu muda ini.
Atas izin Allah, saya menulis curahan hati dan menyimpannya di kotak hati sampai saat ini.
Apa yang ditulis oleh Raidah menjadi pengingat bagi kita untuk tidak mudah menghakimi ibu lain. Kita tidak pernah tahu seberapa berat beban hidup yang ia tanggung.
Yuk, Bun, mari lebih empati sesama ibu karena masing-masing memiliki pergulatannya sendiri. Bagikan artikel ini agar semakin banyak ibu yang memahami.
Baca juga:
3 Alasan mengapa Ibu yang depresi pasca melahirkan gagal mencari pertolongan
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.