Tantangan memiliki anak remaja tentu saja akan jauh berbeda ketika masih memiliki anak usia toddler. Setidaknya, salah satu hal yang perlu perhatikan adalah bagaimana memahami perkembangan emosi remaja.
***
Pemerintah kota/ kabupaten Purwakarta beberapa waktu lalu menerapkan aturan yang cukup kontroversial dan dibuat dengan alasan untuk melindungi kehormatan remaja dan keluarganya. Dalam peraturan itu disebutkan mereka tak boleh berkeliaran dengan lawan jenis di atas jam 9 malam. Jika ada yang melanggar maka Pak Bupati siap menikahkan mereka hari itu juga.
Perkembangan emosi remaja yang tidak stabil membuat mereka rentan terguncang ketika menghadapi masalah kecil.
Memang nggak salah. Siapa yang tak waswas membaca atau mendengar tentang betapa rentannya para remaja tersesat dalam hal-hal yang merusak masa depannya?
Tapi bagaimana kalau para remaja yang berkeliaran di jalan itu lagi dalam perjalanan pulang mengerjakan tugas sekolah, atau karena mereka pulang dari bekerja untuk mencari tambahan uang saku? Apa ya musti dinikahkan paksa juga? Hmm .. jangan-jangan kitalah yang paranoid dan terlalu berprasangka buruk pada mereka.
Di usia antara 14 hingga 18 tahun sesosok individu sudah tak lagi pantas disebut anak-anak. Tapi mereka juga belum pantas disebut orang dewasa. Serba tanggung. ‘Jika bukan anak-anak, lalu siapa aku?’ ‘Aku sudah besar, tapi mengapa mereka tak mau mendengarku?’ Itu hanya sedikit contoh apa yang kira-kira muncul dalam hati seorang remaja.
Ketidakjelasan ini menimbulkan kegalauan dan mempengaruhi perkembangan emosi remaja yang sedang berusaha memahami dunia. Mereka mungkin akan mudah tersinggung, suka membantah atau bahkan menjauhi Anda.
Kegamangan remaja menjelaskan pada dirinya sendiri tentang identitas dirinya membuatnya terpaku pada hal itu sepanjang waktu. Ia lupa bahwa dia masih memiliki kita, keluarganya. Namun itu pun bukan kesalahannya 100 persen.
‘Hai Dunia, lihatlah aku!’
Saya punya seorang teman yang masih SMP ketika saya bekerja di warnet. Lama tak bertemu, suatu hari saya melihatnya di kolam renang. Melihat rambutnya yang mohawk dan celananya yang robek-robek, saya sudah tahu dia sekarang anak punk.
‘Manakah jalan yang harus kupilih?’
Waktu saya bertanya mengapa, dia menjawab, “Aku ketemu teman baru di warung kopi, Mbak. Aku waktu itu kelas 3 SMP. Teman baruku itu enak banget diajak ngobrol dan kalo ngomong sama dia kayaknya aku ini seumuran sama dia.
Kayak aku ini bukan anak kecil. Aku seneng banget, dia nggak ngeremehin aku. Padahal umur dia itu udah banyak. Nah, temanku ini punk, aku senang dengan sikapnya dan aku pengen seperti dia.”
Keinginan untuk dianggap, diperhitungkan dan didengarkan sebenarnya bukan hanya milik para remaja. Hanya saja keinginan ini lebih kuat di fase remaja karena mereka sedang berusaha keras mencari jati diri. Sangat penting bagi kita untuk tidak menyepelekan keberadaan remaja agar mereka bisa menghargai dirinya sendiri.
Seseorang yang mampu menghargai dirinya sendiri akan berpikir dua kali saat tergoda melakukan perbuatan yang tidak bermoral. Mereka pun juga akan terhindar dari depresi ketika gagal membuat dunia memperhitungkan kehadirannya.
Anda sudah berniat menghargai para remaja ketika mendengarkan mereka bicara, apa pendapat mereka tentang suatu masalah dan tanyakan apa alasan mereka. Meski kita tahu pendapat mereka amat konyol, jangan tertawa. Biarkan mereka bicara dan perlahan Anda pun akan mengerti apa sesungguhnya yang mereka pikirkan dan rasakan.
Anugerah terbesar bagi seorang remaja
Saya sama seperti Anda, pernah jadi remaja dan pernah juga berbuat kesalahan. Saya mengalami masa remaja yang ‘sulit’, tapi berhasil selamat. Itu semua karena saya memiliki orangtua terbaik yang tak pernah berhenti menyayangi meski saya sangat nakal.
Orangtua yang terlalu sibuk bekerja tidak akan memahami tentang perkembangan emosi remaja. Begitu juga orangtua yang terlalu memberikan kebebasan atau mengekang anak. Kita membatasi anak dengan peraturan, memanjakan mereka dengan fasilitas dengan harapan agar anak menjadi ‘baik dan berguna’. Tapi itu ‘kan harapan dan keinginan Anda.
Orangtua yang bisa menerima sikap anak dan mencoba memahami tindakannya adalahanugerah terbesar bagi seorang remaja.
Manusia yang hanya melihat semua persoalan dari satu sudut pandang tidak akan pernah mengerti, atau mencoba mengerti, apa yang dirasakan orang lain. Termasuk anak mereka sendiri. Pernahkah kita mencoba sekali saja dalam tugas kita sebagai orangtua, memposisikan diri sebagai mereka agar bisa merasakan apa yang mereka rasakan?
Parents, semoga ini bisa menjadi pertimbangan Anda saat menyikapi perkembangan emosi remaja yang tidak selalu menyenangkan hati Anda.
Referensi: www.merdeka.com
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.