Beberapa tahun belakangan ini, institusi penegakan hukum seperti kejaksaan dan juga kepolisian tengah gencar menerapkan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif. Menurut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, restorative justice adalah salah satu bentuk penyelesaian permasalahan yang dinilai bisa memenuhi rasa keadilan.
Mengutip dari laman Kompas, Jenderal Sigit Prabowo memang diketahui beberapa kali menyebut tentang restorative justice dalam penyelesaian perkara oleh anggota Polri. Selain itu, Sigit bahkan sampai mengeluarkan surat edaran yang meminta kepada penyidik untuk mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
Hal tersebut dikarenakan beliau tidak ingin masyarakat merasa bahwa hukum Indonesia tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Oleh karenanya, Sigit juga secara khusus meminta kepada Kabareskrim Komjen Agus Andrianto untuk mengawal penegakan hukum yang benar-benar adil, tanpa pandang bulu.
Pengertian Restorative Justice
Menurut pakar hukum pidana, Mardjono Reksodiputro mengatakan, restorative justice adalah sebuah proses yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.
Tidak hanya itu, Mardjono juga menjelaskan bahwa pendekatan ini sebenarnya adalah salah satu bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini. Yang mana sistem peradilan pidana di sini lebih menekankan keadilan pada pembalasan, dan seringkali mengabaikan peran korban.
Sementara itu, menurut Kevin I. Minor dan J.T. Morrison, keadilan restoratif ini adalah sebuah tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk meringankan kerugian dan memudahkan terjadinya perdamaian antara semua pihak yang terlibat.
Sedangkan menurut Mahkamah Agung, restorative justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan sebagai alat pemulihan dan sudah digunakan oleh MA sendiri.
Umumnya, restorative justice memiliki tujuan untuk menciptakan kesepakatan yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. Sehingga, prinsip utama dari pendekatan ini adalah selalu mengedepankan pemulihan agar keadaan kembali seperti semula, dan memulihkan pola hubungan baik dalam suatu masyarakat.
Dalam proses restorative justice, perkara tindak pidana akan diselesaikan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku maupun korban, dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil secara bersama-sama.
Artikel Terkait: Berteriak kepada Anak, Bagaimana Hukumnya Menurut Islam?
Sejarah Restorative Justice
Pendekatan restorative justice pertama kali digunakan di Kanada pada tahun 1970 silam. Saat itu, terdapat sebuah program bernama Victim Offender Mediation (VOM). Yaitu sebuah program penyelesaian perkara di luar peradilan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Program VOM itu awalnya dilaksanakan sebagai alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak. Jadi, sebelum dilaksanakan sidang, pihak pelaku dan korban diperbolehkan bertemu untuk menyusun usulan hukum. Yang nantinya usulan hukum tersebut menjadi salah satu pertimbangan hakim.
Dalam 20 tahun kemudian, pendekatan restorative justice pun mengalami perkembangan yang sangat pesat di beberapa negara Eropa lainnya, seperti Kanada, Inggris, dan lain sebagainya. Termasuk juga Indonesia yang mulai menerapkan pendekatan tersebut.
Jenis Kasus yang Bisa Diselesaikan dengan Restorative Justice
Pada 22 Februari 2021, Kapolri menerbitkan sebuah surat edaran yang isinya membahas tentang pedoman penangan perkara kejahatan siber yang menggunakan UU ITE. Dalam surat tersebut, Kapolri juga mengungkapkan jenis kasus apa saja yang bisa diselesaikan dengan pendekatan restorative justice.
Di antaranya adalah kasus-kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau perkara. Sehingga pelaku dari ketiga kasus tersebut tidak akan ditahan oleh penyidik Polri.
Sedangkan, kasus yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan ini adalah tindak pidana yang mengandung unsur SARA, diskriminasi ras dan etnis, hingga penyebaran berita HOAX.
Artikel Terkait: Dilihat dari Agama dan Negara Ini Hukum Perceraian karena Istri Selingkuh
Syarat Menggunakan Restorative Justice
Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, pendekatan restorative justice tidak bisa digunakan sembarangan. Tetap harus memenuhi sejumlah syarat, di antaranya adalah:
– Pelaku baru melakukan tindak pidana yang pertama
– Total kerugian di bawah Rp2,5 juta
– Adanya perjanjian atau kesepakatan antara pelaku dan korban
– Tersangka mengembalikan barang yang didapatkan dari tindak pidana kepada korban
– Tindak pidana hanya diancam dengan hukuman denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun
– Tersangka wajib mengganti kerugian korban
– Tersangka wajib mengganti biaya ganti rugi yang ditimbulkan akibat tindak pidana yang dilakukannya
Artikel Terkait: Hukum Perceraian di Indonesia dan Syarat yang Harus Dipenuhi
Contoh Kasus Restorative di Indonesia
Sebenarnya, banyak kasus yang menggunakan restorative justice di Indonesia. Salah satunya adalah seorang suami bernama Muhammad Arham yang terpaksa harus mencuri sebuah sepeda motor untuk bisa membayar tagihan persalinan sang istri.
Mengutip dari laman Kontan, Arham kemudian menggadaikan motor curiannya tersebut seharga Rp1,5 juta. Karenanya, dia ditahan selama dua bulan penjara. Diketahui bahwa motor yang ia curi adalah milik seorang pedagang sayur.
Beruntung, kasus tersebut berakhir damai karena menggunakan pendekatan restorative justice. Pedagang sayur itu lantas memaafkannya dan Arham pun dibebaskan.
Nah, itulah penjelasan singkat mengenai restorative justice. Semoga dengan menggunakan pendekatan tersebut, hukum di Indonesia bisa benar-benar berjalan adil, ya!
***
BACA JUGA:
Hukum Mengalungkan Jimat kepada Anak Menurut Islam, Syirik atau Tidak?
Menikah Beda Agama, Bagaimana Hukumnya Menurut Islam?
Supaya Tak Keliru, Simak Hukum Potong Kuku Saat Puasa Menurut Islam
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.