Parents tahu tidak sekolah tertua untuk difabel atau anak berkebutuhan khusus di Indonesia? Sekolah yang sudah beroperasi sejak 1973 ini terletak di daerah Condet, Jakarta Timur. Namanya Rawinala yang berarti cahaya batin.
“Sekolah ini sudah ada sejak tahun 1973. Pendirinya adalah seorang ekspatriat berkebangsaan Belanda, Pendeta Kadarmanto dan Ibu Mariono Idris, salah satu pengurus di yayasan Taman Mini Indonesia,” ujar Direktur Yayasan Rawinala, Dwiharjo Sutarto.
Rawinala adalah sekolah bagi anak berkebutuhan khusus dengan dua jenis ragam disabilitas atau lebih, di mana salah satu ragamnya adalah tunanetra. Jenis ragam disabilitas ini dikenal dengan nama Multi Disability Visual Impairment (MDVI).
Dilengkapi dengan asrama, sekolah MDVI tertua di Indonesia ini memiliki taman yang luas dan asri. Terdapat dua bangunan asrama untuk tempat tinggal anak-anak penyandang disabilitas ganda, terutama yang tak mampu rawat.
Kriteria penerimaan murid di Rawinala, sekolah khusus difabel tertua di Indonesia
Foto: Rawilana.org
Murid-murid yang dapat belajar di sekolah ini mulai dari usia 0 sampai 20 tahun. Selain itu, ada kriteria khusus dalam penerimaan murid yaitu penyandang dwituna atau multi disabilitas.
Anak-anak dengan disabilitas lebih dari satu cenderung mengalami kesulitan untuk mendapatkan pendidikan, bahkan di sekolah khusus sekalipun. Oleh sebab itu, sekolah MDVI ini hadir untuk memfasilitasi mereka.
“Salah satu kriteria penerimaan murid di sini adalah penyandang disabilitas netra, biasanya diikuti dengan kondisi tuli atau intelektual seperti autisme,” ujar Dwiharjo.
Menurut dia, jumlah peserta didik terbanyak di sekolah khusus ABK ini adalah anak dengan ragam disabilitas netra-intelektual dan tuli-netra (Deaf Blind). Para murid dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan jenis ragam disabilitas dan jenjang usia.
Saat ini terdapat sekitar 52 siswa Rawinala. Sebanyak 20 di antaranya tinggal di asrama yang disediakan pihak sekolah karena tak mampu merawat diri. Dari 20 penghuni asrama itu, 12 orang di antaranya adalah penyandang disabilitas berusia dewasa antara 22 – 45 tahun.
Sekolah MDVI pertama di Indonesia di bawah supervisi Perkins School for The Blind
Kegiatan di Rawinala (Foto: rawinala.org)
Rawinala adalah sekolah MDVI pertama di Indonesia yang langsung berada di bawah supervisi Perkins School for The Blind di Amerika Serikat. Sekolah Perkins merupakan sekolah pertama penyandang disabilitas, Hellen Keller.
Perkins School for The Blind juga menjadi sekolah acuan bagi penyandang disabilitas netra atau MDVI di Amerika Serikat dan negara-negara barat.
Sebagai informasi, Hellen Keller wanita berkebangsaan Amerika yang hidup di akhir abad 19. Dia menyandang buta dan tuli sejak berusia 19 bulan. Meskipun menyandang disabilitas, Helen menempuh pendidikan khusus hingga berhasil menjadi penulis, aktivis politik, dosen, dan bahkan meraih nobel. Kisah hidupnya pun diangkat menjadi film dan meraih piala Oscar.
Dwiharjo Sutarto menjelaskan, para guru di sekolah yang terletak di Condet, Jakarta Timur ini, menempuh pendidikan cara mengajar peserta didik luar biasa di Perkins School for The Blind, Amerika Serikat. Rawinala juga sering mendatangkan guru dari Perkins untuk memantau kegiatan belajar-mengajar dan mengamati perkembangan peserta didik.
Jumlah penyandang MDVI di Indonesia, menurut Dwiharjo bisa mencapai sekitar 30 ribu orang. Jumlah tersebut diperoleh dengan menggunakan perhitungan prevalensi yang didapat dari Amerika. Hanya sekitar 1 persen penyandang MDVI yang menempuh pendidikan.
Sekolah MDVI lainnya di Indonesia
(Foto: rawinala.org)
Di Indonesia juga ada sekolah lain yang sejenis, khusus bagi penyandang MDVI.
“Saat ini ada sekitar lima sekolah di Indonesia yang seperti Rawinala. Beberapa di antaranya adalah Sayap Ibu dan Dwituna Harapan Baru di Medan,” kata Dwiharjo.
Sekolah-sekolah khusus anak dengan MDVI ini juga berkoordinasi dengan Rawinala dan sebagian besar guru di empat sekolah tersebut juga belajar di Rawinala.
Sebagai sekolah MDVI tertua di Indonesia, Rawinala menyelenggarakan berbagai pelatihan yang berkaitan dengan penanganan anak tunanetra majemuk secara rutin. Pelatihan kali ini berlangsung selama lima hari yakni tanggal 19 hingga 23 Agustus 2019 di Training Center Rawinala.
Seorang guru sekaligus pendiri sekolah Dwituna Harapan Baru di Medan, Sri Melati mengatakan pelatihan yang dia terima di Rawinala cukup komprehensif. Materi yang diberikan Rawinala bagi para guru anak MDVI sangat lengkap dan terakses.
“Kalau untuk teori mengajar dan penanganan anak-anak MDVI kami mengacu pada Rawinala, itu sudah paling lengkap,” kata Sri Melati.
Sumber: Tempo, Rawinala.org
Baca juga:
Sekolah-sekolah Unik Ini Mengajarkan Anak Menghargai Alam
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.