Sebuah ungkapan mengatakan bahwa hanya orangtua spesial lah yang diberi Tuhan karunia anak-anak spesial. Jika merawat anak-anak dengan kebutuhan biasa saja sudah sangat merepotkan bagi para orangtua, maka dibutuhkan ketangguhan luar biasa dan kesabaran seluas samudra untuk punya anak berkebutuhan khusus yang harus diperlakukan secara telaten.
Ketangguhan peran seorang ibu ini ditunjukkan oleh Grace Melia. Seorang ibu dari anak berkebutuhan khusus bernama Ubii. Untuk membangun kesadaran dan berbagi kekuatan dengan sesama orangtua yang punya anak berkebutuhan khusus, ia menyebarkan tips parenting serta berbagi pengalaman lewat blog Diari Mami Ubii.
Blog Diari Mami Ubii / Credit: Halo Header
Tak hanya itu. Secara rutin, ia juga menulis kisah sehari-harinya lewat instagram @grace.melia yang hingga kini diikuti oleh lebih dari 11 ribu pengikut.
Sebagai orangtua dengan anak berkebutuhan khusus, ia mengaku sangat bangga. Congenital Rubella Syndrome di masa kehamilan telah membuat Ubii terlahir dengan kondisi cerebral palsy, GDD (Global Development Delay atau keterlambatan tumbuh kembang anak), kebocoran jantung, dan profound hearing loss (gangguan pendengaran sangat berat).
Untuk mengejar tumbuh kembangnya jelang usia 5 tahun, Ubii harus menjalani serangkaian terapi rutin seperti fisioterapi, speech therapy (terapi wicara), AVT (Auditory Verbal Therapy), dan okupasi terapi. Saat ini, Ubii juga menggunakan implan koklea permanen agar dapat mendengar.
Serangan Rubella dan dampaknya
Seperti kehamilan pertama pada umumnya, Grace rutin memeriksakan kondisi kandungannya. Ia dan suaminya sangat lega ketika mengetahui hasil pemeriksaan USG menyatakan bahwa janin dan seluruh kondisi kesehatannya dalam kondisi yang sangat baik.
Blogger yang kini tinggal di Jogja ini sempat mengeluh kepada dokter bahwa ia mengalami demam, bintik merah sekujur tubuh, pusing, ngilu, dan gejala aneh lainnya. Saat itu, dokter hanya menyatakan bahwa kondisi trimester pertama yang dialaminya tersebut hanya gatal-gatal dan masuk angin biasa.
“Jadi, aku benar-benar tidak menyangka bahwa Ubii akan terlahir dengan kondisi spesial seperti ini,” akunya.
Seperti kebanyakan para ibu lainnya, pengetahuannya soal Rubella saat itu juga masih sangat rendah. Jangankan ibu hamil biasa yang awam soal masalah kesehatan, dokter yang sudah berpengalaman memeriksa kehamilan pun sering gagal mendeteksi adanya kemungkinan virus ini pada ibu hamil.
Ia baru menyadari adanya infeksi virus Rubella di tubuhnya saat Ubii berusia sekitar 5 bulan 28 hari. Berikut dengan rentetan diagnosa tentang adanya kebocoran jantung, tuna rungu bawaan, dan lainnya.
Artikel terkait: Waspadai Rubella pada Ibu Hamil dan Anak-Anak.
Saat itu, ia segera mencari tahu penyebab dari kondisi anaknya tersebut. Seorang dokter menyebut kemungkinan adanya Rubella saat kehamilan dan menyarankan bahwa ia harus segera tes darah untuk memastikan diagnosanya.
“Baru aku cek darah, tes TORCH lengkap. Hasilnya positif Rubella di 5 bulan 28 hari,” kenang ibu yang dulunya berkuliah di Jogja ini.
Sesaat setelah hasil pemeriksaan keluar, ia dirundung oleh perasaan campur aduk antara kaget, sedih, dan marah, terutama saat mengingat hasil tes selama kehamilannya dulu menyatakan bahwa ia sehat. Grace sampai pada titik di mana ia merasa sangat marah pada Tuhan sehingga ia selalu menyalahkanNya atas kondisi yang harus dialami oleh Ubii saat itu.
“Saat itu, aku merasa bahwa Tuhan tidak sayang kami, merasa Tuhan sangat jahat pada kami. Rasanya sungguh campur aduk. Aku menghabiskan waktu berhari-hari dengan menangis. Dampaknya, aku jadi malas ngurusin Ubii dan ngurus dia dengan hanya setengah hati.”
Untunglah ia punya keluarga besar yang sangat realistis dan suportif. Mereka mendorong untuk cek kesehatan lanjutan dan membantu Grace dan suaminya agar segera mendapatkan dokter serta terapis mumpuni demi kebaikan ibu dan anaknya.
“Mereka mendorong aku untuk segera bergerak, bahkan juga membantu mendanai biaya tes ini itu karena saat itu belum ada BPJS dan keuangan keluarga kecil kami masih carut marut,” paparnya.
Melihat kondisi Ubii yang harus segera butuh terapi, ia mencoba bangkit dari kungkungan kesedihan. Saat itu, ia berusaha menghapus air mata, membesarkan hati, serta menegakkan kepala.
Sebagai ibu yang sangat menyayangi anaknya, tak ada pilihan lain selain menguatkan diri dan bersikap optimis bahwa suatu hari, Ubii akan mengejar ketertinggalan tumbuh kembangnya.
Wanita asal Salatiga ini menyadari bahwa kehidupan rumah tangga serta perannya sebagai ibu dari anak berkebutuhan khusus belum bebas dari drama. Namun, dengan bijak, ia belajar bahwa ada kalanya ia harus tahu kapan waktunya ‘istirahat’ untuk sekedar menarik nafas dalam-dalam demi memanjangkan nafas perjuangannya lagi saat membesarkan Ubii.
Ia berharap, seperti nama panjang anaknya, Aubrey-Naiym Kayacinta Suryaputra, Ubii akan selalu tumbuh dewasa dengan curahan cinta dari orang-orang sekitarnya.
Untuk berbagi perjuangan dengan para orangtua yang punya anak berkebutuhan khusus dan berbagai hal seputar perkembangan Ubii, ia mengembangkan blog yang awalnya hanya berisi curhatan galau biasa menjadi laman yang berisi tulisan seputar dunia parenting seorang ibu yang punya anak berkebutuhan khusus dan tips lainnya yang berguna untuk siapapun.
Selain blog, ia juga menulis buku Letter to Aubrey yang ditulis bersama suaminya, Adit.
Namun, ia sangat menyadari bahwa perjuangan masih sangat panjang. Apalagi soal stigma dalam masyarakat yang masih memandang sebelah mata kepada anak berkebutuhan khusus.
Pernah, suatu hari ia mengajak Ubii ke sebuah supermarket. Saat itu, ada seorang ibu yang sedang bersama anaknya di lorong rak barang-barang.
Dengan santainya, ia menunjuk-nunjuk Ubii sambil mengatakan pada anaknya, “tuh, dek… lihat. Ada anak cacat tuh.”
Setelah melakukan tindakan tidak sopan tersebut, dengan santainya ia langsung melengos dan pergi begitu saja.
Saat itu, hati Grace rasanya sakit sekali. Namun, di sisi lain ia juga sangat mengerti bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya ramah pada anak berkebutuhan khusus. Ia tahu bahwa menunjuk dan menyebut anaknya ‘cacat’ sungguh bukan tindakan terpuji.
Di sisi lain, ia juga tahu bahwa saat-saat seperti itulah yang memacunya untuk menegakkan kepalanya sekali lagi demi menghadapi segala ujian kesabaran yang ada.
Berbagi tips bagi yang punya anak berkebutuhan khusus
Sejak mengetahui kondisi kesehatan Ubii, ia memang bertekad untuk terus mengedukasi para orangtua baik yang punya anak berkebutuhan khusus maupun yang punya anak tanpa kebutuhan khusus. Sehingga, secara rutin ia menulis berbagai hal soal pengalaman kehamilan, tes kesehatan, parenting, rumah tangga, bahkan tips seputar dunia blogging.
Kepada orangtua yang punya anak berkebutuhan khusus, ia menyarankan untuk bersikap realistis terhadap kenyataan yang ada. Persis seperti yang ia jalani dulu.
Ia menyadari bahwa menjalani segalanya bukanlah persoalan mudah. Namun, ia meyakini bahwa hidup harus terus berjalan.
“Silakan menangis dan meratap karena kita butuh itu untuk lebih lega dan untuk melepas ‘beban’ di hati. Tidak usah merasa jahat maupun tidak sayang anak dengan kita menangis atau meratap karena itu manusiawi, bukan jahat,” tuturnya penuh empati.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa orangtua juga tidak perlu mengalami masa berkabung yang terlalu lama, “ingat, anak kita butuh perawatan segera. Perkuat fondasi hubungan dengan suami karena mengasuh anak berkebutuhan khusus itu membutuhkan kerja tim yang kompak.”
Ia juga mendorong para orangtua untuk berani segera membawa anak ke tempat terapi. Karena, bayangan di dalam kepala tentang tangisan anak dan proses terapi yang aneh-aneh akan lenyap seketika karena pada umumnya terapis para anak berkebutuhan khusus sangat ramah.
“Orangtua juga harus selalu tanamkan dalam hati bahwa terapi-terapi ini dibutuhkan oleh anak-anak kita. Mereka butuh supaya progress tumbuh kembang yang terlambat dapat terkejar. Dan ingatlah bahwa waktu tidak bisa diputar kembali. Prinsipnya adalah deteksi dini dan terapi akan membuat perkembangan anak jadi makin baik.”
Ia juga menyarankan bahwa terapi sedini mungkin akan membawa perubahan yang lebih baik untuk tumbuh kembang anak. Prinsip ini adalah petuah dokter yang sampai sekarang ia pegang erat-erat.
Grace juga mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak berkebutuhan khusus apapun bentuknya. Misalnya, barangkali jika orang-orang mulai berpikir bahwa anak berkebutuhan khusus juga sama-sama ciptaan Tuhan, maka para special needs ini pastilah diciptakan dengan maksud dan tujuan yang baik.
“Intinya, perlakuan yang ingin diterima anak berkebutuhan khusus sama saja dengan anak-anak lain yang sehat kok. Anak special needs juga punya mimpi, punya harapan, suka main, bisa bandel, dan lain-lain. Bedanya adalah, mungkin ada masa-masa tertentu di mana anak membutuhkan bantuan dari orang lain.
Ia juga meminta masyarakat untuk memahami bahwa alat bantu yang dipakai orang-orang berkebutuhan khusus bukan untuk dipandang sebelah mata dengan label ‘cacat’ semata.
“Untuk alat bantu dengar atau kursi roda, sama saja dengan kacamata. Sama-sama alat bantu. Banyak orang yang memakai kacamata, biasa saja kan?” tanyanya retoris.
Untuk dapat memahami sepenuhnya seputar alat bantu, kacamata untuk penderita minus sudah dianggap sebagai alat bantu biasa, “Analogikan saja sesederhana itu. Sama-sama alat untuk membantu. Tidak perlu dilebih-lebihkan dan dikaitkan selalu dengan kecacatan, sebuah aib, maupun sesuatu yang memalukan,” lanjut ibu yang biasa disapa dengan panggilan Gesi ini.
Saat ini ia masih menikmati saat-saat membesarkan Ubii dan adiknya, Aiden. Dengan berbagai perkembangan Ubii yang luar biasa, ada satu hal sederhana yang membuatnya sangat terharu.
“Saat aku sedang nenenin Aiden, Ubii yang biasanya ada di kasur bawah mulai naik ke kasur atas. Lalu ia akan mendekat dan naik ke badanku. Rasanya memang jadi berat banget dan Aiden juga jadi marah-marah nangis karena nenennya terganggu. Tapi aku seneng aja. Artinya Ubii udah bisa merasakan ingin sama mami nya juga.”
Sebuah kiriman dibagikan oleh Grace Melia (Gesi) (@grace.melia) pada
Setiap harinya, ia berbagi hal positif lewat cerita sederhana dengan follower Instagramnya dengan tanda pagar #CeritaBahagiaku. Dari sana akan terlihat bahwa ia sangat mencintai kedua anaknya tanpa pandang bulu.
Langkahnya untuk mengejar ketertinggalan tumbuh kembang Ubii masih sangat panjang. Ditambah, adanya Aiden yang kondisinya normal dan selama ini ia persiapkan sebagai guardian angel kakaknya.
Namun ia tahu bahwa kapanpun ada beban di punggungnya, ia harus terus berjalan beriringan bersama suami, sambil menegakkan kepalanya. Bagaimanapun, ia bangga memiliki anak spesial seperti Ubii dan anak yang lucu sepert Aiden.
Baca juga:
Aziza, Gadis Kecil yang Bangkit Memecah Sunyi dari Tuli Bawaan Lahir
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.