Parents, pernah mendengar atau bahkan mengalami phantosmia? Ini adalah kondisi ketika seseorang mengalami halusinasi penciuman. Orang dengan phantosmia mungkin mengaku ia mencium bau sesuatu, sedangkan orang lain tidak. Hal ini karena bau tersebut tidak ada alias tidak nyata.
Phantosmia termasuk ke dalam gejala gangguan saraf penciuman. Penderitanya kerap merasa bingung dan tidak nyaman, terutama bila sedang berinteraksi dengan orang lain.
Terkadang pada kasus tertentu, halusinasi penciuman pada penderita dapat mengakibatkan tidak nafsu makan karena merasa terganggu oleh bau.
Bau yang dirasakan oleh penderita phantosmia bisa jadi datang dan pergi, maupun konstan menetap sepanjang hari.
Jenis baunya pun bermacam-macam. Ada beberapa bau yang umum dicium ketika halusinasi penciuman, seperti bau asap rokok, karet dibakar, bahan kimia seperti amonia, atau bau sesuatu yang busuk.
Sedangkan bau yang tidak terlalu umum dicium oleh penderita, misalnya bau yang manis atau menyenangkan.
Berikut ini beberapa informasi terkait phantosmia, seperti dirangkum dari berbagai sumber.
Artikel terkait: 8 Cara yang bisa Bunda lakukan untuk membersihkan hidung bayi tersumbat
Phantosmia: Penyebab, Gejala, dan Cara Mengobatinya
Penyebab Phantosmia
Mengutip Alodokter, phantosmia terjadi ketika terdapat gangguan pada saraf penciuman di hidung, atau bagian otak yang berfungsi untuk memproses rangsangan dari indra penciuman. Kondisi halusinasi penciuman ini bisa terjadi karena beberapa hal, di antaranya:
- Cedera kepala
- Epilepsi
- Migrain, biasanya pada migrain dengan aura
- Infeksi rongga sinus
- Polip hidung
- Rhinitis alergi
- Tumor otak
- Demensia, misalnya akibat penyakit Alzheimer
- Penyakit Parkinson
- Gangguan psikotik, misalnya skizofrenia
- Stroke
- Efek samping obat-obatan, misalnya obat tetes hidung
Selain berbagai hal di atas, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa phantosmia juga dapat disebabkan oleh infeksi saluran napas, seperti COVID-19.
Hal ini bisa terjadi karena infeksi Virus Corona bisa menyebabkan seseorang mengalami gangguan saraf penciuman, sehingga muncul gejala kehilangan penciuman (anosmia), kurang sensitif terhadap bau (hiposmia), atau kesalahan persepsi terhadap bau tertentu (parosmia).
Artikel terkait: Kelainan Saraf Langka Sindrom Tourette: Gejala, Bahaya dan Pengobatan
Langkah Diagnosis Halusinasi Penciuman
Untuk mendiagnosis phantosmia, biasanya perlu dicari tahu penyebab yang mendasarinya. Dokter kemungkinan akan memulai dengan pemeriksaan fisik yang berfokus pada hidung, telinga, kepala, dan leher penderita.
Dokter juga akan bertanya tentang jenis bau yang Anda cium, apakah Anda menciumnya di satu atau kedua lubang hidung, dan berapa lama bau itu cenderung bertahan.
Jika dokter mencurigai penyebabnya berhubungan dengan hidung, mungkin akan dilakukan endoskopi atau rinoskopi, memasukkan alat kecil ke dalam rongga hidung untuk dapat melihat dengan lebih jelas apakah ada masalah yang menyebabkan halusinasi penciuman, misalnya polip atau tumor.
Pemeriksaan radiologi, seperti foto Rontgen dan CT scan kepala, juga dapat dilakukan untuk mendeteksi apakah terdapat kelainan pada rongga hidung dan otak yang bisa menyebabkan munculnya keluhan phantosmia. Misalnya, tumor di hidung atau otak, demensia, dan penyakit Parkinson.
Selain itu, pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi aktivitas listrik di otak. Pasalnya, ketika Anda merasakan gejala phantosmia, gelombang listrik di otak akan menunjukkan pola tertentu dan hal ini bisa terdeteksi melalui pemeriksaan EEG.
Biasanya, pemeriksaan ini dilakukan saat dokter mencurigai bahwa halusinasi penciuman disebabkan oleh kelainan pada otak, seperti epilepsi atau migrain dengan aura.
Selain pemeriksaan di atas, dokter juga akan melakukan pemeriksaan lain, seperti tes darah dan tes PCR, jika phantosmia dicurigai muncul karena COVID-19.
Artikel terkait: Tubuh anak sering lakukan gerakan sama dan berulang? Waspada kelainan langka ini!
Cara Mengobati Halusinasi Penciuman
Untuk mengobati phantosmia, disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya. Misalnya, bila phantosmia disebabkan oleh epilepsi, dokter bisa memberikan obat antiepilepsi untuk mengatasi kondisi tersebut. Sementara itu, phantosmia yang disebabkan oleh tumor otak, dapat diatasi dengan langkah operasi atau kemoterapi.
Untuk mengatasi phantosmia yang disebabkan oleh COVID-19, dokter akan memberikan obat antivirus guna membasmi virus Corona dan kortikosteroid untuk mengatasi peradangan pada saraf penciuman.
Meski tidak mengancam nyawa, phantosmia dapat memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Jika tidak diobati, kondisi ini bisa saja menyebabkan penurunan nafsu makan atau bahkan dehidrasi dan malnutrisi.
Oleh karena itu, bila Anda merasakan gejala phantosmia, terlebih jika keluhan ini sudah dirasakan cukup lama atau sering kambuh, sebaiknya periksakan diri ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat, ya.
***
Baca juga: