Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) baru saja disahkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021. Namun, tak lama setelah disahkan, kebijakan tersebut menuai pro kontra.
Padahal, regulasi tersebut dibuat untuk melindungi civitas akademika dari kekerasan seksual dan memberikan ruang aman. Simak polemik dan pro kontranya berikut ini.
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Disahkan untuk Berikan Ruang Aman
Pekan lalu, jagat maya Tanah Air sempat dihebohkan dengan kebijakan Nadiem Makarim yang baru saja disahkan, yaitu Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 ini merupakan payung hukum untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Kebijakan ini mendapatkan berbagai respons dari masyarakat. Banyak yang mendukung, tetapi tidak sedikit juga yang menentangnya. Nadiem sebagai Mendikbudristek menegaskan bahwa kebijakan ini dibuat untuk memberikan ruang aman bagi segenap civitas akademika.
“Tidak ada pembelajaran tanpa rasa aman. Dan ini merupakan kenapa di dalam perguruan tinggi kita harus mencapai suatu ideal yang lebih tinggi dari sisi perlindungan daripada masyarakat di dalam perguruan tinggi kita, baik itu dosen, mahasiswa, maupun semua tenaga kependidikan di dalam lingkungan kampus,” ungkapnya, mengutip dari Detik.com.
Peraturan ini dibuat bukan tanpa alasan. Menurut Nadiem, berdasarkan hasil penelitian, kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi ternyata cukup tinggi. Dari hasil survei menunjukkan 89 persen kasus kekerasan seksual, korbannya adalah perempuan.
Sementara, 4 persen korbannya adalah laki-laki. Ini membuktikan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama bisa menjadi korban kekerasan seksual.
“Berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota korban kekerasan seksual itu hampir 90 persen adalah perempuan. Tapi bukan hanya perempuan, laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual,” tegasnya.
Artikel terkait: Viral; Kakak Mencabuli Adik Angkat di tempat umum, Waspadai Kekerasan Seksual di dalam keluarga
Tuai Pro Kontra, Ini Respons Mendikbudristek Nadiem Makarim
Tak lama setelah disahkan, peraturan tersebut segera menuai pro kontra. Di satu sisi, kebijakan tersebut direspons secara positif sebagai bentuk perlindungan negara atas maraknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Namun, di sisi lain ada pihak-pihak yang tidak menyetujui.
Terkait hal ini, Nadiem pun mengatakan bahwa dirinya menerima seluruh masukan dari masyarakat. Menurutnya, masukan-masukan tersebut adalah bukti bahwa masih banyak yang peduli dengan nasib pendidikan di Indonesia.
“Kami terbuka atas semua masukan dan bagi saya beragam respons yang muncul itu adalah tanda yang sangat baik, tanda bahwa banyak yang peduli tentang pendidikan Indonesia dan memikirkan masa depan generasi penerus kita,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, dari sisi personal, Nadiem punya alasan kuat mengapa ia akhirnya mengesahkan kebijakan ini. Ia mengungkapkan, kebijakan ini adalah upaya dirinya melindungi ketiga putrinya di masa depan dari segala bentuk kekerasan seksual.
“Dalam 10 tahun lagi, mereka akan menanyakan saya, bapak ngapain, sih, buat melindungi kita waktu menjadi menteri? Permen ini akan menjadi jawaban saya kepada anak-anak putri saya bahwa saya telah melakukan apa pun yang bisa saya lakukan untuk melindungi mereka dan generasi anak-anak muda kita di Indonesia ke depannya,” kata Nadiem dalam acara Mata Najwa episode Ringkus Predator Seksual Kampus.
Artikel terkait: Pelecehan Seksual Anak Membuat Masa Depan Hancur Sebelum Dimulai
Isi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021
Meski demikian, hingga saat ini, masih banyak pihak yang menentang kebijakan Nadiem Makarim. Mereka mempersoalkan istilah “consent” yang terdapat dalam salah satu pasal di Permendikbudristek Nomor 30 ini. Berikut, bunyi pasal-pasal yang menuai pro kontra:
Pasal 5
Ayat (1) Kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Ayat (2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban;
- memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
- menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;
- menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
- mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban;
- mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
- membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
- memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
- menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
- membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;
- memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
- mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
- melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
- melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
- memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
- memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
- membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja;
- dan/atau melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Ayat (3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:
- memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- mengalami situasi di mana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
- mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
- mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
- memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
- mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility);
- dan/atau mengalami kondisi terguncang.
Artikel terkait: 3 Video Edukasi yang Wajib ditonton Anak dan Orangtua agar Terhindar dari Kejahatan Seksual
Nadiem Terkejut Dituding Melegalkan Zina di Lingkungan Kampus
Salah satu bentuk respons negatif dari adanya peraturan ini adalah tudingan bahwa kebijakan ini akan mendorong perilaku seks bebas atau zina di lingkungan kampus. Mendengar tudingan ini, Nadiem sempat merasa terkejut. Sebab, tujuan utamanya sama sekali bukan untuk hal tersebut.
“Kami di Kemendikbud Ristek sama sekali tidak mendukung seks bebas, perzinahan. Itu luar biasa sekali saya terkejutnya waktu saya dituduh,” katanya.
Ia mengakui bahwa memang ada kritik dan masukan dari banyak pihak. Namun, ia merasa tidak terima jika dirinya dituding melegalkan praktik zina. Terkait hal ini, ia pun sudah memberikan tanggapan yang menolak tudingan tersebut.
“Saya harus bilang ada kritik yang akan selalu kami kaji dan berdialog, tapi saya juga tidak bisa menerima fitnah yang menyebut saya ini menghalalkan zinah atau seks bebas,” imbuhnya.
Salah satu pihak yang menolak adanya kebijakan ini adalah Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad. Ia mengatakan, terdapat kecacatan materil di Pasal 5 mengenai istilah “consent” atau persetujuan korban.
“Pasal 5 Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” katanya, mengutip dari Kompas.com.
***
Parents, demikian informasi mengenai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang sempat menuai pro kontra. Semoga kebijakan ini dapat menjadi payung hukum bagi seluruh civitas akademika dari segala bentuk kekerasan seksual di kampus.
Baca juga:
Angka Kekerasan Seksual di Indonesia Terus Meningkat, Ini yang Perlu Kita Lakukan!
id.theasianparent.com/5-tanda-kekerasan-seksual-anak
Wajib Simpan! Kontak darurat pertolongan KDRT dan kekerasan seksual di seluruh Indonesia
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.